Kamis, 25 Februari 2021

PENGANTAAR TEORI ARSITEKTUR MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA

  BUKU INDUK DATA ARSITEKTUR MAYBRAT IMIAN SAWIAT

Sebuah Kajian Ilmian Lengkap Tentang Data Arsitektur

oleh
Ar. Frank Hamah Sagrim, ST

  

 PENGANTAR TEORI

ARSITEKTUR MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA

SAJIAN DATA ARSITEKTUR

 (NASKAH)


______________________________________________

PENGANTAR TEORI ARSITEKTUR MAYBRAT

  

 

A.   Definisi

Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat adalah seni yang dilakukan oleh orang Maybrat, Imian Sawiat tiap individu untuk mengimajinasikan diri mereka yang dicatat sebagai ilmu dalam merancang bangunan arsitekturalnya.

Secara luas, arsitektur mencakup rancangan dan pembangunan keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, arsitektur lanskap, hingga ke level mikro, yaitu desain bangunan, desain perabot, dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.

 

B.   Ruang Lingkup dan Keinginan

Dalam konsep arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, mengatakan bahwa arsitektur yang baik harus terlihat indah (mof) sebagai syarat venusitas (estetika), kuat (matak) sebagai syarat firmitas dan berguna serta berfungsi sebagai syarat utilitas. Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, selalu memperhatikan keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut secara teratur dan tidak ada satu unsur pun lebih tinggi atau rendah dari yang lain. Dalam definisi moderen menuntut  arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis, namun dapat dikatakan bahwa unsur fungsi itu sendiri didalamnya sudah mencakup unsur estetika maupun psikologi. Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, mencakup tiga aspek tuntutan definisi tersebut.

C.   Teori dan Praktik

Pentingnya teori untuk menjadi referensi. Memang disadari pembangunan arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, mula-mula yang disebut Charit/mbol chalit tiada teorinya, tetapi didasari atas pengalaman membangun yang diajarkan secara turun-temurun kepada anak melalui proses permagangan keluarga. Proses permagangan keluarga yang dimaksud adalah ketika ayah membangun sebuah bangunan rumah, anaknya diikut sertakan dalam proses pembangunan sehingga memperoleh pengalaman, kemudian anak tersebut bertumbuh dewasa dan membangun rumah sesuai pengalaman yang diperoleh melalui permagangan dengan ayahnya. Pengalaman merupakan sekumpulan pengetahuan yang didapat sepanjang hidup setiap orang, dengan demikian disimpulkan bahwa sebuah pengalaman yang luarbiasa menjadi pengetahuan yang menjadi cikal-bakal kelahiran sebuah teori. Oleh karena itu, lahirnya pengatar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat ini karena didasari atas sekumpulan pengetahuan tentang kegiatan mebangun yang dialami dan telah menjadi pengalaman didalam kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat. Pengantar Teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, merupakan sebuah rumusan baru yang mencatat pengalaman-pengalaman yang dialami oleh manusia Maybrat, Imian, Sawiat. Isi dari pengantar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, adalah mencatat dan mendokumentasikan semua hal menyangkut arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, untuk dipelajari dan dikembangkan secara teratur secara turun-temurun dari kehidupan komunal menuju kehidupan moderen.

Pengantar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat mampu mencatat, merekam dan mendokumentasikan pengetahuan arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, dari masa lalu dan menyajika new concept yang lahir dari old concept. Fungsi pengantar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat adalah memberikan inspirasi, wawasan, mendokumentasikan, dan memberikan pencerahan kepada setiap individu yang menggeluti bidang arsitektur untuk dapat dipahami dan dikembangkan sesuai gaya dan nilainya.

Disadari bahwa arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, adalah suatu pengetahuan otentik yang dikembangkan di daerah tersebut yang perkembangannya didasarkan atas pengalaman-pengalaman orisinal namun belum disusun secara ilmiah agar menjadi sebuah teori yang berfungsi membahas, mendokumentasi, dan menyajikan pengetahuan dan seni membangun arsitektur di Maybrat, Imian, Sawiat.

Meskipun dalam perkembangan moderen masih ditemukan banyak arsitek yang mengabaikan teori, namun perlu disadari bahwa teori adalah penjelasan tentang keseluruhan praktik itu sendiri. Memang semestinya disadari bahwa teori dan praktik adalah akar arsitektur. Praktik adalah perenungan dari pengalaman yang berkelanjutan terhadap pelaksanaan sebuah proyek atau pengerjaannya dengan tangan, dalam proses konversi bahan bangunan, dengan cara yang terbaik. Teori adalah hasil pemikiran beralasan yang menjelaskan proses konversi bahan bangunan menjadi hasil akhir sebagai jawaban terhadap suatu persoalan (Vitruvius). Seorang arsitektur yang berpraktik tanpa dasar teori, dia tidak dapat menjelaskan alasan dan dasar mengenai bentuk-bentuk arsitektur yang dipilihnya. Sebuah teori akan menjelaskan mengenai bentuk dan aliran arsitekturalnya sehingga ketika seorang arsitektur melakukan suatu pilihan terhadap gaya atau bentuk suatu arsitek, dia mampu menjelaskan alasan mengapa dia memilih gaya tersebut sesuai sistem nilai, unsur nilai, fungsi, dan anatominya.

 

D.  Sejarah arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat

Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, lahir dari dinamika antara kebutuhan terkait (kondisi lingkungan yang kondusif, keamanan, iklim, dll). Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat adalah suatu arsitektur prasejarah dan primitif yang menjadi tahap awal dinamika arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat. Para arsitek Maybrat, Imian, Sawiat, diwaktu itu bukanlah seorang figur penting di wilayah tersebut, bahka tidak ditemukan satu orang pun yang fokus sebagai seorang arsitek namun semua orang Maybrat, Imian, Sawiat, adalah arsitek dan memang kelihatannya bahwa semua orang Maybrat, Imian, Sawiat, bisa menjadi arsitek karena seni membangun bagi mereka adalah suatu tradisi yang dipelajari secara turun-temurun melalu proses permagangan keluarga. Arsitektur tradisional Maybrat, Imian, Sawiat, adalah arsitektur vernacular  yang lahir dari kebutuhan dan pengalaman. Saya berpendapat bahwa sebelum adanya pembelajaran atau pekerja spesialisasi di dunia, mulanya satu orang dapat mengerjakan segala sesuatu. Spesialisasi itu pun lahir ketika suatu aktivitas disusun secara ilmiah, terstruktur dan rapih. Demikian halnya bahwa arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, tak pernah terbayangkan dapat disusun secara terstruktur dan ilmiah sebagai sebuah teori arsitektur sendiri. Saya berpendirian bahwa suatu ketika akan muncul kelompok-kelompok manusia yang fokus mempelajari teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat dan mengembangkan alirannya secara khusus (special) sehingga muncul gaya arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat.

 E.   Hunian Penempatan Arsitektur Mula-mula

          Dalam penelitian kami, tercatat tentang pola hunian orang Maybrat, Imian, Sawiat, di masa lalu bersifat rural berdasarkan keret/marga di dusun mereka masing-masing, kemudian datanglah pemerintah Hindia Belanda mengumpulkan mereka pada satu tempat dan menjadi urban kecil yang disebut kampug dalam istilah civil society. Perkampungan-perkampungan itu kemudian berkembang besar menjadi distrik dan kabupaten karena adanya surplus produksi menambah percepatan pembangunan di bidang arsitektur membuat perpindahan masyarakat dari rural menuju masyarakat urban begitu berkembang cepat.

          Pola hunian orang Maybrat, Imian, Sawiat, mulai-mula mengikuti lereng gunung, sabuk sungai dan sabuk jalan. Pola hunian tersebut kemudian mempengaruhi penempatan bangunan arsitektur rumah hunian mereka. Pola hunian dan penempatan tersebut masih dapat ditemukan di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, hingga sekarang dan lokasi-lokasi penempatan bangunan arsitektur di areal hunian kampung semenjak itu menjadi bukti kepemilikkan lahan bagi generasi dari keluarga dahulu yang telah menempati lokasi-lokasi tersebut.

_________________________________________________________


BAB  I

PENGANTAR TEORI ARSITEKTU MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA

  

A.    Manusia Maybrat, Imian, Sawiat dan Arsitekturnya

Secara geografis suku Maybrat mendiami di Distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat.  Suku Imian  Sawiat hidup di distrik Sawiat dan Teminabuan, dengan tipe iklim tropis basah, dan didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian  Petani, Nelayan dan pemburu. Dari aktivitas yang heterogen ini ditunjang oleh rumah panggung dan rumah gantung dengan material pendukung umumnya berasal dari alam,  dan berdiri diatas perairan bagi para nelayan, dan bagi para petani struktur bangunan berdiri diatas permukaan tanah, sungai, pesisir pantai maupun di atas pohon. Bentuk pembangunan arsitektur didorong oleh budaya wiyon/wofle.

Penghuni pemukiman ini adalah merupakan etnik , yaitu satu suku besar suku Maybrat, dan dua anak suku Imian, Sawiat yang adalah suku besar dari  Tehit. Mata pencaharian pokok mereka adalah  berkebun, menangkap ikan dengan perahu dan memburu binatan liar dengan  Tombak, Jubi, Panah, Parang dan Anjing. mereka dikenal dengan sebutan manusia nelayan, petani dan pemburu. Sebagai manusia nelayan, petani dan pemburu, mereka melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya dengan mengail, bercocok tanam dan memburu. Kemudian sejalan dengan bertambahnya waktu, mereka menetap dalam suatu hunian dan berkelompok membentuk suatu permukiman (urban space), namun budaya mengail, bertani dan memburu masih mempengaruhi kehidupan mereka sampai sekarang.

Keberhasilan dan kelanggengan rumah harit-mbol chalit dalam kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, terlihat memberikan kenyamanan kepada penghuni dalam hal kenyamanan dari Musuh, Hewan atau binatan buas iklim sekitar dan religi, akan tetapi kelayakan daripada ruang thermal sendiri belum memberikan kenyamanan yang sesuai, karena terlihat begitu tertutup dengan ruangan yang multifungsi yang mana didalamnya seluruh aktifitas penghuni berlangsung. Dari organisasi ruang yang multifungsi serta ruang thermal yang dipengaruhi oleh asap api akibat pembakaran kayu ketika masak, menimbulkan kepulan asap yang berpotensi mengakibatkan ispa kepada penghuni dan kadangkala penghuni batuk-batuk dan sakit mata yang mengakibatkan airmatanya bercucuran, bahkan berbahaya bagi bayi. Kadangkala ibu harus menggendong bayi untuk duduk diluar teras (isit) guna menghindari pengaruh asap api terhadap bayi. Dari bentuk dan tata ruang seperti demikian dengan kenyamanan thermal seperti demikian, maka dirasa perlu untuk diteliti supaya diketahui secara rinci.

Bentuk arsitektur tradisional harit-mbol chalt yang mempunyai nilai filosofis dengan ornamen yang melambangkan kewibawaan seorang bobot-bigman, kelihatannya akan hilang dengan kecenderungan masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat yang mendirikan rumah tanpa menampilkan ornament sebagai suatu kewibawaan, sehingga dirasa perlu untuk diangkat kembali dengan menciptakan konsep bangunan harit-mbol chalit dengan dilengkapi ornament sebagai simbol filosofi kebesaran orang Maybrat, Imian, Sawiat (Ra bobot-na bobot-big man) yang menunjukkan kehebatan dan kewibawaan. Selain itu juga Pengantar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, dengan usulan konsep ini bertujuan untuk menciptakan bentuk arsitektur harit-mbol chalit yang terlihat tidak kumuh. Walaupun bentuknya yang pertama telah menciptakan kenyamanan thermal dalam ruang terhadap faktor iklim namun, faktor interior belum baik karena tertutup dan menampung asap yang mengakibatkan penghunia mengalami sakit paru-paru, sebagaimana laporan dinas kesehatan bahwa mayoritas masyarakat di wilayah maybrat, Imian, Sawiat, mengidap penyakit Paru-paru. Hal itu membuat sehingga adanya suatu pertimbangan bagi para arsitek untuk membuat konsep bentuk arsitektur dengan pertimbangan penghawaan dalam ruang dengan menambahkan bukaan tanpa meninggalkan wujud awal arsitekturalnya.   


__________________________________________________


BAB  I

PENGANTAR TEORI ARSITEKTU MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA

  

A.    Manusia Maybrat, Imian, Sawiat dan Arsitekturnya

Secara geografis suku Maybrat mendiami di Distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat.  Suku Imian  Sawiat hidup di distrik Sawiat dan Teminabuan, dengan tipe iklim tropis basah, dan didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian  Petani, Nelayan dan pemburu. Dari aktivitas yang heterogen ini ditunjang oleh rumah panggung dan rumah gantung dengan material pendukung umumnya berasal dari alam,  dan berdiri diatas perairan bagi para nelayan, dan bagi para petani struktur bangunan berdiri diatas permukaan tanah, sungai, pesisir pantai maupun di atas pohon. Bentuk pembangunan arsitektur didorong oleh budaya wiyon/wofle.

Penghuni pemukiman ini adalah merupakan etnik , yaitu satu suku besar suku Maybrat, dan dua anak suku Imian, Sawiat yang adalah suku besar dari  Tehit. Mata pencaharian pokok mereka adalah  berkebun, menangkap ikan dengan perahu dan memburu binatan liar dengan  Tombak, Jubi, Panah, Parang dan Anjing. mereka dikenal dengan sebutan manusia nelayan, petani dan pemburu. Sebagai manusia nelayan, petani dan pemburu, mereka melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya dengan mengail, bercocok tanam dan memburu. Kemudian sejalan dengan bertambahnya waktu, mereka menetap dalam suatu hunian dan berkelompok membentuk suatu permukiman (urban space), namun budaya mengail, bertani dan memburu masih mempengaruhi kehidupan mereka sampai sekarang.

Keberhasilan dan kelanggengan rumah harit-mbol chalit dalam kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, terlihat memberikan kenyamanan kepada penghuni dalam hal kenyamanan dari Musuh, Hewan atau binatan buas iklim sekitar dan religi, akan tetapi kelayakan daripada ruang thermal sendiri belum memberikan kenyamanan yang sesuai, karena terlihat begitu tertutup dengan ruangan yang multifungsi yang mana didalamnya seluruh aktifitas penghuni berlangsung. Dari organisasi ruang yang multifungsi serta ruang thermal yang dipengaruhi oleh asap api akibat pembakaran kayu ketika masak, menimbulkan kepulan asap yang berpotensi mengakibatkan ispa kepada penghuni dan kadangkala penghuni batuk-batuk dan sakit mata yang mengakibatkan airmatanya bercucuran, bahkan berbahaya bagi bayi. Kadangkala ibu harus menggendong bayi untuk duduk diluar teras (isit) guna menghindari pengaruh asap api terhadap bayi. Dari bentuk dan tata ruang seperti demikian dengan kenyamanan thermal seperti demikian, maka dirasa perlu untuk diteliti supaya diketahui secara rinci.

Bentuk arsitektur tradisional harit-mbol chalt yang mempunyai nilai filosofis dengan ornamen yang melambangkan kewibawaan seorang bobot-bigman, kelihatannya akan hilang dengan kecenderungan masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat yang mendirikan rumah tanpa menampilkan ornament sebagai suatu kewibawaan, sehingga dirasa perlu untuk diangkat kembali dengan menciptakan konsep bangunan harit-mbol chalit dengan dilengkapi ornament sebagai simbol filosofi kebesaran orang Maybrat, Imian, Sawiat (Ra bobot-na bobot-big man) yang menunjukkan kehebatan dan kewibawaan. Selain itu juga Pengantar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, dengan usulan konsep ini bertujuan untuk menciptakan bentuk arsitektur harit-mbol chalit yang terlihat tidak kumuh. Walaupun bentuknya yang pertama telah menciptakan kenyamanan thermal dalam ruang terhadap faktor iklim namun, faktor interior belum baik karena tertutup dan menampung asap yang mengakibatkan penghunia mengalami sakit paru-paru, sebagaimana laporan dinas kesehatan bahwa mayoritas masyarakat di wilayah maybrat, Imian, Sawiat, mengidap penyakit Paru-paru. Hal itu membuat sehingga adanya suatu pertimbangan bagi para arsitek untuk membuat konsep bentuk arsitektur dengan pertimbangan penghawaan dalam ruang dengan menambahkan bukaan tanpa meninggalkan wujud awal arsitekturalnya.   

tinggal manusia moderen sekarang ini, akan tetapi jenis bangunan halit atau rumah gantung ini hanya terdiri atas satu buah ruangan yang multi fungsi. Lihat gambar detail interior disamping:

Orang Maybrat, Imian, Sawiat, selalu mendirikan bangunan rumah halit atau rumah gantung selalu hanya memiliki satu ruang kamar yang multi fungsi. Dikatakan multifungsi karena segala aktifitas dilakukan didalam satu ruang tersebut. Selain multi fungsi, juga familiar atau memiliki kesan keakraban dan kesamaan, karena setiap kegiatan yang dilakukan dalam ruang tersebut tidak disembunyikan    (tanpa ada halangan) bebas, serta transparan. Sebagaimana dengan filosofi mereka yang kental bahwa “ohat sou su,  samu sou su”artinya satu tungku api dan satu rumah sebagai tempat tinggal bersama. Filosofi ini merujuk pada kesan kebersamaan dan keakraban.

Jenis halit myi-mbol chalit – rumah gantung banyak dijumpai di hutan – hutan pada zaman orang Maybrat, Imian, Sawiat masih hidup dalam zaman dahulu, namun setelah mereka sudah moderen, jenis rumah ini jarang ditemukan karena kehidupan mereka sudah berkelompok membentuk perkampungan masyarakat. Orang Maybrat, Imian dan Sawiat tidak secara gampang melupakan jenis – jenis bangunan rumah tradisional mereka, akan tetapi masih sering juga dibangun diperkampungan mereka. Pada tahun 2005, di Kota Sorong, Walikota menginstruksikan bahwa untuk menyonsong hari natal 25, Desember, warga di Kota Sorong dilombakan bangunan rumah tradisional yaitu rumah gantung halit – mbol chalit, yang mana diberikan hadiah kepada masing-masing pemenang yang mempunyai bangunannya estetis dan layak. Ya begitulah sampai kini Orang Maybrat, Imian, Sawiat, terus membangunnya dan hal ini patut di angkat jempol karena memberi inspirasi dan pengalaman tersendiri kepada kaum muda yang ada di sana.

            Dari bentuk bangunan yang ada, dapat dilihat bahwa rumah tradisional orang Maybrat, Imian, Sawiat, mula – mula tidak mengenal adanya pembagian ruang, tetapi yang ada hanya satu ruang yang multifungsi.

            Dari kejelasan ruang tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan dalam  keluarga memberi suatu kesan keakraban, demikianlah sebagaimana yang jumpai. Dikatakan bahwa rumah orang Maybrat, Imian Sawiat memberi kesan keakraban, karena di dalam ruang tersebut setiap anggota keluarga bilamana melaksanakan segala sesuatu tidak tersembunyi untuk dilihat oleh sesama anggota keluarga lainnya. Apapun yang dilakukan oleh seseorang anggota keluarga merupakan suatu kebersamaan, disinilah keluhuran keakraban yang sebenarnya.

Adapun beberapa aturan yang dipakai dalam fungsi rumah tersebut, misalnya untuk anak-anak kecil dilarang untuk masuk kedalam rumah tersebut karena dianggap sangat menggangu (risk) baik gangguan yang akan dialami oleh seorang ibu maupun anak kecil tersebut. Lihat gambar jenis rumah bersalin.

Orang Maybrat, Imian, Sawiat, selalu mendirikan rumah bersalin bagi istri mereka yang sedang melahirkan. Jenis rumah bersalin ini biasanya tidak bersifat permanen (sebut saja tergolong sebagai rumah musiman), yaitu rumah bersalin didirikan jikalau pada saat itu ada seorang ibu hamil yang akan sedang melahirkan. Rumah bersalin biasanya berukuran kurang lebih 3 x 3 m, dengan perhitungan hanya dihuni oleh ibu yang melahirkan dengan bayinya. Lama waktu hunian, biasanya berkisar antara   dua    minggu    dan   sampai  dengan tiga minggu, dan sampai dengan tiga minggu, adapun larangan kepada anak kecil untuk masuk rumah tersebut karena mengakibatkan sesuatu yang fatal (mungkin berkaitan dengan mistis dalam mitologi mereka).


  • Ukuran.

Antara rumah gantung dan rumah tinggal semi moderen, yaitu rumah gantung berukuran kecil sedangkan rumah hunian semi moderen ukurannya besar.

  • Fungsi

Diliat dari fungsinya, rumah gantung hanya mempunyai satu ruangan saja yang multifungsi, sedangkan rumah semi moderen memiliki tiga sampai empat ruang yang mana memperkaya fungsi ruangnya sebagaimana kebutuhan pemilik.

  • Struktur

Struktur bangunan rumah gantung sangat tinggi ukurannya, dengan ukuran pilar atau struktur koloum yang sangat panjang mulai dari ± 500 cm – 700cm, ketimbang ukuran rumah semi moderen yang mana ukurannya ± 300cm –500cm, terhitung dari tumpuan koloum pada tanah hingga bubungan, dan ukuran 500cm kebanyakan pada rumah panggung sedangkan untuk bangunan dinding tembok berukuran paling tinggi 400cm. rumah gantung mudah tergerak oleh tiupan angin ketimbang rumah semi moderen.

  • Masa/Waktu

Masa/waktu bangunan untuk rumah gantung mampu bertahan selama ± 3-4 tahun, dibanding rumah semi moderen yang mana mampu bertahan hingga ± 4 – 8 tahun.

  • Tata

Dilihat dari struktur penataannya, rumah gantung tidak memiliki tata, seperti pekarangan bunga, halaman rumah, tata ruang, dan tata wajah bangunan maupun penataan kelengkapan dan finising bangunannya yang mana terlihat pada eksterior dan interior bangunan.

  • Estetika

Pada  uraian – uraian diatas maka otomatis disimpulkan bahwa bangunan yang berestetika adalah rumah semi moderen, yang mana dikembang moderenkan. Bentuk rumah semi moderen ini dibangun dengan memiliki ruang atau kamar yang terdiri dari kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur dan balkon atau teras. Berikut lihat denah:

menyerang. Selain itu rumah pertahanan kebanyakan dibangun di puncak-puncak gunung besar yang sisi-sisi gunungnya dikelilingi oleh tebing-tebing terjal yang sulit dijangkaui oleh para musuh, selain menghindar dari musuh juga supaya bisa dengan gampang melihat situasi sekitar dengan mudah karena posisi mereka diatas ketinggian gunung. Selain itu, juga ada yang didirikan diatas pohon yang lebih tinggi ditengah belantara. Gua-gua atau lubang batu yang disebut (bomit) juga sebagai tempat persembunyian. Berikut lihat gambarSamu snek/mbol, adalah benteng pertahanan atau juga disebut-sebut sebagai rumah persembunyian. Disebut benteng pertahanan atau rumah persembunyian karena rumah tersebut biasanya tersembunyi dan sulit untuk dijangkaui orang lain dan juga biasanya banyak dipasang jebakan ranjau untuk menghalangi para musuh, bahkan juga karena lokasi yang dibangun rumah ini adalah lokasi yang sulit dan sangat sukar dijangkaui dan hanya bisa dijangkaui oleh orang – orang tertentu saja seperti seorang Ayah, Ibu, Anak dan family terdekat karena suatu alasan, bahwa jangan orang luar yang mengetahui dimana jalan yang di laluinya sebab bilamana diketahui orang lain atau musuh, maka mereka akan dibunuh. Karena begitu ketatnya kehidupan pada zaman prasejarah itu,  yang mana terikat dengan kehidupan balas - membalas atau saling membunuh antar keluarga yang satu dengan yang lainnya (familiy war).

a.      Samu Mambo –Mbol Se → Rumah Nelayan

            Samu mambo - mbol se adalah merupakan rumah nelayan yang dibangun ditengah-tengah danau, dan rumah tersebut kebanyakan dibangun oleh Suku Maybrat yang tinggalnya disekitar danau Ayamaru yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain suku maybrat yang membangun rumah nelayan mereka, suku Imian dan sawiat pun memiliki jenis rumah nelayan yang tidak kalah menarik dengan rumah nelayan suku Maybrat, yaitu rumah kajang.

            Rumah kajang adalah suatu jenis rumah nelayan orang Imian dan Sawiat yang hidupnya di pesisir pantai dan bermata pencaharian sebagai nelayan. Perbedaan antara rumah nelayan suku Maybrat dan suku Imian, Sawiat adalah, rumah nelayan suku Maybrat dibangun sebagaimana rumah inap biasanya yaitu dengan struktur bangunan yang berdiri tegak vertikal dan kokoh, namun untuk rumah nelayan suku Imian dan Sawiat berbeda, yaitu rumah kajang adalah rumah yang dibangun diatas sebuah perahu, dan rumah kajang tidak berdiri kokoh pada suatu tempat tertentu namun ia selalu dibawa kemana-mana dengan perahu, baik diwaktu mengail maupu beristirahat. 




tna komeyan teit yabo min aken. Kbe Raâ Wiyon-Na Wofle ysia wiyon tna rait to aro yaut aken rait hahayah, ana mberur maut aken sou suu fe, reto mbou toni ”.

“ketika melangkah melewati zona batas ruang suci, kita seperti berada dalam alam lain, sona atau ruang atau bilik tersebut gelap gulita dan ketika itu kita akan melihat terang sinar kemuliaan yang membias menerangi ruang suci itu, kita akan merasa seperti kita dalam keadaan mimpi, dan ketika itu akan bermunculan bahtera (perahu) Tuhan yang menghampiri setiap kita yang masuk kedalam ruang tersebut untuk membawa kita ke suatu tempat yang suci, setiap kita yang telah masuk akan dipersiapkan bahtera (perahu) yang sama jumlahnya dengan kita yang ada, dan setiap orang menaiki satu bahtera (Perahu) dan didalam bahtera itu kita hanya duduk dan didampingi oleh Raâ Wiyon-Na Wofle dan yang mendayung bahtera (Perahu) adalah komeyan (Tuhan), dibagian kepala perahu (bahtera) duduklah seorang tua yang putih kemilau rambutnya dan telinganya panjang dengan jubah yang bersinar, ia adalah Allah (Oron Yabi)”.

Ungkapan tersebut diatas tentang rahasia bilik atau ruang, bila kita kaji dengan ukuran keseluruhan bangunan atau bait tersebut, merupakan sebuah bangunan yang dibangun  langsung diatas tanah kering, akan tetapi bagi Raâ Wiyon-Na Wofle mereka harus berangkat atau bepergian dengan menggunakan perahu, karena perjalanan mereka begitu jauh dan melalui lautan samudera raya. Disini terdapat suatu keajaiban dan pengalaman yang begitu mengherangkan ketika kita mengkaji dari penjelasan tentang perjalanan yang jauh dengan luasan bangunan yang mana tidak begitu jauh antara ruang/bilik yang satu dengan ruang atau bilik yang lainnya, akan tetapi karena kita sebagai manusia yang pada saat itu berada dalam hadirat Tuhan, maka waktu itu akan menyeleksi kita. Menurut mereka Raâ Wiyon-Na Wofle dan Wiyon tna, mengatakan bahwa perjalanan mereka begitu  lama dan harus menempuh suatu samudera raya, dan menurut mereka, lamanya mereka berpendidikan selama 3 bulan, akan tetapi bagi orang biasa (Raa iin) yang berada diluar kemah mengatakan bahwa lama pendidikan yang ditempuh dalam kemah k’wiyon-bol wofle adalah Enam bulan. Peristiwa-peristiwa ini yang terjadi dalam perjalanan, ada yang boleh dibicarakan namun ada yang tidak boleh untuk diungkapkan (sakral).

Wiyon Tna. Setelah Kemah terbakar, Raâ Bam-Na Tmah, Raâ Wiyon-Na Wofle, Wiyon Tna, menyelidiki lagi dengan seksama isi abu tersebut dengan tujuan bahwa jangan ada sisa-sisa perkakas yang belum terbakar, semuanya harus dibakar tanpa sisa.

            Dalam proses membakar K’wiyon-Mbol wofle (Kemah - Sekolah), tidak dibiarkan segelintir perkakas atau sepotong kayu dari kemah yang tersisa, semuanya harus dipastikan terbakar lebur menjadi abu. Setelah semuanya itu selesai barulah Raâ Bam-Na Tmah, Raâ Wiyon-Na Wofle, Wiyon Tna, boleh meninggalkan lokasi kemah untuk proses Ujian kepada Murid (Wiyon Tna), setelah diuji (sana Wiyon) baru Murid-murid diteguhkan menjadi Raâ Wiyon-Na Wofle. Dalam peneguhan wiyon tna (Murid), biasanya dilakukan dengan cara menguji setiap Murid dengan menyuruhnya menyembuhkan orang sakit (tgif kiyam), menyembuhkan orang yang kena pagut dari ular (tgif aban), melancarkan persalinan wanita hamil yang terhambat (tgif finya mabe), dan lain sebagainya. Ujian ini merupakan suatu aktivitas terakhir bagi wiyon tna (Murid) barulah diteguhkan sebagai Raâ Wiyon-Na Wofle. Ujian akhir ( sana Wiyon) yang dilakukan oleh Raâ Wiyon-Na Wofle (Rasul-Guru) dan Raâ Bam-Na Tmah (Imam-Profesor) dan di ikuti oleh Wiyon tna (Murid) guna mencapai gelar sebagai seorang Raâ Wiyon-Na Wofle. Setiap Murid yang tamat dalam pendidikan Wiyon-Wofle, memiliki dua nama, yaitu nama duniawi dan nama yang diberikan dari sekolah atau kemah (sum kafir) (nama suci).

Rincian keterangan warna:

  1. Warna merah, menunjukkan kekuatan ghaib, sakral.
  2. Warna hijau, menunjukkan areal bebas.
  3. Warna hitam, menunjukkan kefanaan, keduniawian, ketidak sempurnaan.
  4. Warna putih, menunjukkan kesucian, kemurnian, keAllahan, kesempurnaan.

Atas dasar pengakuan Wiyon tna itu sendiri, maka Raâ Wiyon-Na Wofle dan Raâ Bam-Na Tmah akan meneguhkan mereka dan mereka akan diterima sebagai anggota yang diperbaharui di dalam persekutuan wiyon-wofle (sebagai Raâ Wiyon-Na Wofle) yang sungguh-sungguh percaya kepada Wiyon-Wofle (Allah) mereka. Dengan demikian Wiyon Tna yang telah diteguhkan sebagai Raâ Wiyon-Na Wofle pun boleh duduk bersama-sama dengan Raâ Wiyon-Na Wofle yang lain bersama-sama dimeja perjamuan kudus, turut bertanggung jawab dalam tugas Wiyon-Wofle, memberitakan Allah yang dipercaya (Wiyon-Wofle) kepada dunia ini, dan turut bertanggung jawab pula dalam pembangunan Wiyon-Wofle. Raâ Wiyon-Na Wofle dan Raâ Bam-Na Tmah, percaya dan mengaku bahwa dalam dalam Tuhan mereka (Wiyon-Wofle), mereka dikumpulkan sebagai anak-anaknya dari segala bangsa dan mempersatukan mereka menjadi satu tubuh yang Wiyon-Wofle adalah kepalanya dan Raâ Wiyon-Na Wofle adalah anggotanya. Dalam perjamuan suci didalam k’wiyon-bol wofle, Raâ Wiyon-Na Wofle memberi “Bofit” dan “Waif” sebagai tanda dan meterai dari tubuh dan darah, Wiyon-Wofle senangtiasa menghubungkan Raâ Wiyon-Na Wofle kepada persekutuan dengan dia sendiri dan persekutuan antara sesama Raâ Wiyon-Na Wofle sebagai anak-anaknya.

Dalam persekutuan dengan Wiyon-Wofle, Raâ Wiyon-Na Wofle[1] dipanggil untuk mengaku dia sebagai Tuhan dan Juru selamat mereka melalui kata-kata dan perbuatan mereka setiap hari dan memberitahukan tentang dia keseluruh dunia. Jikalau dalam setiap ucapan dan perbuatan mereka tidak sesuai dengan perintah yang telah mereka terima dari Wiyon-Wofle, maka mereka akan menerima sangsi yang berat, yaitu mereka akan meninggal secara tiba-tiba (komeyan biji), ditimpa kelaparan (haisre mama), ditimpa kesakitan yang parah (kiyam mama), banyak persoalan yang menimpa (safo mai). Jenis bangunan rumah suci atau sekolah tradisional semenjak masuknya injil kristiani di dataran papua, semua jenis pengajaran maupun kepercayaan tradisional dilepaskan. Oleh karenanya kami sangat sulit untuk mendapatkan bangunannya karena saat ini tidak dibangun bisa dibilang akan punah, dan hanya saja kami dijelaskan bagaimana denah bangunannya saja sebagaimana pada gambar. 

1.      Spesifikasi Bangunan

a.      Spesifikasi Denah

            Bangunan rumah tradisional suku Maybrat, Imian, Sawiat, dibangun dengan denah segi empat yang dilengkapi dengan banyak koloum sebagai pilar utama, yaitu mulai dari 4 koloum, 5,6,7,8 dan seterusnya bergantung ukuran besar kecilnya bangunan. Bila ditelaah secara jelas dalam bentuk pondasi maka bangunan arsitektur tradisional Maybrat Imian Sawiat termasuk dalam pondasi setempat. Karena pondasi setempat memiliki banyak koloum, sehingga arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, bisa disebut dengan nama “bangunan seribu kaki”.  Untuk rumah yang dibangun diatas tanah tanpa koloum biasanya menggunakan batang pohon besar sebagai koloum utama bagi bangunan yang dibangun di atas pohon (rumah gantung atau halit myio-mbol halit).

Ukuruan jenis koloum biasanya mempunyai ukuran yang  sama namun bisa di potong menjadi pendek, tergantung pada lokasi bangunan. Misal pada lokasi yang akan didirikan rumah tidak berbatu maka ukuran koloum (hafot) yang sudah di buat  tidak perlu untuk di rubah – rubah atau di potong, namun bila pada lokasi persiapan memiliki bebatuan yang kuat dan susah digali, maka koloum (hafot) yang ukurannya panjang akan di potong menjadi pendek sesuai dengan kondisi tanah, kemiringan tanah juga mempengaruhi. Koloum – koloum yang digunakan biasanya berbentuk huruf  ‘Y’. dalam pemikiran masyarakat Maybrat Imian Sawiat dalam memilih koloum raja atau koloum induk adalah koloum harus berbentuk huruf ‘Y’ dan ‘U’, karena memiliki penyangga pada bagian luar, sehingga untuk meletakan pemikul yang mana susah tergeser. Hal ini dapat diterima dengan tujuan menghindari efek – efek horizontal yang juga bisa mengakibatkan kayu pemikul beban menjadi lepas dari tumpuannya.

            Fungsi koloum utama (hafot) adalah sebagai penyalur beban bangunan ke tanah, yang mana juga  berfungsi sebagai koloum pemikul beban keseluruhan bangunan dan isi bangunan yang ada secara kokoh. Dalam pengertian masyarakat maybrat, imian dan sawiat bahwa “koloum utama harus ditanam dan dipastikan sudah berdiri dengan kokoh karena bangunan tersebut bisa berdiri tegak bertahun-tahun karena koloumnya kokoh.

a.      Spesifikasi dinding

      Orang maybrat imian sawiat membangun rumahnya dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti pohon, rotan dan dedaunan, demikian bahan penutup dinding pada bangunan rumah juga menggunakan bahan-bahan alami seperti dinding kulit kayu, dinding gaba-gaba, dinding bambu dan dinding papan.


 1.      Skematik Membangun Rumah

a.      Memasang Koloum (Mati Hafot)

            Setiap bangunan rumah biasanya dilandasi dengan pondasi, yang berfungsi sebagai pemikul dan penyalur terakhir bangunan ke permukaan tanah. Pada arsitektur mula-mula belum dikenal dengan adanya pondasi, namun pada zaman  dimana manusia mulai mengenal adanya rumah, setelah berpindah-pindah dari tempat yang satu ketempat yang lain yang mana lubang-lubang batu dan gua sebagai tempat perteduhan utama pada zaman sebelum mengenal bangunan. Populernya dahulu tak ada pondasi namun dikenal dengan koloum yang mana terbuat dari kayu. Menurut pandangan masyarakat Maybrat Imian dan Sawiat, koloum merupakan pemikul beban bangunan dengan isinya, hal ini dapat dibenarkan karena koloum merupakan pondasi setempat yang fungsinya memikul beban bangunan secara keseluruhan.         Dalam urutan bangunan dimulai dari pondasi, demikian bagi masyarakat Maybrat Imian dan Sawiat. Adapun tahapan – tahapan dalam memasang koloum (mati hafot) adalah :

 

a.      Memasang Dinding (Mafir Hri)

Dalam proses pembuatan rumah bahwasanya dimulai dari pondasi, tiang atau koloum, dinding, rangka atap dan penutup atap. Demikianpula masyarakat suku Maybrat Imian Sawiat yang juga mengalami proses yang serupa, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia Maybrat Imian Sawiat sudah memiliki pola pikir dalam membangun rumah yang terstrukturalnya sudah tertanam atau diturun temurunkan semenjak permulaan membangun rumah oleh Too dan Sur.

Dalam tahapan pemasangan dinding adalah dimulai dengan proses pemasangan rangka dinding, tahap penyiapan bahan penutup dinding, tahap penyiapan bahan pengikat (rotan) dan waktu kerja. Mengapa dikatakan waktu kerja? Karena dalam proses mendirikan sebuah rumah, orang Maybrat, Imian, Sawiat, selalu merencanakannya sehingga menjadi matang, dan berikutnya dilakukan pekerjaan tersebut. Dalam mendirikan rumah, yang paling menghabiskan waktu adalah ketika mengumpulkan bahan-bahan bangunan seperti kayu, atap, dan rotan. Hal ini berkaitan dengan kondisi alam dengan persediaannya dan proses mencari jenis bahan yang digunakan sehingga memerlukan ketabahan dan kejelian dalam memilih bahan bangunan, terutama bahan rangka atau kayu.



 

1.      Teknologi dan Teknik Membangun

a.      Teknologi

Betapapun sederhananya sebuah bangunan, apalagi bangunan itu berupa rumah, teknologi pasti dibutuhkan. Tidak ada satu sistem bangunanpun yang tidak memerlukan teknologi. Bahkan kaum cerdik pandai mengatakan bahwa teknologi sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri.

Sejak permulaan manusia ada, sejak masyarakat yang paling primitifpun, teknologi sudah merupakan bagian mutlak dari kehidupan manusia itu sendiri. Benyamin Franklin, salah seorang pemikir masyur pernah mengatakan bahwa manusia adalah “binatang pembuat alat”. Untuk keperluan hidupnya, manusia memang memerlukan alat. Untuk berburu diperlukan pana atau jubi, tombak, untuk mancing diperlukan pancing untuk mencari ikan di laut, juga diperlukan jaring, jala, sampan, dan seterusnya. Kecakapan untuk membuat peralatan itu juga penggunaanya merupakan syarat bagi kehidupan manusia yaitu bagi kelanjutan eksistensi hidupnya. Kecakapan untuk membuat dan menggunakan alat itulah yang disebut teknologi. Secara kasar teknologi adalah “perpanjangan tangan manusia”.

Teknologi pembuatan rumah (tempat tinggal) tidaklah rendah, hal ini dapat dilihat pada karya arsitektur tradisional di tanah air. Baik arsitektur tradisional Jawa, Bali, Batak, Minangkabau, Toraja ataupun Wamena Papua, sudah tampak tingkatan mutu nilainya yang cukup tinggi. Begitupula rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat, walaupun berbentuk sangat sederhana namun tidak lahir secara mendadak. Rumah tinggal tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat telah berabad – abad teruji kekuatannya, ia setua masyarakat Suku Maybrat Imian Sawiat itu sendiri.

Kekuatan dan ketangguhan kehadapan zaman telah terbukti dari waktu ke waktu. Teknologi pembuatannya menunjukkan  keseimbangan antara kekuatan daya topang tiang – tiang gapik dengan besarnya bangunan, sehingga nampak seimbang (harmoni) dengan alam dan kehidupan sekitar.

b.      Teknik Membangun

Membangun rumah bagi warga suku Maybrta Imian Sawiat tidak terlalu rumit seperti terdahulu karena dilakukan secara gotong royong, walupun tukang yang khusus tidak ada. Membangun atau mendirikan rumah banyak yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan karena erat hubungannya dengan kesibukan dan tenaga.

c.       Utilitas dan Perlengkapan

            Untuk keperluan air bersih atau air tawar, tidak begitu sulit bagi suku Maybrat Imian Sawiat, karena Banyaknya persedian air tawar disepanjang wilayah Hunian. Untuk pembuangan limbah manusia, biasanya para warga ditanah daratan memanfaatkan WC umum dan bagi warga yang mampu sudah memilikinya sendiri. Namun bagi warga yang tinggal di perairan laut biasanya pembuangan limbah langsung ke laut.

      Untuk keperluan penerangan, Di Distrik Ayamaru, Aitinyo dan Aifat sudah menggunakan  listrik yang disediakan oleh PLN setempat, namun Distrik Sawiat menggunakan listrik tenaga suria (solar sel). Dilingkungan permukiman ini juga sudah disediakan jaringan Telekomunikasi menggunakan Phone Cell (HP) untuk wliayah Ayamaru, Aitinyo Aifat namun terpusat pada ibu kota Distrik Induk, begitupun halnya di Sorong Selatan dipusatkan di Teminabuan sebagai ibu kota distrik yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Sorong Selatan. 

E.        Mengenal Bahan – Bahan Bangunan

            Berbicara mengenai rumah tradisional suku maybrat imian sawiat, ada 5 jenis bahan bangunan utama yang perlu diketahui yaitu: bahan rangka, bahan atap, bahan dinding, bahan lantai dan bahan pengikat.

            Pada tahun 1981 kebawah, jenis – jenis kayu kuat sangat banyak di wilayah Maybrat Imian Sawiat, namun pada tahun 1982 terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan hingga mengakibatkan kebakaran hutan yang hampir keseluruhan hutan belantara di wilayah Maybrat habis terbakar diantaranya dari kampung Soroan, Sauf, Ayamaru, Kambuaya, Jidmau, Susumuk Aifat, Kambufatem hinngga Yaksoro Aitinyo, daerah ini mudah terbakar karena daerah kering dibanding daerah Imian dan Sawiat.

            Terjadinya kebakaran pada waktu itu mengakibatkan homogenitas hutan belantara menjadi hutan terbuka, yang mana segala persediaan bahan – bahan bangunan yang tadinya mudah ditemukan menjadi sulit ditemukan, seperti kayu, rotan dan kebutuhan bangunan lainnya.

            Pada saat – saat sekarang, jenis – jenis kayu yang sangat kuat untuk di gunakan dalam membuat rumah sudah langkah. Tadinya orang-orang membuat rumah tidak terlalu lama atau tidak membutuhkan waktu yang lama, namun saat ini kebanyakan kalau membuat rumah, sangat membutuhkan waktu yang relative lama karena orang Maybrat, Imian, Sawiat ketika berencana untuk membangun sebuah rumah, yang pertama di persiapkan adalah kayu – kayu sebagai bahan yang dianggap agak berat pekerjaannya dan cukup membutuhkan waktu untuk mengumpulkan kayu-kayu bermutu dari satu tempat ke tempat yang lain. Tentu saja kesulitan mencari bahan bangunan tersebut yang membuat orang Maybrat, Imian, Sawiat sebaiknya mempersiapkan waktu yang banyak dalam membangun sebuah rumah, perhitungan yang cemerlang dengan kerajinan dalam melakukannya biasa dilakukan dengan cermat sehingga waktu lainnya dapat di gunakan untuk pekerjaan-pekerjaan lain, terutama bertani karena orang-orang Maybrat, Imian, Sawiat adalah mayoritas latarbelakangnya petani sehingga tiada hari tanpa bercocok tanam.

            Meskipun banyak pepohonan kayu-kayu yang bertumbuh pada hamparan belantara wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, seperti “sitam, rmo, ramboh dan lain sebagainya, namun Orang Maybrat, Imian, Sawiat, secara turun - temurun telah di perkenalkan dengan jelas tentang jenis – jenis kayu yang sudah dianggap terbaik, agak baik, yang mana dapat digunakan dan yang tidak baik yang mana tidak bisa dipergunakan sebagai bahan bangunan.  

            Oleh pihak orang Maybrat, Imian, Sawiat jenis – jenis kayu yang dianggap mampu bertahan selama puluhan tahun jika dipakai untuk mendirikan bangunan adalah sebagaimana yang di bedakan atas nama dan Jenis – jenis warnanya, kayu tersebut disini kami hanya dapat menyebutkannya dengan sebutan bahasa ilmiahnya adalah sebagai berikut:  

1.      Bahan Rangka

a)      kayu ijie, kayunya keras dan lurus, jenis kayu ini biasanya digunakan sebagai struktur rangka utama, baik rangka atap, lantai, tiang pancang (sur), koloum (hafot). Warnanya putih kekuningan.

b)      kayu mbala, kayu ini sangat keras, lurus tidak halus, isinya berserabut, berwarna merah kecoklatan. Jenis kayu ini biasanya digunakan untuk koloum utama (hafot), selain batangnya digunakan sebagai koloum utama, kulitnya juga berfungsi sebagai penutup dinding utama.

c)       kayu hlangguf, warnanya putih membungkusi warna kemerahan, lurus dan tidak halus, isinya berserabut, kulitnya agak bergetah, jenis kayu ini biasanya digunakan untuk rangka lantai (biat) untuk ukuran kecil, tiang pancang (sur) untuk ukuran sedang dan koloum (hafot) untuk ukuran besar. Jenis kayu ini sangat kuat apabila diawetkan pada tempat yang kering dan mutunya baik.

d)      kayu siah, jenis kayu ini tidak sekeras kayu yang lain namun bila dikeringkan pada tempat kering maka akan keras, kayu ini kebanyakan di gunakan sebagai bahan struktur rangka atap atau reng (ara soom) dan struktur lantai (biat). Warnanya putih dan banyak cabang.

e)      kayu srah (gagar), kayu ini tidak digunakan untuk apa – apa tetapi hanya biasanya digunakan sebagai bahan utama penyusunan lantai (msyien rmah) dan pengait jahitan atap, jenis kayu ini sangat keras tidak mudah dipatahkan apalagi yang jenisnya lebih tua, yang mana warnanya menjadi hitam, jenis kayu ini tidak utuh tetapi sumbunya sangat besar dan yang biasanya di pergunakan adalah bagian pembungkusnya.

f)       kayu bta-bta (palem hutan) warnanya merah dan mirib dengan gagar (srah) namun bentuknya lebih besar. Pohon ini biasanya digunakan hanya untuk bahan lantai (msyien rmah)  dan pengait jahitan atap.

















































 Filosofi Simbol Kebesaran pada Ornament.

Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup itu salin terkait erat dan merupakan kesatuan pemikiran maka pandangan hidup adalah bangunan konsep yang terdapat dalam pikiran seseorang atau jaringan berfikir (mental network) yang berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Bangunan konsep itu terbentuk dalam alam pikiran seseorang secara perlahan-lahan (in a gradual manner), bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya membentuk framework berfikir (mental framework). Secara epistemologis proses berfikir ini sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan apriori dan aposteriori. Proses itu dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network).  Jaringan ini membentuk struktur berfikir yang koheren yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Maka dari itu pandangan hidup atau filosofis seseorang itu terbentuk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Konsep-konsep yang terakumulasi itu sudah tentu melalui proses dan mekanisme mengetahui yang menerima dan menolak pengetahuan yang diperolehnya secara selektif. Artinya ketika akal seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi yang alami, dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari struktur worldview yang dimilikinya dan jika akal tidak menerimanya ia tidak menjadi bagian dari pandangan hidup. Orang bisa saja mengetahui faham sekularisme, misalnya, tapi ia tidak mesti menerima faham itu dan menjadi sekuler.     Jika struktur konsep yang masuk kedalam pikiran seseorang itu dilacak secara alami maka maka akan kita tau bahwa konsep yang pertama kali masuk dalam pikiran seseorang adalah tentang kehidupan, termasuk didalamnya konsep hubungan antar sesama arti dan tujuan hidup (dalam kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, Disebut sebagai sistem RA BOBOT – NA BOBOT - BIG MAN), cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya. Sesudah konsep hidup dan kehidupan berkembang dalam pikiran seseorang maka secara alami pula konsep mengenai dunia dimana manusia hidup akan terbentuk. Pandangan dan konsep mengenai dunia di sekitarnya ini akan melahirkan konsep ilmu pengetahuan. Gabungan dari konsep kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan konsep yang lebih canggih lagi yaitu konsep nilai dan moralitas.Dari kombinasi itu semua konsep yang tidak kalah pentingnya adalah konsep tentang diri manusia itu sendiri yang diekspresikan dalam pola penataan bangunan sebagai sibol kebesaran. Meskipun pengetahuan yang diterima oleh akal manusia itu bersifat acak, namun ketika ia terstruktur dalam pikiran manusia dalam bentuk konsep-konsep ia dapat diindetifikasi.

Ragam hias ornamen pada sebuah arsitektur baik itu klasik, moderen, post moderen serta rumah tradisional, merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak masing-masing  yang melambangkan spiritualitas, seni, filosofi atau pandangan hidup seseorang atau kelompok yang ditampilkanOrnamen pada sebuah bangunan, Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.

Masyarakat  tradisional Indonesia pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Tatanan atau aturan itu bersifat stabil, selaras, dan kekal. Aturan itu merupakan tatanan budaya sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya. Apabila tidak bertentangan dengan alam, niscaya hidupnya akan tenang dan damai. Yang menyimpang dari tatanan dan aturan merupakan "dosa" yang patut menerima sanksi atau hukuman. Masa itu perbuatan manusia selalu berdimensi dua, dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk megungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai tanda-tanda atau simbolik, dua macam tanda penting, pertama: Mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua: Ritual upacara berupa perlakuan simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan manusia, agar manusia terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur budaya masyarakat tradisional.

Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya kosmologi. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dirinya sendiri, egocentrum. Kemudian manusia mengembangkan dorongan naluri dan nalarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan egocentrum akan menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan budaya atau kebudayaan.

Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan leluhur yang di pengaruhi oleh ethos budaya dan mempunyai sifat-sifat khusus, antara lain kekhususan itu ditandai dengan cara mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, pola hubungan antar manusia. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya didasarkan pada anggapan bahwa eksistensinya hidup dalam kosmos alam raya dipandang sebagai suatu tatanan yang teratur dan tersusun secara hirarkis dalam sebuah tatanan budaya yang terjaga.

Ketika kita bicara tentang kebudayaan, maka arsitektur adalah salah satu hasil karya seni budaya bangsa. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan dan arsitektur tergambar pada telahan masing -masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur-unsur konsep, cara membangun dan wujud nyata dari bangunan sebagai lingkungan buatan dalam lingkungan sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran ide, perbuatan, sikap dan prilaku behavior serta hasil karya seni artefak. Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang menjadi bayangan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa.

Secara konsepsual arsitektur, masyarakat tradisional berangkat dari suatu pandangan hidup ontologis, memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri, filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat, yang merupakan mitos asal kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan angin.

Bagi masyarakat tradisional yang berpikir secara fotolitas, ornament dipengaruhi oleh: Struktur kosmos, dan filosofi hidup, di mana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas sebagai tempat suci, alam tengah, sebagai tempat berlangsungnya kehidupan manusia, dan alam bawah, tempat terjadinya interaksi dengan lingkungan sekitar dan makhluk hidup lainnya.

Ragam hias ornamen pada rumah tradisional merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional dan filosofis sebagai pandangan hidup pemilik. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.

Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang memiliki arti rejeki, kebesaran, sakral, kesucian, kekuatan yang tidak putus putusnya,. Ornament disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial.


_______________________________________________________


BAB III

EVOLUSI ARSITEKTUR MAYBRAT IMIAN SAWIAT

 

A.    Bagaimana Tempat Tinggal Nenek Moyang Suku Maybrat Imian Sawiat  Papua.

Diatas telah disebutkan bahwa rumah leluhur Suku Maybrat Imian Sawiat dibuat dari bahan kayu dan rotan. Hal itu memang dibenarkan dengan suatu pembuktian adanya bukti – bukti otentik serta dengan sebutan nama too (rotan) dan sur  (kayu), dan bila dikaji secara jauh kebelakang pada zaman sebelumnya orang-orang Maybrat Imian Sawiat membutuhkan tempat tinggal untuk menanggulangi diri dan keluarga, baik dari hujan, binantan buas, maupun dari para musuh. Mau tidak mau mereka harus berpikir secara praktis dengan berbagai cara telah dilalui guna bertahan hidup, maka pada zaman kuno/prasejarah orang – orang maybrat imian sawiat memanfaatkan gua – gua (isra) sebagai tempat tinggal dimana gua – gua itu membentuk ceruk – ceruk didalam batu karang yang dapat dipakai untuk berteduh. Hingga saat ini belum adanya penelitian tentang gua – gua yang dahulu digunakan sebagai tempat melindungi diri tersebut. Disamping gua – gua, ada pula benda-benda pusaka lainnya yang diwariskan nenekmoyang mereka yang hingga kini masih disimpan. 


telah berhasil dari pendidikan tradisional tersebut, sebelum meninggalkan ruang sekolah, ia dipakaikan pakaian – pakaian khusus yang menandakan bahwa ia telah lulus atau dalam kepercayaan orang Maybrat, Imian dan Sawiat ia adalah orang suci (Raa Wiyon-Na wofle), karena ketika seorang anak yang disekolahkan disana, ia diharuskan untuk berpuasa dan makanannya hanyalah sebongkahan keladi (ketala) dan minumannya adalah pucuk tebu yang paling muda. Aturan makannya adalah sehari sekali dan itupun bilamana diperbolehkan oleh seorang guru besar. Selain murid berpuasa, dari seorang keluarganya harus berpuasa juga, misalnya seorang ayah, ibu, atau keluarga dekat yang diutus untuk berpuasa selama demu keselamatan anak mereka selama mengikuti pendidikan. Kadang dibagi untuk seorang laki-laki atau perempuan berpuasa makan dan seorang laki-laki atau perempuan lagi berpuasa air minum. Kepercayaan akan pendidikan tradisional itu tidak lain adalah didikan tentang theology natural yang disebut wiyon-wofle, yang mana didalamnya diajarkan suatu kepercayaan tradisional yang penuh dengan kekuatan ghaib, dan untuk memperoleh kekuatan – kekuatan tersebut, seorang murid diharuskan untuk meninggalkan dan melepaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemikiran – pemikiran yang jahat, pemikiran akan hal – hal lampau yang pernah ia laluinya, melepaskan diri dari kedagingan (keduniawian) fana dan sepenuhnya bersedia untuk menyerahkan dirinya secar bersih untuk dididik. Dengan demikian,  maka murid tersebut menjadi murid yang suci dan yang paling termulia kelak. Begitulah perkenalan singkat tentang sejarah perkembangan arsitektur tradisional Maybrat Imian Sawiat yang disebut ‘Halit-mbol’.
1.      Perkembangan Rumah Tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat
             Perubahan dalam bentuk arsitektur rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, terjadi karena perkembangan, bentuk arsitektur ini tidak ditemukan seketika, namun terbentuk melalui suatu proses. Yaitu ; proses mencoba (trial and error) yang mana merupakan bentuk intervensi manusia dalam suatu waktu yang cukup panjang. Oleh karena kompleksitas linear dengan waktu, maka dalam perkembangannya terjadi interaksi yang berkelanjutan antara rancangan yang tumbuh (growing design) dan lingkungan. Adapun analisa perkembangan rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, sebagai berikut :
1.      Tempat pertama orang Maybrat Imian Sawiat dan manusia umumnya berlindung dari kondisi iklim dan gangguan binatang buas yaitu pohon.
2.      Sama dengan diatas, Gua digunakan sebagai tempat untuk berlindung dari gangguan alam luar.
3.      Perkembangan selanjutnya adalah mulai dikenalnya suatu konstruksi kaku dari ranting – ranting kayu yang membentuk suatu rumah atau shelter/tenda.
4.      Perkembangan berikutnya dengan meninggalkan bangunan rumah panggung untuk keamanan diri dari binatan dan juga dari musuh serta kenyamanan kelembaban.
5.      Bentuk berikutnya masih menyerupai bentuk sebelumnya,  namun ditambah dengan peningkatan kualitas dan variasi elemen bangunan.
6.      Bentuk yang mengikuti perkembangan dan kecanggihan.

2.      Pengaruh agama terhadap bentuk, rancangan, tujuan dan orientasi, khususnya rumah suci atau rumah sekolah tradisional k’wiyon-mbol wofle - tabernakel.

Wujud dan struktur rumah Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan bangunan tradisional yang mana  dapat dipakai sebagai cermin akan tingkat teknologi, cermin akan gaya hidup (wav of life) serta nilai – nilai Masyarakat Maybrat Imian Sawiat.

            Rumah tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat baik struktur maupun bahan lainya menunjukkan kondisi lingkungan serta bahan seperti bangunan rumah dari kayu, bambu, dan gaba – gaba. Bahan – bahan ini membatasi fariasi bentuk atau struktur bangunan, terutama bila dikerjakan dengan teknologi sederhana. Orang – orang di wilayah Maybrat Imian Sawiat Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Maybrat yang juga termasuk dalam hutan tropis, hanya berpikir membuat atap rumah agar memperlancar jatuhnya air hujan dan sebagai penghambat sinar matahari. Demikian juga ditemukan di daerah rawa – rawa atau perairan (pesisir) yang juga mendirikan rumah dengan kecenderungan menggunakan tiang pancang yang tinggi agar menghindar dari pasang surutnya air payau (air laut).

a.      Arsitektur Rumah Tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat

Rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan salah satu Rumah Tinggal tradisional yang ada di Indonesia. Rumah Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat adalah sebuah bangunan rumah panggung dari tiang – tiang kayu yang ukurannya panjang. Tiang yang dipergunakan adalah kayu yang dikategorikan sebagai jenis kayu yang kuat pada daerah tropis, yang mana disambung dari satu struktur ke struktur yang lain dengan saling berkaitan serta berpegangan kuat sehingga membentuk rumah.

Dari segi organisasi ruang, rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat dibagi dalam dua bagian utama yaitu : Isit (teras) dan Samu Mato (ruang dalam/interior). Sedangkan untuk K’wiyon-bol wofle (Rumah Suci/Sekolah/kemah) memiliki : Bohra mne atau disebut kre finya (Halaman Luar), kre ra sme (Ruang Suci), dan  samu mato ro mbaouw toni (Ruang Maha Suci).

Bentuk asli rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat Terdiri dari tiga bagian struktur yaitu : bagian kaki, bagian badan dan bagian kepala. Bagian kaki adalah Hafot – Sur (Koloum - Tiang) dan Barit (tangga). Bagian badan adalah samu mato (ruang dalam/interior) sebagai ruang aktifitas, kriras  (dinding). Bagian kepala adalah afi (Atap). Koloum berbentuk segi empat dan ada pula yang berbentuk bulat. Tiang berbentuk bulat. Koloum dan tiang bertumpu langsung pada tanah untuk rumah gantung yang dibangun pada permukaan tanah, sedangkan tiang bertumpu pada badan pohon, bagi rumah gantung atau rumah pohon yang di bangun diatas pohon rindang. Bagian kepala atau atap umumnya berbentuk pelana, dengan kemiringan 45° dengan sudut jatuh atap menutup dinding bangunan. Pada ujung atapnya dibiarkan ukuran kayu yang kelebihan sebagai penggantungan rahang Babi atau rusa, yang mana rahang-rahang ini sebagai sebuah simbol yang menunjukkan kemampuan berburu seorang laki – laki. Dalam aliran membangun rumah, bentuk bangunan dalam strata/kasta tidak ditonjolkan. Rumah tradisional Maybrat Imian Sawiat tidak memiliki jendela, namun untuk penghawaan dalam ruang, Orang – Orang Maybrat Imian Sawiat cenderung membuat ukuran ventilase/kisi – kisi sangat besar tanpa ditutup sehingga udara yang masuk mampu memberi hawa kenyamanan udara yang baik.
Masyarakat Maybrat Imian Sawiat mendirikan rumah dengan tidak adanya ukuran namun dengan metode memperkirakan yang mana disesuaikan dengan ukuran bahan – bahan bangunan seperti kayu.   Baik  dinding, tangga, bahkan ukuran tinggi bangunan  sedangkan atap diukur dengan bentuk pola Daun dan Swastika. Ukuran daun dan swastika ini dikenal oleh penduduk di tionghoa  yang dalam bahasa Tionghoa dikenal dengan Banji. Pada jaman perunggu Eropa Barat juga dikenal Swastika sebagai lambang peredaran bintang utamanya matahari dan digambarkan sebagai lambang pembawa tuan.  Perkembangan bentuk rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat mengalami empat tingkatan / fase yaitu :

 1.      Fase Keempat,  pada  fase  ini  merupakan  fase yang  sudah  dipengaruhi oleh moderenisasi dan teknologi . Perabot sudah serba moderen, dan perdagangan sudah  sangat   meluas menelusuri dan      menyusup masuk ke seluruh perkampungan Maybrat Imian Sawiat di wilayah  Kabupaten  Sorong   Selatan dan  Kabupaten    Maybrat     Province     Papua, dan manusianya sudah menjadi orang-orang yang berhasil. Bagi masyarakat Maybrat Imian Sawiat, pendidikan sangat penting bagi mereka, karena pendidikan menandakan bahwa masa depan itu ada. Pembangunan rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat ini tidak lepas dari budaya yang berkembang di Masyarakatnya. Sebagai Masyarakat yang asal usulnya dikenal dengan manusia Nelayan, Petani dan Pemburu, maka tak herang kalau mereka mengenal budaya Wiyon/wofleWiyon/wofle itu sendiri adalah faktor – faktor yang menjadi pertimbangan Masyarakat Suku Maybrat, Imian, Sawiat, untuk mendirikan rumah. Faktor – faktor tersebut adalah Pola hidup, mata pencaharian, pengetahuan akan lingkungan alam, Agama dan kepercayaan. Sampai sekarang pola rumah ini cenderung tetap bertahan, namun adanya keraguan akan keeksistensiannya hingga tahun 2025, karena suku Maybrat, Imian, Sawiat, cenderung mengembangkan arsitektur barat ketimbang arsitektur tradisional mereka, walau sebagai masyarakat petani dan pemburu yang masih lekat dengan kebudayaan mereka yang pasti dalam mempertahankan nilai – nilai dan bentuk – bentuk tradisionalnya, karena secara keseluruhan masyarakat, alam dan bangunan telah menyatu dalam nilai budaya yang utuh namun hanya sebatas mengetahui, karena hingga kini kecenderungan orang Maybrat Imian Sawiat dalam mengembang moderenkan arsitektur tradisional mereka tidak terlihat (kurang adanya pengeksplorasian). Perlu diketahui bahwa perumahan suku Maybrat Imian Sawit ini berada di wilayah alam hutan dengan kondisi alam yang sangat keras. Dalam hal ini dapat digambarkan bahwa alam Papua umumnya dan alam sekitar perumahan suku Maybrat Imian Sawiat dikenal dengan alam yang penuh dengan gunung - gunung, lembah, tebing terjal,  hutan, semak belukar dan lereng perbukitan. Hal ini akan menjadi tantangan bagi rumah yang berhubungan langsung dengan alam homogen untuk tetap bertahan, karena disamping menyesuaikan diri dengan pengaruh alam sekitar, juga masalah kelembaban yang ditimbulkan dari alam. Kencangnya angin yang bertiup dari daratan pada malam hari dapat merubah suhu udara menjadi sangat dingin dan curah hujan didaerah ini terjadi sepanjang tahun. Hal ini tentunya mendatangkan masalah tersendiri yang sangat penting untuk diperhatikan bagi para petani yang berkebun dan pemburu.  Keberhasilan atau kelanggengan perumahan ini untuk tetap bertahan hingga kini, berarti membuktikan bahwa keterujiannya untuk mengantisipasi kondisi iklim lingkungannya. Ketangguhan rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat beserta nilai – nilai budaya masyarakatnya terhadap pengaruh iklim lingkungannya hingga kenyamanan thermal dalam ruang dan keselamatan dari serangan – serangan dapat tercapai, hingga terasa perlu untuk dipertahankan dan menarik untuk ditulis.   

a.      Pola  Hunian

            Ada tiga macam pola hunian yang popular di gunakan dalam penataan suatu hunian kota (urban space) yaitu; pola linear, grid dan polar. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, cenderung mengembangkan pola hunian memanjang (polar) yang mana cenderung mengikuti jalan, aliran sungai, pesisir pantai dan lereng perbukitan.

1.      Pola Hunian Wilayah Pesisir

            Pola hunian di lingkungan pesisir ini berada pada pantai yang cukup terlindungi dari gelombang, Karena daerah hunian terlindungi dari teluk – teluk dan kepulauan sebagai penahan gelombang laut. Tata letak bangunan di daerah pesisir ini, umumnya memanjang sejajar dengan garis pantai, dan terdiri atas beberapa lapisan,  baik ke arah darat maupun kearah perairan sesuai dengan jumlah penduduk dan ruang yang tersedia. Pola jejer berlapis disertai jejeran jaringan jalan darat untuk tiap rumah yang berada di jalan itu. Tipologi hunian seperti begini termasuk kategori tipe : the line village.
Pertapakan bangunan hunian rumah pesisir di kelompokkan dalam  dua tapakan, yaitu :
Peralihan
a.  tanah darat dan perairan, yaitu: 
   Bangunan rumahnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut (payau) dan situasi lingkungan  
    sekitarnya. “sea Set and withdraw line”.
b. Di hamparan tepi pantai, yaitu:
    Bangunan rumahnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan bentuk bangunannya 
   disesuaikan dengan pengalaman warga setempat agar luapan pasang air laut tidak masuk ke 
   dalam rumah.
 
Pola Hunian Wilayah Daratan
            Pusat permukiman di daratan wilayah Maybrat Imian Sawiat ini berada pada lereng perbukitan yang cenderung menjulang dengan hamparan bangunan yang cenderung mengikuti jalan. Tata letak perkampungan di wilayah daratan ini, umumnya mengikuti jalanan dan lereng perbukitan yang mana terlihat layak untuk didirikan bangunan dan perhunian. Pertapakan bangunan rumah masyarakat Maybrat Imian Sawiat wilayah daratan ini dikelompokan dalam tiga kategori yaitu :
a. Di tanah darat
Bangunan rumahnya tidak dipengaruhi, atau merupakan pola hunian yang sudah berkembang moderen.
b. Peralihan tanah darat
Bangunan rumahnya dipengaruhi oleh lereng perbukitan yang menjulan.
c. Di hamparan Jalan
Bangunan rumahnya dipengaruhi oleh alur jalan dan bentuk bangunannya disesuaikan dengan perkembangan tata ruang.

A.4. Kondisi Hunian

1.      Kondisi Fisik Lahan

            Secara umum, struktur tanah di Distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat, Kabupaten Maybrat, Sawiat dan Teminabuan Kabupaten Sorong Selatan, terdiri dari beberapa jenis antara lain; jenis alluvial, mediterania, padzoik, latosol, organosol, litosol dan gambut. Sedangkan jenis tanah yang ada secara umum antara lain tanah kemerahan, tanah endapan alluvial, dan tanah alluvial muda.

2.      Kondisi Permukiman

            Pusat permukiman di wilayah Maybrat Imian Sawiat berada pada lingkungan dataran rendah (Pesisir pantai), dataran datar (daratan datar), dataran Tinggi (pegunungan) yang disebut Plato Ayamaru. Tata letak perkampungan di Wilayah, Maybrat, Imian Sawiat, umumnya memanjang sejajar (polar) ada yang mengikuti Jalan, sungai, dan alur perbukitan dan gunung.

            Bentuk permukiman Masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, dikenal dengan permukiman Marga atau Keret – klen dan berkembang menjadi komplek. Yang mana bila disatu marga keluarga yang tinggal di salah satu sudut kampung disana akan berkumpul keluarga dan marga atau keret yang sama.

Permukaan perkampungan wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, berupa banguan  panggung dengan bahan konstruksi utama kayu sebagai struktur utama dan rotan sebagai pengikat. Umumnya masyarakat di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, mengenal jenis kayu yang daya tahannya cukup besar baik terhadap pengaruh air laut  dan daratan.

Biasanya untuk kayu yang mempunyai kualitas terbaik, digunakan pada bangunan yang sering terrendam air, khusus untuk bangunan pada areal pesisir dan untuk jenis kayu pada daerah daratan adalah kayu yang daya tahannya kuat terhadap rayap (fom). Orang Maybrat, Imian, Sawiat, sangat jeli dalam memilih bahan-bahan karena kekuatan suatu bangunan dipengaruhi oleh jenis – jenis kayu yang digunakan dalam mendirikan suatu bangunan rumah hunian tersebut.

Untuk matahari, dinding umumnya menggunakan kayu, gaba – gaba, dan kulit kayu. Untuk  lantai umumnya memakai gagar dan palem. Sedangkan untuk material atap rumah, sesuai dengan sumber daya alam setempat adalah dedaunan yang dianyam/diraut atau diramu menjadi atap, yaitu seperti daun sagu, daun tikar (pandanus), dan daun nipa. Selain mudah didapat, lebih tahan terhadap pengaruh iklim sekitar dan dapat meredam panas matahari sehingga ruang dalam rumah tetap sejuk. Sebaliknya atap seng menurut pengalaman mereka, selain mahal juga mudah berkarat dan ruang dalam rumah lebih panas pada siang hari.  Sungguhpun demikian, cukup banyak rumah telah beratap seng. Tampaknya penggunaan bahan ini lebih mencerminkan kemampuan ekonomi pemilik rumah bersangkutan.

 Secara sederhana Suku Maybrat, Imian, Sawiat, adalah merupakan masyarakat yang mendiami daerah pesisir dan pegunungan yang berkumpul sekelompok orang yang kehidupan mereka tergantung pada laut bagi kelompok yang mendiami daerah pesisir, dan tergantung pada pertanian bagi kelompok yang mendiami daerah pegunungan. Yang mana terungkap bahwa Suku Maybrat, Imian, Sawiat,  berada dalam kehidupan budaya bertani dan nelayan atau kehidupan yang mendapatkan inspirasi dan kreativitas dari suasana lautan dan daratan.

Pengetahuan atau konsepsi Suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang berkaitan dengan daratan dan perairan adalah sebagai sarana kehidupan dan perhubungan bahkan sebagai ruang produksi, yang keduanya akan diuraikan sebagai berikut :

a.      Peranan Laut sebagai Prasarana Perhubungan Pesisir

Hubungan antar tempat dipantai lebih lancar daripada hubungan antar pantai dengan pedalaman darat di zaman kuno, bahkan bagi Suku Maybrat, Imian, Sawiat, masih nampak yang mana permukiman penduduk mereka pada mulanya berada di pantai, dan perairan laut yang telah memperoleh peran sebagai prasarana perhubungan, sebagai gerak - gerik laut telah menjadi pengetahuan warga yang menggunakannya. Pengetahuan diturunkan dari generasi ke generasi baik melalui ajaran maupun melalui semacam permagangan. Contoh pemagangan adalah orang tua mengajak anaknya untuk melaut atau orang tua mengajak anaknya untuk berkebun dan berburu.

Pengetahuan Suku Maybrat, Imian, Sawiat, tersebut diatas ada yang langsung dan ada yang tidak langsung mengenai perairan laut. Pengetahuan langsung, antara lain berkenaan dengan pasang surut, arus, gelombang, dan kedalaman. Pengetahuan tidak langsung adalah gejala diluar perairan laut, tetapi diketahui dan disadari dapat mempengaruhi gerak - gerik laut, seperti per-awanan, angin, kedudukan bulan dan bintang.

Pengetahuan itu mereka gunakan benar – benar dengan maksud menyelesaikan pelayaran dengan selamat dan cepat. Mereka mampu antara lain mengubah arah dalam penggalan – penggalan pelayaran mereka sesuai dengan jenis alat angkut yang mereka gunakan dengan kondisi perairan.

b.      Peranan Daratan Sebagai Areal Kehidupan

Walau diketahui peran laut sebagai prasarana daerah pesisir yang lebih lancar, namun orang – orang Maybrat, Imian, Sawiat,  juga membutuhkan daratan sebagai areal kehidupan. Daratan sebagai areal kehidupan yang mana menyediakan bahan hasil perkebunan. Karena walaupun mereka yang hidupnya di daerah pesisir yang mata pencahariannya adalah nelayan namun membutuhkan makanan berat seperti keladi, petatas, sagu dll.

Daratan merupakan tempat bercocok tanam bagi Suku Maybrat, Imian, Sawiat, walau ia seorang nelayan sekalipun.

c.       Daratan dan Laut Sebagai Ruang Produksi

Penggunaan daratan dan laut sebagai ruang produksi sudah sejak zaman kuno dikenal oleh  Suku Maybrat, Imian, Sawiat,  baik yang sebagai petani bahkan nelayan. Bagi para nelayan sering mengembara jauh dari permukimannya. Jangkauan jauh seperti ini antara lain dituntun oleh pengalaman para pelaut berpengalaman tentang musim – musim penangkapan ikan tertentu dikawasan tertentu.

Bagi para petani, untuk mencapai suatu lahan terluas dalam berkebun, membutuhkan tenaga dan energi yang semangat, petani sering bekerja dengan kerajinan dan tenaga yang ia miliki. Bagi seorang calon petani hendaknya diajari tentang bagaimana memegang alat – alat kerja, karena jika sudah berpengalaman, maka ia akan sebagai orang yang berhasil dalam memprodusksikan  hasil pertanian yang berlimpah.

Kehidupan Suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang berprofesi sebagai nelayan umumnya terisolasi dari kehidupan masyarakat didaratan. Namun demikian masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, pada umumnya antara nelayan dan non nelayan hidup dalam satu wilayah kampung, namun ada kecenderungan pengelompokan permukiman menurut marga atau keret-klen (familly) dan jenis pekerjaan mereka. Pergaulan para nelayan penangkap ikan cenderung terbatas dengan persediaan logistik. Pola makan para nelayan biasanya sangat sederhana, karena mereka terbiasa dengan persediaan logistik terbatas ketika mereka berlayar bila dibanding dengan pola makan para petani yang biasanya sangat banyak akan makanannya.

d.      Mata Pencaharian

Salah satu sistem budaya wiyon/wofle yang mempengaruhi bentuk rumah tinggal Suku Maybrat, Imian, Sawiat, adalah mata pencaharian dan situasi lingkungan.

Umumnya mata pencaharian yang mendominasi penduduk Maybrat, Imian, Sawiat, adalah Bertani dan Memburu, sedangkan berikutnya adalah nelayan, yang setiap hari waktunya di kebun, hutan dan laut. Untuk petani berkebun, untuk pemburu di hutan untuk memburu Babi, Rusa, Kanguru dan Tikus sedangkan untuk nelayan berada di laut untuk mencari ikan dan hasil perikanan lainnya. Sebagai petani, pemburu dan nelayan, hidup merekapun tidak jauh dari hutan dan laut bahkan huniannya berhubungan langsung dengan hutan bagi mereka yang matapencahariannya pemburu dan petani, dan bagi para nelayan huniannya berhubungan dengan laut. Hal ini tercermin pada bentuk tatanan huniannya ke arah laut bagi para nelayan  yang berbaris disepanjang garis pantai, begitupun mereka yang di daratan yang mana bangunannya berorientasi pada arah jalan dan berhubungan langsung dengan alam bebas.

Bentuk tampilan seperti rumah gantung atau rumah panggung, juga mempunyai hubungan erat dengan  mata pencaharian mereka sebagai petani, pemburu dan nelayan. Dapat dilihat pada kolong rumah yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat – alat perburuan bagi para petani dan pemburu sedangkan bagi para nelayan dapat dilihat bahwa kolong rumahnya difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat – alat perikanan seperti pukat, jaring dan lain – lain. Sedangkan bagian hunian yang berada di hamparan air, kolong rumahnya difungsikan sebagai sandaran atau parkiran perahu yang mereka gunakan sebagai alat transportasi.

e.       Pola Hidup

Salah satu sistem budaya wiyon/wofle yang mempengaruhi bentuk rumah tinggal Suku Maybrat, Imian, Sawiat, adalah pola hidup. Pola hidup di ekspresikan melalui tingkah laku manusia. Bahwa membangun sebuah rumah merupakan gejala budaya, maka bentuk pengaturan ini dipengaruhi oleh budaya lingkungan pergaulan dimana bangunan itu berada dan bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor atau faktor tunggal lainnya, tetapi merupakan konsekwensi dan cakupan faktor – faktor  budaya dalam pengertian yang luas.

Budaya yang menyangkut perilaku manusia dalam kehidupan keseharian yang mewarnai kehidupan masyarakat Suku Maybrat, Imian, Sawiat, adalah kebiasan masyarakat dalam menampung kayu bakar untuk keperluan masak dan penghangat tubuh. Keperluan akan suhu penghangat tubuh mempengaruhi bentuk dan kemiringan atap rumah tinggal yang cenderung sangat miring hingga bisa menutup dinding.

Kebiasaan masyarakat untuk mencuci, mandi, dan buang air didaratan hutan sehingga pada huniannya tidak tersedia KM/WC. Sertamerta perilaku anak- anak dalam bermain seperti kebiasaan bermain di hutan (memburu burung, tikus, babi, rusa dan telor maleo) yang mana dijumpai pada anak – anak yang hidup di daerah pegunungan sedangkan bagi anak – anak di daerah pesisir pantai dalam bermain kebiasaannya bermain di laut (berenang, menyelam, memancing, mencari kerang dan lain - lain), sehingga mengakibatkan tidak tersediannya open space di darat. Kebiasaan dan perilaku masyarakat tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi bentuk arsitektur di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat.

f.        Lingkungan Alam

Kerasnya lingkungan alam dan situasi kehidupan yang serba saling membunuh (perang-perangan), dapat menjadi tantangan utama yang menantang suku Maybra,t Imian, Sawiat, untuk bertahan hidup. Sebagai masyarakat petani di daerah pegunungan yang seluruh hidupnya dihabiskan di kebun dan hutan, dan untuk masyarakt pantai yang menghabiskan hidupnya di laut, suku Maybrat, Imian, Sawiat, mampu mengatasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

 Untuk merespon keadaan alam dan situasi lingkungannya seperti terpaan gelombang, angin kencang, kelembaban yang tinggi, dan tekanan musuh, masyarakat suku Maybrat, Imian, Sawiat, mengatasi dengan cara dan pengetahuan yang dimiliki oleh mereka.

Untuk mengatasi terpaan angin kencang sudah menjadi gejala alam di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat. Untuk mengatasi hal tersebut, suku Maybrat, Imian, Sawiat, membangun rumah dengan konstruksi dari kayu dan antara elemen satu dengan lainnya dikaitkan membentuk suatu struktur yang kaku, namun cukup elastis dan fleksibel, Sehingga apabila terjadi terpaan angin kencang, rumah dengan konstruksi kayu ini tidak akan roboh tapi hanya melenggang saja.

Angin kencang yang bertiup dari arah laut pada dini hari dan pagi hari, memaksa warga suku Maybrat, Imian, Sawiat, khusunya dalam peralihan  bentuk dan tampilan  bangunan yang relatif tertutup. Bukaan – bukaan dibuat relatif kecil, dan jendela (bukaan) diganti dengan kisi – kisi untuk penghawaan dalam ruang.  

3.      Kehidupan Sosial Budaya Zaman Prasejarah – Zaman Sejarah.

a.             Budaya Berbahasa. 

1)      Untuk Suku Maybrat berbahasa Maybrat 

            Suku ini Mendiami Distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat, Teminabuan dan sebagian Sawiat. Berikut kita akan berkenalan dengan tata bahasa Maybrat yang mana disusun dalam tiga bahasa yaitu bahasa Maybrat, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Lihat dihalaman Lampiran.

2)      Untuk Suku Imian berbahasa  Imian

Suku Ini mendiami distrik Imian Sawiat, Teminabuan. Untuk bahasa Imian memiliki perbedaan yang signifikan baik pelafalan, ucapan dan makna dengan bahasa Maybrat, dan Sawiat, walaupun ada beberapa kata yang sama yang mana diadopsi dari bahasa Maybrat dan Sawiat sebagai pelengkap, demikian sebaliknya bagi pengguna bahasa Sawiat dan Maybrat.

3)      Untuk Suku Sawiat berbahasa Sawiat

Suku Ini Mendiami Distrik Imian Sawiat, Teminabuan dan sebagian Maybrat.

            Untuk budaya penggunaan bahasa, bagi masing – masing suku tersebut memiliki perbedaan bahasa begitu mencolok, misalnya dari sebutannya, dialeknya dan artinya. Bagi kehidupan sosial dalam berhubungan inter-relasi antar mereka, yang bisa secara gamblang mampu menggunakan dua bahasa adalah mereka yang hidupnya tepat pada perkampungan yang letaknya berbatasan antara satu distrik dengan bahasa berbeda dengan distrik yang lain. Seperti kampung Sauf, Soroan, Mahajan, Segior, Sengguer, Keyen, Moswaren dan boldon yang mana letak kampungnya berbatasan langsung antara Suku Maybrat yang menggunakan bahasa Maybrat dan Suku Sawiat yang menggunakan Bahasa Sawiat. Penduduk kampong inilah yang bisa menguasai kedua bahasa tersebut. Sedangkan Kampung Wehali, Tehit, Imian, Sawiat berbatasan langsung dengan  Suku Maybrat yang berbahasa Maybrat dan Suku  Imian yang menggunakan bahasa Imian dan Suku Sawiat yang menggunakan bahasa Sawiat. 

Secara sederhana Suku Maybrat Imian Sawiat adalah merupakan manusia yang mendiami daerah pesisir dan pegunungan yang berkumpul sekelompok orang yang kehidupan mereka tergantung pada laut bagi kelompok yang mendiami daerah pesisir, dan tergantung pada pertanian bagi kelompok yang mendiami daerah pegunungan. Yang mana terungkap bahwa Suku Maybrat Imian Sawiat  berada dalam kehidupan budaya bertani dan nelayan atau kehidupan yang mendapatkan inspirasi dan kreativitas dari suasana lautan dan daratan.

Selain kehidupan yang sederhana, masyarakat maybrat imian sawiat mampu menciptakan berbagai macam kelengkapan kebutuhan hidupnya antara lain adalah :

b.        Buday Berbusana         

Kehidupan mula – mula orang maybrat imian sawiat, sudah mengenal adanya busana, yang mana busana – busana tersebut memiliki perbedaan – perbedaan antara busana kaum laki – laki dan busana kaum perempuan. Bagi kaum perempuan, busananya terbuat dari bahan rerumputan (biyait) + kain  selendang (boyan). Sedangkan untuk kaum laki – laki, busananya terbuat dari kulit kayu yang di gunakan sebagai cawat/cedaku (git mboh) + kain/selendsng yang juga sebagai cawat atau cedaku (git boyan). Lihat lampiran gambar orang Maybrat, Imian, Sawiat, dengan berpakaian busana tradisional mereka berikut:

 

d.      Ukiran       

         Dalam perkembangan sejarah manusia, bahwa kehidupan manusia pertama itu berkembang dengan menggunakan naluri masing – masing yang tidak jauh dari lingkungan kehidupannya. Mungkinsaja pikiran pokok mereka pada waktu itu adalah “bagaimana ia mendapat makanan dan bertahan hidup”. Manusia Maybrat, Imian, Sawiat, berkembang dalam pola demikian, bagi orang maybrat imian sawiat tidak hanya ia berpikir dinamis tetapi statis, pemikiran mereka selalu mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan akan waktu dan tempat.

            Pemikiran dan daya pikat manusia pertama yang berkembang dari nol hingga menjadi pemikiran akan kemenangan yang menjadikannya menjadi kuat dan menang terhadap alamnya yang buas. Bagaimanapun perkembangan akal pikiran manusia pertama bisa dibilang terbentuk oleh situasi sekitarnya, misalnya seperti : ketika manusia itu menemukan alat pemotong seperti kapak batu, mungkin saja kita berpikir itu mrupakan cara kebetulan dimana dengan secara tidak sengaja ia memecahkan batu yang menjadi tajam yang selanjutnya ia jadikan sebagai kapak. Namun bila ditelaah seksama, manusia pertama itu terpaksa menciptakan kapak dari batu agar difungsikan sebagai alat yang mampu memotong pohon, kayu dan tumbuh – tumbuhan yang tidak mungkin bisa dipatahkan dengan menggunakan tangan biasa. Atau juga pentungan dan tombak, merupakan hasil karya manusia itu sendiri karena ia diperhadapkan dengan hewan – hewan buruan yang mana tidak mungking dihadapai dengan menggunakan tangan kosong.

d.      Payung Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat Koba – Koba -  (A’am - Hatik)

            Payung tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat (A’am - Hatik), adalah salah satu alat kelengkapan hidup yang dimiliki oleh orang – orang Maybrat Imian Sawiat. Payung tradisional ini terbuat dari bahan alami yaitu ;  Daun koba – koba (a’am)  sejenis tumbuhan pandanus, yang mana disulam menjadi koba - koba – payung.

            Dari ceritera para tetuah, ibu – ibu dan nenek, mengatakan bahwa payung tradisional orang maybrat imian sawiat  (aam - hatik) atau lazimnya disebut koba – koba terbuat dari daun koba – koba atau sejenis pandanus yang berbentuk buah merah dan bertumbuh di hutan belantara. Payung tradisional atau koba – koba merupakan hasil ramuan dari beberapa daun pandanus / koba –koba yang dijahit dengan menggunakan tali yang mana tali tersebut diambil dari serat kulit kayu tertentu yang dala bahasa tradisional disebut dengan halelem, yang dikupas dan diawetkan sehingga menjadi tali (Bo kaín) dan digunakan untuk menjahit koba-koba sehingga akhirnya menjadi payung / koba – koba (aam / hatik). Bentuk ukuran koba – koba tidak selalu pada satu ukuran saja, melainkan berfariasi tergantung pada sipemakainya. Ada yang ukuran besar bilamana orang yang memakainnya berukuran badan besar, namun koba – koba itu akan berukuran sedang dan kecil bilamana pemakainya orang yang sedang dan kecil. Bila koba – kobanya besar, maka dedaunan yang dibutuhkan sangat banyak, namun kalau ukuran koba – kobanya kecil dan sedang, maka dedaunan yang dibutuhkan sedikit. Dalam meramu koba – koba, biasanya merupakan pekerjaan ibu dan anak perempuan. Setiap ruas koba – koba biasanya dilapisi dua daun yang dijahit bersesuaian yang mana masing – masing dibagian dalam dan bagian luar. Dalam proses pembuatan payung tradisional / koba – koba ini pertama – tama seorang ibu atau seorang permpuan ke hutan  belantara untuk mencari pohon pandanus, (aam – hatik mara), setelah di temukan, pandanus tersebut dipotong dedaunannya yang di anggap bagus dan pantas untuk di pake sebagai koba – koba. Setelah proses pengambilan dedaunan, selanjutnya daun tersebut dibersihkan (m’bon aam), setelah dibersihkan duri – durinya, selanjutnya daun – daun tersebut dijemur (koti) dalam waktu 2 – 3 jam, sesudah di jemur, selanjutnya daun koba – koba dipanaskan dalam bara api dalam 100 C° (miwiyah aam). Tujuan daripada proses pemanasan daun koba – koba adalah agar mudah dibentuk – dilipat – dan digulung, kuat dan tidak mudah sobek karena adanya suatu bentuk kekebalan kulit yang terbentuk ketika dipanaskan. Setelah proses pemanasan, dedaunan tersebut selanjutnya dibuat ukiran dengan menggunakan keterampilan jari (m’biji aam), proses pembauatan ukiran ini melibatkan ayah, ibu, anak laki – laki, anak perempuan, nenek, tete. Setelah proses pembentukan ukiran, selanjutnya dijahit (sbis aam) , dalam proses menjahit koba – koba ini, biasanya membutuhkan ekstra konsentrasi, karena jika ada terjadi kesalahan, maka hasil yang diperoleh  adalah kurang baik (sre sbis). Contoh dari hasil yang tidak baik tersebut biasanya terihat pada penyusunan bagis jahitan yang tidak lurus dan berkelok dan tidak bersesuaian (sahrorot). Setelah proses menjahit pertama atau bisa juga dibilang desain awal atau proses pembentukkan, selanjutnya proses terakhir, yaitu proses jahit bervariasi (mame aam). Tujuan proses ini adalah untuk membuat estetika, karena bahan benang yang diambil dari kain kasuban yang berwarna merah, dan han yang berwarna hitam dan biru. Ketiga warna kain tersebut merupakan bahan utama yang dibunakan dalam membentuk estetika pada koba – koba.

Fungsi koba – koba adalah sebagai paying, ketika ada hujan dan panas, sebagai tikar pada waktu tidur, sebagai tastangan pada waktu melakukan perjalanan jauh atau bepergiam, sebagai pengalas gendongan anak kecil balita/bay pada waktu anak digendong di belakang punggung (mbin gu mam yu taa.). lihat gambar berkut:

Fungsi koba – koba adalah sebagai payung, ketika ada hujan dan panas, sebagai tikar pada waktu tidur, sebagai tastangan pada waktu melakukan perjalanan jauh atau bepergia, sebagai pengalas gendongan anak kecil balita/bayi pada waktu anak digendong di belakang punggung (mbin gu mam yu taa.). lihat gambar yang terlampir diatas dan berkut:

 3.      Kebudayaan Zaman Prasejarah Orang  Maybrat, Imian Sawiat.

             Kebudayaan-kebudayaan prasejarah yang dibedakan menurut bahan alat-alatnya dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu zaman batu dan zaman logam.   Zaman logam bukan berarti berakhirnya zaman batu, karena pada zaman logam pun alat-alat dari batu terus berkembang bahkan sampai sekarang. Sesungguhnya nama zaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada zaman tersebut alat-alat dari logam telah dikenal dan dipergunakan secara dominan. Zaman logam disebut juga dengan zaman perundagian.  Di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya tidak mengalami zaman tembaga tetapi langsung memasuki zaman perunggu dan besi.  Kepandaian mempergunakan bahan baru tentu saja disertai dengan cara kerja yang baru. Sehinga muncul orang-orang terampil (undagi). Selain itu perkembangan orang Maybrat, Imian, Sawiat yang mengarah pada kemajuan di alami dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Bagi orang Maybrat, Imian, Sawiat, alat-alat dari logam tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, akan tetapi alat-alat yang terbuat dari logampun dilibatkan dalam upacara-upacara tertentu misalnya maut hdanmber wiyon dll. Untuk itu perlu adanya pembahasan lebih lanjut khususnya mengenai masa perundagian di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat secara jelas.  

a.      Orang Maybrat, Imian, Sawiat dan Pembabakan Zaman Logam

      Pada zaman Logam orang-orang sudah dapat membuat alat-alat dari logam di samping alat-alat dari batu. Logam tidak dapat dipukul atau di pecah seperti batu yang dapat dibentuk sesuai dengan apa yang diharapkan, selain itu logam tidak dapat dengan mudah diperoleh seperti batu yang banyak terdapat di berbagai tempat. Semakin berkembangnya pengetahuan sehingga orang Maybrat, Imian, Sawiat, mengenal bahan dari logam dan mengenal teknik melebur logam, mencetaknya menjadi alat-alat yang dihendaki sesuai dengan keperluan. Teknik pembuatan alat logam ada dua macam, yaitu dengan cetakan batu yang disebut bivalve dan dengan cetakan tanah liat dan lilin yang disebut a cire perdue. Periode ini juga disebut masa perundagian karena dalam masyarakat timbul golongan undagi yang terampil melakukan pekerjaan tangan. Zaman logam ini dibagi menjadi tiga zaman diantaranya :

1)      Zaman Tembaga

Orang menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan.  Alat kebudayaan ini hanya dikenal di beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Maybrat, Imian, Sawiat, Papua Indonesia) tidak dikenal istilah zaman tembaga.

2)      Zaman Perunggu

Pada zaman ini orang sudah dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10 sehingga diperoleh logam yang lebih keras. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, mungkin sampai saat ini belum mampu mengolahnya.

3)      Zaman Besi

Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500°C. Zaman logam di wilah Maybrat, Imian, Sawiat, Papua Indonesia di dominasi oleh alat-alat dari perunggu sehingga zaman logam juga disebut zaman perunggu. Alat-alat besi yang ditemukan pada zaman logam jumlahnya sedikit dan bentuknya seperti alat-alat perunggu, sebab kebanyakan alat-alat besi, ditemukan pada zaman sejarah. Antara zaman neolitikum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan megalithicum, yaitu kebudayaan yang mengunakan media batu-batu besar sebagai alatnya, bahkan puncak kebudayaan megalitikum justru pada zaman logam.  

b.      Corak Kehidupan Masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat Pada Zaman Perundagian.

Kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat dapat bertahan hidup karena menghasilkan kebudayaan, kebudayaan itu ada karena dihasilkan oleh masyarakat. Dan melalui kebudayaanlah segala corak kehidupan masyarakat dapat diketahui. Kebudayaan perungggu Asia Tenggara bisa dinamakan kebudayaan Dongson menurut nama tempat penyelidikan pertama di daerah Tonkin. Disana ditemukan segala macam alat-alat dari perunggu dan nekara, alat-alat dari besi dan kuburan-kuburan zaman itu.  

1)      Sistem Kepercayaan Orang Maybrat, Imian, Sawiat Zaman Prasejarah.

Sistem kepercayaan prasejarah orang Maybrat, Imian, Sawiat, diperkirakan mulai tumbuh pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau disebut dengan masa bermukim dan berladang yang terjadi pada zaman Mesolitikum. Mengenai bukti adanya kepercayaan orang Maybrat, Imian, Sawiat, pada zaman Mesolitikum dan beberapa bukti lain yang turut memperkuat adanya corak kepercayaan mereka pada zaman prasejarah adalah ditemukannya bekas kaki kiri pada batu prasasti di sungai Weremayis Kampong Sauf, Kbupaten Maybrat dan bekas kaki kanan di Eles daerah Imian Kabupaten Sorong Selatan. Bekas kaki tersebut menggambarkan langkah perjalanan yang akan mengantarkan roh seseorang ke alam baka. Hal ini berarti pada masa tersebut orang Maybrat, Imian, Sawiat, sudah mempercayai akan adanya roh. Kepercayaan terhadap roh terus berkembang pada zaman prasejarah hal ini tampak dari kompleksnya bentuk-bentuk upacara penghormatan, penguburan dan pemberian upeti atau sesajen. Kepercayaan terhadap roh inilah dikenal dengan istilah Aninisme yang disebut dengan wiyon-wofle. Aninisme berasal dari kata Anima artinya jiwa atau roh, sedangkan isme artinya paham atau kepercayaan. Di samping adanya kepercayaan animisme, juga terdapat kepercayaan dinamisme. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Contohnya yaitu pohon-pohon besar atau bukit dan pegunungan serta sungai tertentu yang dianggap memiliki kekuatan diwilayah Mereka. Dengan demikian kepercayaan masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, zaman prasejarah adalah animisme dan dinamisme.  

c.       Kemasyarakatan Orang Maybrat, Imian, Sawiat, Zaman Prasejaarah.

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, orang Maybrat, Imian, Sawiat, hidup berkelompok dalam jumlah yang kecil. Tetapi hubungan antar kelompok sudah mulai erat karena mereka harus bersama-sama menghadapi kondisi alam yang kejam dan berat, sehingga sistem kemasyarakatan yang muncul pada masa tersebut sangat sederhana. Tetapi pada masa bercocok tanam, kehidupan masyarakat yang sudah menetap semakin mengalami perkembangan dan hal inilah yang mendorong masyarakat untuk membentuk keteraturan hidup. Dan aturan hidup dapat terlaksana dengan baik karena adanya seorang pemimpin yang mereka pilih atas dasar musyawarah. Pemilihan pemimpin tentunya tidak dapat dipilih dengan sembarangan, seseorang yang dipilih sebagai pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dengan roh-roh atau arwah nenek moyang demi keselamatan desa setempat, serta keahlian-keahlian yang lebih. Selanjutnya sistem kemasyarakatan terus mengalami perkembangan khususnya pada masa perundagian. Karena pada masa ini kehidupan masyarakat lebih kompleks. Masyarakat terbagi-bagi menjadi kelompok-kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Masing-masing kelompok memiliki aturan-aturan sendiri, dan di samping adanya aturan yang umum yang menjamin keharmonisan hubungan masing-masing kelompok. Aturan yang umum dibuat atas dasar kesepakatan bersama atau musyawarah dalam kehidupan yang demokratis. Dengan demikian sistem kemasyarakatan pada masa prasejarah di Indonesia telah dilandasi dengan musyawarah dan gotong royong. 

d.       Pola Pertanian Orang Maybrat, Imian, Sawiat, Zaman Prasejarah.

Sistem pertanian yang dikenal oleh orang Maybrat, Imian, Sawat, prasejarah pada awalnya adalah perladangan, yang hanya mengandalkan pada humus, sehingga bentuk pertanian ini wujudnya berpindah tempat sesuai dengan tingkat kesuburan tanah. Apabila mereka menilai tanah sudah tidak lagi subur atau tidak ada humus, maka mereka akan berpindah atau mencari tempat yang dianggap subur atau dapat di tanami tanam-tanaman. Selanjutnya mereka mulai mengembangkan sistem mencari makanan dan menyimpannya (food  and carering), sehingga tidak lagi berpindah-pindah dengan cepat, dan berusaha mengatasi pola makanannya dengan baik. Sistem ini dikenal oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, prasejarah pada masa neolithikum, karena pada masa tersebut kehidupan mereka sudah menetap dan teratur. Pada masa perundagian sistem pertanian mengalami perkembangan mengingat adanya spesialisasi atau pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan, Sehingga orang Maybrat, Imian, Sawiat, saman prasejarah semakin mahir dalam persaudaraan.  

e.        Sosial  Ekonomi  Orang Maybrat, Imian, Sawiat Zaman Prasejarah.

Perkembangan kondisi sosial ekonomi orang Maybrat, Imian, Sawiat, masa Prasejarah sebenarnya mulai terlihat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau  zaman Mesolitik. Pada masa ini orang Maybrat, Imian, Sawiat mulai menyadari pentingnya pola kehidupan menetap pada suatu tempat. Hal ini disebabkan adanya kemajuan dan perkembangan pengetahuan orang Maybrat, Imian, Sawiat, pada masa itu dalam berusaha mengolah alam lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.  Pada kehidupan menetap ini kemudian memunculkan bentuk-bentuk rumah yang sangat sederhana sebagai tempat tinggal, tempat berlindung terhadap iklim dan cuaca, serta terhadap gangguan binatang buas. Berdasarkan penelitian kami tentang rumah hunian pertama orang Maybrat, Imian, Sawiat, bisa diperkirakan bahwa bentuk rumah tinggal awal sekali adalah berukuran kecil, berbentuk segi panjang dan kebulat-bulatan mengikuti saran burun dengan atap yang dibuat dari daun-daunan. Bentuk rumah semacam ini merupakan bentuk awal rumah wilayah Maybrat, Imian Sawiat, dan sampai saat ini masih dijumpai di daerah-daerah perkampungan terpencil di kebun. Berawal dari adanya kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu daerah tertentu, dan mengalami perubahan yang mengarah kepada sistem komunual. Di samping itu teknologi pembuatan perkakas juga semakin maju. Hal ini terbukti dengan mulai ditemukannya alat-alat batu yang diasah secara halus, yaitu yang dikenal dengan beliung persegi. Kemajuan pada aspek teknologi ini selanjutnya memunculkan adanya stratifikasi sosial tertentu dalam komunitas mereka. misalnya muncul golongan-golongan yang pandai dalam membuat beliung persegi, mulai dari pembuatan bentuk dasar (plank) hingga menjadi beliung persegi yang siap pakai. Selanjutnya dikenal pula teknologi pembuatan tastangan sebagi salah satu sarana kebutuhan hidup sehari-hari yang sangat penting. Di sinipun akan memunculkan golongan-golongan tertentu dalam komunitas mereka yang memiliki kepandaian dalam pembuatan tastangan. Perkembangan lainnya yang sangat mendasar pada masa ini adalah mulai dikenalnya bercocok tanam sederhana, yaitu dengan Sistem Tebas-Bakar. Pada masa perundagian ini pola kehidupan perkampungan mengalami perkembangan dan semakin besar, hal ini disebabkan dengan mulai bersatunya kampung- kampung, atau terjadinya sebuah desa yang besar. Munculnya desa-desa besar ini salah satunya disebabkan semakin tinggi frekuensi perdagangan antar perkampungan dalam bentuk tukar menukar barang (barter) dan juga salah satu pengaruh utamanya adalah perdagangan atau bermain kain timur. Perpindahan penduduk melalui jalur perkawinan juga menjadi penyebab semakin padatnya populasi penduduk dalam suatu perkampungan. 

Dengan semakin luasnya hubungan antar wilayah maka kegiatan perdagangan pada masa perundagianpun menjadi semakin berkembang. Jenis-jenis barang daganganpun semakin kompleks karena hubungan-hubungan tersebut telah mencakup wilayah yang sangat luas. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan benda-benda perunggu yang tersebar  hampir di seluruh wilayah Papua khususnya wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, yang berasal dari kebudayaan Dong Son di Vietnam Utara.

Dalam kehidupan perkampungan ini mata pencaharian pokok orang Maybrat, Imian, Sawiat, adalah pertanian yang mulai dilakukan secara lebih teratur dan maju, yaitu dengan sistem tebas bakar. Hal ini juga didukung dengan semakin majunya sistem teknologi cetak peralatan dari logam (khususnya perunggu) untuk keperluan mengolah kebun. Usaha-usaha domestikasi hewanpun semakin memperlihatkan kemajuannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan-temuan tulang-tulang hewan seperti anjing, dan beberapa jenis unggas pemukiman. Kemungkinan dilakukan untuk persediaan bahan makanan hewani, meskipun kegiatan perburuan masih dilakukan walau dengan jumlah yang lebih berkurang.

Salah satu benda perunggu yang memiliki nilai estetika dan ekonomis sangat tinggi, dan ditemukan hampir di seluruh wilayah Asia Tenggara adalah nekara. Nekara tersebut merupakan hasil kebudayaan Dongson di Vietnam Utara yang kemudian menyebar hampir seluruh wilayah Asia Tenggara hingga kewilayah Maybrat, Imian, Sawiat Papua. Hal ini sekali lagi telah membuktikan adanya hubungan secara sosial-ekonomis antara wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, melalui kesultanan Ternate-Tidore dengan wilayah Asia Tenggara lainnya cukup lancar pada zaman itu.

Kegiatan ekonomis dalam bentuk perdagangan didorong oleh adanya temuan alat-alat transportasi air, yaitu perahu sampan. Bentuk-bentuk perdagangan pada umumnya dilakukan dengan sistem tukar barang dengan barang. Kelangsungan hubungan perdagangan yang secara terus menerus dan cenderung semakin kompleks tersebut pada akhirnya memunculkan apa yang disebut dengan pasar dalam cakupan arti yang sederhana. 

F  Sosial – Budaya  Orang Maybrat, Imian, Sawiat, Zaman Prasejarah.

Seni ukir yang diterapkan oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, pada benda-benda masa megalitikum dan seni hias pada benda-benda perunggu menggunakan pola-pola geometrik sebagai pola hias utama. Hal ini terlihat dari temuan pada ukiran cangkir minuman (hawereh) di kampung Sauf yang menggambarkan bintang, perahu dan melukis unsur-unsur dalam kehidupan yang dianggap penting.

Pahatan-pahatan pada kayu untuk menggambarkan orang atau binatang menghasilkan bentuk yang bergaya dinamis dan memperlihatkan gerak. Terdapat pula kecenderungan untuk melukiskan hal-hal yang bersifat simbolis dan abstrak-stelistis, seperti yang tampak pada gambar-gambar manusia yang diukir sebagai bulu burung bermata lingkaran pada hulu kampak, seloki minuman (hawereh), dan bambu yang dipakai sebagai minuman (tbil).

Berbagai benda diciptakan guna keperluan religius.pola mata kalung yang dipakai dan pada beberapa jenis heger berfungsi magis sebagai penolak bahaya. Yang sangat menonjol pada masa perundagian ini adalah segi kepercayaan kepada pengaruh arwah (roh) nenek moyang terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakatnya. Dengan demikian pula kepada orang-orang yang meninggal diberikan penghormatan dan persajian selengkap mungkin dengan maksud mengantar arwah dengan sebaik-baiknya ketempat tujuanya, yaitu dunia arwah.

Kehidupan dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, pada masa perundagian memperlihatkan rasa solidaritas yang kuat. Peranan solidaritas ini tertanan dalam hati setiap orang sebagai warisan yang telah berlaku sejak nenek moyang. Adat kebiasaan dan kepercayaan merupakan pengikat yang kuat dalam mewujudkan sifat itu. Akibatnya, kebebasan individu  agak terbatas karena adanya aturan-atauran yang apabila dilanggar akan membahayakan masyarakat. Pada masa ini sudah ada kalkus kepemimpinan dan pemujaan kepada sesuatu yang suci diluar diri manusia yang tidak mungkin disaingi  serta berada diluar batas kemampuan manusia yang disebut wiyon-wofle.

Dalam masyarakat ini mulai jelas mulai tampak perbedaan golongan-golongan tertentu seperti golongan big man - bobot, pengatur upacara-upacara (raa wiyon-na wofle) yang berhubungan dengan kepercayaan, petani, pedagang dan pembuat benda-benda dari kayu (pemahat).  

9.    Kemajuan Teknologi

Pada bidang teknologi, di samping berusaha menciptakan perkakas untuk keperluan sehari-hari, kemudian mengalami kemajuan dengan mulai diciptakannya benda-benda yang tidak saja bernilai profan tetapi yang bernilai estetika dan ekonomis. Pada teknologi pembuatan tastangan misalnya, ternyata di samping membuat untuk keperluan sehari-hari, mulai dilakukan juga pembuatan tastangan yang bernilai seni dan ekonomis. Hal ini dapat dilihat bahwa selain membuat benda-benda berupa cawan, seloki, juga mulai dibuat bentuk-bentuk tastangan dengan aneka motif hiasan. Keragaman bentuk dan motif hias cawan oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, ini kemudian memunculkan beberapa kompleks pembuatan barang-barang lain yang sangat menonjol, antara lain kompleks tas tangan (yu kom).

Pada teknologi pembuatan benda-benda logam (khusus perunggu) kemudian juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di samping membuat perkakas untuk keperluan sehari-hari (misalnya kapak, corong, tajak dan sebagainya) mulai dikembangkan pula pembuatan benda-benda yang memiliki nilai estetika dan ekonomis, misalnya nekara, gelang, cincin, bandul kalung, dan sebagainya. Benda-benda tersebut ternyata menjadi salah satu komoditi dalam hubungan perdagangan antara Indonesia dengan wilayah Asia Tenggara lainnya.  

10. Kemahiran Membuat Alat

Dalam masa perundagian ini, teknologi berkembang dengan pesat. Di pihak lain, terjadi peningkatan usaha perdaganganyang mengalami kemajuan. Teknologi pelayaran juga menentukan perkembangan teknologi secara umum. Hal tersebut berpengaruh pula pada sistem sosial yang telah mengklasifikasikan dari dalam segmen-segmen sosial-ekonomi karena pola-polanya telah terbentuk.

Pada masa ini merupakan awal dari kemajuan, karena di zaman perundagian ini sudah mulai menganal teknik peleburan, percampuran, penempaan dan pencetakan jenis-jenis logam seperti tembaga, perunggu dan besi.

Di Asia Tenggara logam mulai dikenal kia-kira 3000-2000 S.M. Di Indonesia penggunaan logam diketahui pada masa beberapa abad sebelum masehi, hal ini berdasarkan temuan-temuan arkeologis. Indonesia hanya menganal alat-alat yang dibuat dari perunggu dan besi, sedangkan perhiasan telah mengenal emas.

Penggunaan logam tidak seketika menyeluruh di Indonesia, tetapi berjalan setahap demi setahap. Sedangkan beliung dan kampak batu masih digunakan. Benda-benda perunggu yang ditemukan di Indonesia menunjukan persamaan dengan temuan-temuan di Deng Son (Vietnam) diperkirakan adanya hubungan budaya.

Di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat terdapat Jenis-jenis perhiasan yang beraneka ragam berupa gelang, cincin, bandul, kalung dan sebagainya yang terbuat dari perunggu, kulit kerang, tulang, batu dan kaca. 

a.      Benda  Benda Perunggu

Jenis benda perunggu yang dikenal di Indonesia ialah nekara, kapak, bejana, boneka atau patung, perhiasan dan senjata. Namaun yang menarikperhatian adalah nekara. Benda-benda lain sebenarnya telah mendapatkan perhatian sejak abad ke-19, misalnya kapak corong, cincin, mata tombak, kapak upacara (candrasa).

Dari penyelidikan dalam zaman perundagian pula orang-orang telah pandai membuat dan menuang kaca. Hanya saja tekniknya masih sederhana kadang masih tercampur pasir.

b.      Kapak Perunggu

Secara tipologi, kapak perunggu dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kapak corong dan kapak upacara. Kapak corong disebut juga kapak sepatu, maksudnya kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya belah, sedangkan dalam corong itulah dimasukan tangkai kayunya yang menyiku kepada bidang kapak. Jadi seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan tangkainya diibaratkan sebagai kaki orang.

 Van Heekeren mengklasifikasikan menjadi kapak corongkapak upacara dan kalak tembilang (tajak). Soejono membagi kapak perunggu menjadi delapan yaitu :

1.  Tipe I (tipe umum). Bentuknya lebar dengan panjang yang lonjong, garis puncak (pangka), tangkainya cekung dan bagian tajam cembung.

2.   Tipe II (tipe ekor burung seriti). Bentuk tangkai dengan ujung yang membelah seperti ekor burung seriti, ujung tajam cembung, belahan pada ujung ada yang dalam dan ada yang dangkal.

3.  Tipe III (tipe pahat). Bentuk tangkai menyempit dan lurus ada yang pendek dan lebar. Bentuk tajam cembung dan lurus, kapak terbesar berukuran 12,2 x 5,8 x 1,7 cm dan terkecil 5,4 x 3,6 x 1,3 cm.

4.  Tipe IV (tipe tembilang). Bentuk tangkai pendek, mata kapak gepeng, bagian bahu lurus kea rah sisinya. Ukuran terbesar 15,7 x 9,6 x 2 cm dan terkecil 13,4 x 6,5 cm.

5.  Tipe IV (tipe tembilang). Bentuk tangkai pendek, mata kapak gepeng, bagian bahu lurus kea rah sisinya. Ukuran terbesar 15,7 x 9,6 x 2 cm dan terkecil 13,4 x 6,5 x 1,6 cm.

6.  Tipe V (tipe bulan sabit). Mata kapak berbentuk bulan sabit. Bagian tengah lebar dan menyempit, tangkai lebar dan bagian tajamnya menyempit. Jenis terbesar berukuran 16,5 x 15,6 x 3,4 cm dan terkecil 7,2 x 5,2 x 4,5 cm.

7.  Tipe VI (tipe jantung). Bentuk tangkai panjang dengan pangkal cekung, bagian bahu melengkung. Ukuran terbesar 39,7 x 16,2 x 1,5 cm dan terkecil 13 x 7,2 x 0,6 cm.

8.  Tipe VII (candrasa). Tangkai pendek dan melebar pada pangkalnya, mata kapak tipis dengan kedua ujungnya lebar. Kapak ini sangat besar dan pipih yang terbesar 133,7 cm dan terkecil 37 cm.

9.  Tipe VIII (tipe kapak roti). Keseluruhannya gepeng berukuran 90 cm. pangkal tangkai cakram. Cakram ini dihiasi dengan pola roda atau pusaran (whirl).

Kapak corong ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan, Pulau Selayar dan di Papua dekat danau Sentani. Tidak semua kapak dipergunakan sebagai kapak. Yang kecil umpamanya mungkin sebagai tugal, sedangkan yang indah dan candrasa dipergunakan sebagai tanda kebesaran dan alat upacara saja. Di Bandung ditemukan cetakan-cetakan dari tanah baker untuk menuangkan kapak corong.

 a.      Benda  Benda Besi di Wilayah Maybrat, Imian, Sawit
Jenis-jenis benda besi dapat digolongkan sebagai alat keperluan sehari-hari dan senjata. Benda-benda besi yang banyak ditemukan di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, berupa :
-          Mata kapak atau sejenis beliung yang diikat secara melintang pada tangkai kayu
-          Alat bermata panjang dan gepeng dan mungkin digunakan untuk merapatkan benang-banang kain tenun, -  Mata pisau 
-          Parang
-          Mata tombak
Dalam masa bercocok tanam, orang Maybrat, Imian, Sawiat sudah mulai bertempat tinggal secara menetap dan berkelompok. Berbagai upaya dilakukan oleh mereka untuk menuju penyempurnaan, misalnya dalam bidang pertanian, peternakan, pembuatan alat-alat kebutuhan dan lain-lain.
            Hal-hal barupun telah ditemukan diantaranya pembuatan alat-alat dari biji besi. Sejalan dengan kemajuan yang dicapai, sehingga taraf penghidupannya dan tata-susunan orang Maybrat, Imian, Sawiat, menjadi makin kompleks. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, mulai hidup secara teratur, sehingga muncul golongan undagi (golongan orang-orang terampil).
            Di zaman perundagian ini banyak kemajuan-kemajuaan dalam berbagai bidang kehidupan mereka seperti; kepercayaan, sosial, ekonomi dan sebagainya. Sehingga diketahui bahwa sejak masa ini sudah adanya jalur hubungan dengan daerah-daerah yang ada di Asia Tenggara melalui kesultanan ternate tidore. Hal ini di perkuat dengan ditemukannya kesamaan benda-benda yang ditemukan di Maybrat, Imian, Sawiat dengan benda yang berada si Asia Tenggara yang lain seperti Vietnam.   
A.7. Arsitektur halit – mbol chalit dan budaya adat istiadat zaman prasejarah – zaman sejarah.
1. Pengertian Budaya
Kebudayaan berasal dari bahasa sangsekerta “buddhayah” bentuk jamak dari “budhi” dengan arti budhi atau akal, karenanya kebudayaan dapat diartikan dengan segala hal  yang bersangkutan dengan akal. Budaya dapat pula berarti sebagai hasil pengembangan dari kata majemuk budi dan daya, yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa.

Selanjutnya kebudayaan bila ditinjau dari ilmu Antropologi, adalah keseluruhan dari sistem gagasan, tindakan pola hidup manusia dan karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan sebagai pemilik dari manusia dengan belajar. hampir keseluruhan tindakan manusia adalah kebudayaan.

Menurut ilmu Arsitektur, manusia yang memiliki budaya membangun adalah manusia yang berbudaya mencipta, orang yang berjiwa seni, orang yang berjiwa merancang, orang yang berjiwa perencana.

Hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, antara lain yang berupa tindakan naluriah, beberapa refleksi, beberapa tindakan akibat proses psikologi, tindakan dalam kondisi tidak sadar, tindakan dalam membabi buta, bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang dibawa oleh manusia dalam genetik semenjak lahirnya juga telah dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan.

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat  model – model pengetahuan yang secara efektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan – tindakannya. Dalam pengertian ini kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan operasionalnya dalam hal ini adalah manusia mengadaptasi diri dengan menghadapi lingkungan – lingkungan tertentu (fisik, alam, sosial dan kebudayaan) untuk mereka dapat tetap melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan – kebutuhan dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Karena itu seringkali kebudayaan juga dinamakan sebagai “blueprint” atau desain menyeluruh dan kehidupan.  

2. Wujud Arsitektur Tradisional Maybrat, Imian, Sawiat, dan Kebudayaan.

Pada hakekatnya Arsitektur Tradisional Maybrat Imian Sawiat merupakan pencerminan kehidupan yang mana menggambarkan jati diri manusia Maybrat Imian Sawiat yang ditampilkan dalam meramu rumah mereka, termasuk didalamnya antara lain : kehidupannya, sosialnya, ekonomi – spiritual dan budayanya. Dengan demikian Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan salah satu artefak dari jejak perjalanan hidup Suku Maybrat Imian Sawiat. Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat  merupakan suatu ciri (idea), konsep, kaidah, prinsip, yang merupakan dasar pengolahan batin pikiran dan perasaan mereka dalam mencipta dan berkarya.

Pada dasarnya arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat sudah mampu memenuhi tuntutan kebutuhan akan Arsitektur yaitu :

  • Menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan Manusia.
  • Mengembangkan kehidupan Manusia untuk lebih bermakna
  • Membuat kehidupan Penghuni lebih nyaman

Dapat dikatakan bahwa Suku Maybrat Imian Sawiat juga memiliki lima jenjang kebutuhan terpenting dalam hidup mereka yaitu :

  1. Physiological needs atau survival needs, adalah kebutuhan yang menduduki peringkat terbawah yang merupaka kebutuhan dasar manusia. Jenjang kebutuhan ini berisi kebutuhan – kebutuhan orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang berkaitan dengan alam dan keberadaannya sebagai manusia, yaitu kebutuhan akan makanan, kebutuhan akan tempat tinggal, dan teks.
  2. Safety needs atau security needs, adalah jenjang kebutuhan yang kedua berisi kebutuhan – kebutuhan yang berkaitan dengan keamanan, agar dirinya merasa aman dan terlindung dari setiap gangguan.
  3. Social needs, atau belonginess needs, adalah jenjang kebutuhan yang ketiga yang berisi kebutuhan – kebutuhan orang Maybrat, Imian, Sawiat, berkaitan dengan kedudukannya sebagai anggota masyarakat, sebagai makhluk sosial yang akan berinteraksi – interelasi dan berinapendensi dengan anggota masyarakat lainnya.
  4. Esteem needs atau ego needs, adalah jenjang kebutuhan yang keempat yang berisikan kebutuhan – kebutuhan orang Maybrat, Imian, Sawiat, akan penghargaan yang didasarkan pada keinginan untuk mendapat kekuasaan (power needs). Pada dasarnya ingin dihargai dan keinginan inilah yang menghasilkan kebutuhan orang Maybrat, Imian, Sawiat, akan penghargaan tersebut yang disebut dengan “Bobot”.
  5. Self actualization needs atau self Fulfillment needs, jenjang kebutuhan ini berisikan kebutuhan orang Maybrat, Imian, Sawiat, sehingga menreka dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya dengan sepenuhnya. Kebutuhan ini merupakan ciri hakiki manusia umumnya.

Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan – kebutuhan mereka, oleh karena itu arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat bukan hanya menyngkut masalah fungsionalitas saja, bukan hanya diperuntukan sebagai wadah kegiatan mereka belaka, dan tidak hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan fisiologik. Perwujudan arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat tidak hanya berlandaskan pada asas fungsionalitas atau kegunaan saja, walaupun asas ini cukup dominan, akan tetapi tidak akan menjadi asas satu – satunya ataupun penentuan didalam perwujudan hasil – hasil karya arsitektur.

Perwujudan Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat tidak hanya menyangkut aspek – aspek fungional saja, melainkan menyangkut seluruh aspek kebutuhan didalam kebutuhan Manusia Maybrat Imian Sawiat. Perwujudan arsitektur yang mengandung nilai – nilai manusiawi.

Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan manifestasi dari nilai –nilai budaya, yang mana ditentukan oleh lima masalah didalam kehidupan mereka yaitu : hakekat hidup, hakekat karya, persepsi mereka tentang waktu, pandangan mereka tentang alam dan hakekat mereka dengan sesamannya.

Kelima masalah dasar ini banyak berkaitan dengan lingkungan, baik lingkungan alami maupun lingkungan fisik mereka yang mana terbangun dengan lingkungan sosial. Dua masalah yang berkaitan dengan masalah lingkungan mereka yaitu pandangan mereka tentang alam, dan hakekat mereka dengan sesamanya. Kedua masalah ini akan menentukan orientasi nilai budaya mereka terhadap alam dan sesama mereka, yang kemudian direfleksikan kedalam wujud arsitekturalnya.

Berkaitan dengan sikap dan orientasi Suku Maybrat Imian Sawiat terhadap alamnya, mereka telah mengalami peradaban dalam kebudayaan mereka yaitu :

  • Pancosmism, merupakan fase dimana Suku Maybrat Imian Sawiat tunduk kepada Alam dan Merasa mereka adalah bagian dari alam. Hal ini merupakan kecenderungan kehidupan mula – mula nenek moyang mereka yang mana tidak mampu dalam mencipta segala sesuatu bagi mereka, termasuk membangun suatu tempat tinggal (rumah) bagi mereka. Hal ini cenderung mendorong nenek moyang mereka menjadi bersikap pasrah terhadap kondisi alam.
  • Anthropocentries, merupakan fase dimana Suku  Maybrat Imian Sawiat dengan kemampuannya menguasai alam dan merasa berkuasa atas alam sekitar mereka. Eksploitasi alam ini mendorong terjadinya kerusakan – kerusakan lingkungan alam disekitar permukiman mereka.
  • Holism, merupakan tahapan atau fase dimana Suku Maybrat Imian Sawiat mampu menyelaraskan kehidupan dan aktifitasnya dengan alam sekitar. Dalam mendaya gunakan lingkungan alamny, Suku Maybrat Imian Sawiat juga mampu memperhatikan daya dukung akan alam sekitar mereka sehingga kelangsungan aktifitas mereka tetap berlangsung.

Pandangan – pandangan Suku Maybrat Imian Sawiat terhadap situasi dan alamnya memiliki pengaruh yang sangat besar bagi wujud Arsitektural mereka. Ketergantungan Suku Maybrat Imian Sawiat terhadap situasi dan alam termanifestasi kedalam wujud arsitekturnya yang sangat tergantung  pada karakter – karakter alam dan situasi lingkungan sekitar. Hasil karya Arsitektur Tradisional mereka cenderung mengandung makna ketakutan mereka akan alam dan kehidupan mereka dan terhadap alamnya yang berkaitan dengan masalah – masalah mistis ataupun kekuatan – kekuatan ghaib dan kekuatan musuh yang berada diluar diri mereka. Keinginan mereka untuk menguasai alam membuat mereka cenderung berupaya untuk mengeksploitasi alam sekitar. Hasil – hasil karya Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat menjadi sangat jauh dari lingkungannya lepas dari lingkungan alamiahnya. Keselarasan dengan alam, Suku Maybrat Imian Sawiat cenderung mencari  pertautan dengan lingkungan mereka. Kekuatan – kekuatan lingkungan dan alam sekitar tidak lagi dikaitkan dengan kekuatan Theologi moderen atau yang dikenal pada wilayah mereka adalah theology kristiani. Alam merupakan faktor – faktor yang dipertimbangkan bagi usaha – usaha mereka.  

3. Aspek Sosial Budaya Suku Maybrat, Imian, Sawiat, Wilayah Pesisir dan Pegunungan.

Suku Maybrat Imian Sawiat melengkapi diri mereka dengan kebudayaan, yaitu perangkat  pengendali berupa rencana, aturan, resep dan instruksi yang digunakan oleh mereka untuk mengatur terwujudnya tingkah laku dan tindakan tertentu. Dalam pengertian ini,  kebudayaan mereka berfungsi sebagai “alat” yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan.  Kebudayaan Suku Maybrat Imian Sawiat  yang cenderung adalah bukanlah sesuatu yang dibawah bersama semenjak kelahiran, melainkan diperoleh melalui sosial kehidupan sehari – hari mereka.

Dasar-dasar stratifikasi dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat.

Ukuran atau kriteria yang kami pakai untuk menggolongkan anggota-anggota masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, kedalam lapisan-lapisan stratifikasi adalah:

a.      Ukuran kekayaan (Ekonomi)

Di tengah masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, barang siapa yang memiliki kekayaan (ekonomi) paling banyak, akan masuk pada stratifikasi atau lapisan atas (bobot)

b.      Ukuran kekuasaan

Ditengah masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar, maka dia akan menempati posisi yang atas (terhormat) didalam masyarakat.

c.       Ukuran kehormatan atau kewibawaan, dan kepandaian.

Ukuran kehormatan, kewibawaan dan kepandaian ini mungkin sekali dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan maupun ukuran kekuasaan. Disini orang yang paling disegani atau dihormati karena berwibawa, dan pandai maka dia akan mendapat tempat  yang teratas dalam masyarakat. Ukuran semacam ini ditemui pada masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, yang tradisional.

d.      Ukuran ilmu pengetahuan.

Ukuran ilmu pengetahuan didalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, dipakai karena kecenderungan mobilitas pengubah stratifikasi mereka saat ini juga ditentukan oleh ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang tradisional (inisiasi wiyon-wofle) dan pendidikan moderen (pendidikan sekolah).

1)      Unsur-unsur stratifikasi di dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat.

Hal-hal yang menjadi unsur-unsur stratifikasi dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, adalah: kedudukan (status) dan peranan (role).

1.      Status

Status atau kedudukan bagi masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, merujuk pada tempat seseorang dalam pola tertentu. Dengan demikian bahwa seorang bobot atau raja dapat menduduki beberapa kedudukan sekaligus, dikarenakan seorang bobot atau raja biasanya ikut serta dalam berbagai pola kehidupan. Pada umumnya masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, mengembangkan tiga macam status, yaitu; Big Man status (bobot), Ascribe Man status (Raja) dan Achieved statusBig man status adalah kedudukan dalam masyarakat yang diperoleh karena; keturunan, kewibawaan, dan kepandaian, yang mana suatu waktu bisa hilang ketika tidak bisa dipertahankan. Sebaliknya status big man juga bisa diperoleh oleh individu yang bukan berasal dari keturunan orang tua yang memiliki status big man, karena atas usaha dan kerja kerasnya dengan didukung oleh kemampuan dan kewibawaannya. Sedangkan acribe man status adalah kedudukan dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, yang diperoleh melalui keturunan (raja). Sedangkan Achieved status adalah kedudukan seseorang yang diperoleh dengan usaha-usaha yang dilakukannya. Melalui achieved status inilah status bigman (bobot) dapat tercapai. Ketiga status tersebut masih begitu menonjol dan memiliki peranan penting, serta masih digunakan oleh masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, walaupun terlihat dengan jelas adanya perbedaan antara ketiga status ini dalam pola stratifikasi di dalam masyarakat mereka. Terlihat bahwa masing-masing penganut ketiga status ini selalu mengembangkannya sendiri-sendiri pada status yang ada,  sesuai dengan kedudukan yang dikenal dengan assingned status, yang merupakan kedudukan yang diberikan. Dalam ketiga status ini, yang merupakan status yang tidak terubahkan adalah ascribe man status (status raja). 

2.      Peranan (role)

Peranan pada masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, memiliki makna sebagai aspek dinamis dari status atau kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka dia selalu menjalankan suatu peranan yang tujuannya untuk memperoleh prestise. Suatu peranan ini terdiri atas tiga hal, yaitu;

a.       Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seorang bobot atau raja di dalam masyarakat.

b.      Peranan adalah suatu konsep tentang perihal apa yang dapat dengan mampu dilakukan oleh seorang bobot atau raja ditengah masyarakat.

c.       Peranan juga dapat dikatakan sebagai perikelakuan seorang bobot atau raja yang sangat penting bagi struktur sosial guna mempertahankan prestisenya.  

A.    PEMBAHASAN

B.1. Analisa Fungsi Dan Konsep Rumah Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat Dengan Pertimbangan Iklim Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi Kenyamanan Thermal

a. Analisa Bentuk Yang Mempengaruhi Kenyamanan Thermal Rumah Halit-Mbol Chalit

Pada bagian ini, akan dicoba untuk menganalisis bentuk arsitektur rumah halit-mbol chalit yang tercipta dari hasil Appabolang untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kenyamanan thermal yang terjadi.

1.      Lokasi

Penetapan lokasi bangunan adalah salah satu unsur yang perlu mendapat perhatian. Lokasi bangunan adalah salah satu faktor yang turut berperan dalam pencapaian kenyamanan thermal bangunan. Misalnya lokasi didataran rendah khususnya di daerah pantai kelembaban cukup mendatangkan masalah, disamping dampak-dampak negatif yang disebabkan tingginya kadar garam.

Untuk khusus rumah tinggal suku Maybrat, lokasi bangunan cenderung mengikuti lereng gunung dan garis jalan, sedangkan suk Imian, Sawiat, lokasi bangunan cenderung mengikuti garis pantai dan terpencar ke laut, sebagai konsekwensi dari mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar fisual berikut:

Suku Maybrat, Imian, Sawiat, mengenal pola peletakan hunian dalam tiga kelompok. Di darat, kelompok hunian diperalihan darat dan perairan laut, di kelompok hunian diperairan laut. Dari lokasi perletakan hunian suku Maybrat, Imian, Sawiat, diatas, maka dapat dikatakan bahwa rumah dengan garis gelombang merupakan rumah yang berada di atas perairan air laut, sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan angin kencang. Air laut merupakan penyumbang besar terhadap kelembaban yang terjadi. Disamping itu, angin yang bertiup dari arah laut membawa kadar garam yang sangat tinggi, sehingga bahan-bahan dari logam mudah berkarat/korosi. Begitu pula dengan rumah dengan garis datar yang menunjukkan bahwa perletakannya berada di peralihan daratan dan perairan air laut, juga masih dipengaruhi oleh pasang-surut air laut dan angin kencang. Kelembaban dan korosi/kerusakan bahan logam akibat tingginya kadar garam merupakan konsekwensi yang harus diperhatikan untuk mendirikan bangunan diatas perairan air laut maupun di peralihan antara daratan dan perairan laut. Sedangkan untuk rumah yang perletakannya di wilayah daratan seperti Maybrat terhindar dari pengaruh pasang surut air laut. Namun kondisi kelembaban masih tinggi sekitar 61% - 95%, begitu pula dengan kadar garam yang mendatangkan korosi, masih perlu diperhatikan jika lokasinya masih berada di wilayah pesisir pantai dan masih dijangkaui oleh angin laut. Sedangkan yang berada di wilayah pegunungan dan jauh dari air laut dan angin laut telah diubahkan. Korosi akibat kadar garam di abaikan.

1.      Orientasi

Orientasi bangunan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan kenyamanan thermal dalam bangunan. Pengaruh sinar matahari dan angin merupakan dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan orientasi bangunan yang akan direncanakan. Namun untuk kasus rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, orientasi bangun huniannya  tidak merupakan pengejawantahan dari hal-hal yang cenderung bersifat mistis. Namun secara etika sosial yang terjadi, bagi suku bangsa Maybrat, Imian, Sawiat, mengatakan bahwa secara terhormat bangunan harus menghadap ke jalan. Dilarang atau tidak terhormat membelakangi jalan karena dianggap sombong dan kurang ajar. Untuk itu, jalan yang berfungsi sebagai sarana penghubung (kontak sosial) secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap orientasi bangunan. Begitu pula dengan bangunan yang berhubungan langsung dengan air laut, memiliki larangan mistis, bahwa bangunan harus menghadap ke laut, karena laut dipercaya sebagai tempat yang memberi penyelamatan. Sebagaimana kepercayaan mereka bahwa daratan keras/jahat, dan laut lembut/baik.

  Dari uraian diatas bahwa ternyata unsur iklim tidak menjadi pertimbangan dalam penentuan orientasi arah angin dan posisi lintasan matahari bukan merupakan hal yang penting. Jadi rumah-rumah yang sisi panjang bangunannya tegak lurus dengan arah angin, dan sisi pendek ditempatkan pada arah timur dan barat yang diketahui sebagai sisi yang secara tidak disadari turut mewujudkan kenyamanan thermal yang diperlukan.

 

1.      Bentuk dan Denah

Suku Maybrat, Imian, Sawiat, mempunyai ukuran-ukuran tersendiri dalam menentukan bentuk bangunan. Ukuran-ukuran yang digunakan dalam menempatkan tinggi, lebar, panjang, sebagai dasar ukuran jengkalan jari disesuaikan dengan panjang kayu yang digunakan untuk memperoleh ukuran yang serasi, yaitu berupa depan, hasta, siku dan jengkal. Depan adalah panjang ujung tangan kiri ke ujung tangan kanan jika direntangkan. Hasta adalah panjang dari unutng tangan ke ujung pangkal bahu atau sebaliknya. Siku adalah panjang dari ujung tangan ke siku. Jengkal adalah panjang dari ujung jari ke ujung tengah ujung ibu jari jika tangan dilebarkan. Ukuran-ukuran tiap rumah halit-mbol chalit adalah sebagai berikut:

a.      Jumlah tiang ke arah memanjang 6 buah, ke arah lebar 4 buah pada bagian teras dan badan rumah. Jarak antara tiang-tiang menurut pengukuran 2,6 m ke arah memanjang dan 2 m ke arah melebar. Sulit menentukan berapa ukuran depan, hasta, siku atau jengkalnya secara pasti setiap orang mempunyai ukuran yang berbeda-beda sesuai jengkalan jari tangannya, lagipula tukan yang membangunnya sudah tidak ada lagi. Untuk ukuran arah vertikal, tinggi kaki 5-6 m untuk tupuan kolom pada tanah, sedangkan 9-10 m untuk tumpuan di atas pohon, tinggi badan rumah berfariasi dari 1,70 m, 3,50 m, 2 m, tinggi kepala 1,90 m.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bentuk denah yang tercipta dari hasil ukuran-ukuran tersebut adalah suatu bentuk denah yang pipih, sehingga memungkinkan untuk diterapkan sistem cross ventilation dan pemanfaatan cahaya matahari kedalam bangunan. Bentuk seperti ini sangat cocok diterapkan pada daerah tropis lembab, khususnya di wilayah pesisir pantai sekitar teminabuan, inanwatan, werisar dan sekitar perkampungan dipesisir pantai lainnya yang kondisi kelembabannya sangat tinggi, seperti di perairan pantai sekitar Sorong Selatan.

Bentuk rumah bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat, harus memiliki tiga syarat, baik bentuk ke arah vertikal maupun bentuk ke arah horizontal sesuai dengan aturan budaya appabolang. Arah vertikal ditandai dengan hafot/sur (kaki), kriras (badan), dan timanaf (kepala). Arah horizontal ditandai dengan isit (teras), samu tkah (badan rumah), dan ohat (tungku api/dapur). Syarat ini masing-masing mempunyai arti dan fungsi tersendiri, yaitu hafot/sur (kaki) merupakan bagian kotor yang dikelilingi oleh makhluk-makhluk jahat sehingga harus di tinggikan. Hal ini tentunya bermanfaat untuk mengatasi kelembaban yang terjadi dibawah kolong rumah dan juga bermanfaat untuk mengantisipasi luapan pasang surut air laut. Sumanaf (kepala) yang dilambangkan sebagai yang maha tinggi, suci, serta dipercaya sebagai tempat makhluk halus. Tentunya keadaan seperti ini sangat baik untuk mengusir panas yang ada didalam ruang. Samu tkah tkah (badan rumah) yang posisinya ditengah diapit oleh isit (teras), dari arah horizontal, hafot/sur (kaki) dan timanaf (atap) dari arah vertikal. Hal ini tentunya baik untuk melindungi ruang aktivitas keluarga dari sinar matahari langsung, hujan, dan pasang surut air laut. Disamping inti pengetahuan tentang kisaran pasang surut tercermin dari ketinggian lantai dengan menentukan sekisar 1,5 – 2 m. Lantai yang ditinggikan dapat memberikan jalan untuk pergerakan udara bahwa lantai hal ini merupakan solusi yang baik untuk mengatasi kelembaban. Bentuk rumah halit-mbol chalit dan kaitannya dengan kenyamanan thermal, dapat diuraikan sebagai berikut:

Rumah halit-mbol chalit merupakan rumah yang berbentuk panggung yang memiliki kaki, badan dan kepala sebagai konsekwensi dari aturan budaya Appabolong. Tinggi kaki/kolong berukuran tinggi sekitar 1,70 m keatas dari permukaan tanah. Kondisi ini memungkinkan untuk mengatasi kelembaban yang terjadi dibawah lantai. Untuk lebih jelasnya dapt dilihat pada gambar berikut: 

 

1.      Bukaan-Bukaan (sistem Penghawaan)

Bukaan-bukaan sangat penting peranannya untuk mendapat penghawaan dalam bangunan. Sistem penghawaan perlu diperhatikan untuk menciptakan kenyamanan dalam bangunan, terutama pada bangunan rumah tinggal yang menggunakan sistem pendinginan pasif.

Sistem penghawaan untuk pendingin positif perlu diperhatikan: orientasi jendela, dimensi jendela, disain sistem daun jendela, dan waktu pembukaan jendela. Untuk kasus penghawaan rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat dilihat contoh rumah halit-mbol chalit berikut:

a.       Sistem penghawaan pada rumah halit-mbol chalit yang berada di sisi timur dan barat, terdiri dari jendela, bukaan keluar yang terbuat dari krepyak kayu dan kaca bening, ventilasi dan kisi-kisi kayu, bukaan pintu dan kisi-kisi kayu pada batasan atas kearah atap dan kebawah. Ini tidak searah dengan jalur angin, padahal arah angin dari utara. Jadi posisi bukaan sejajar arah angin. Hal ini tentunya kurang menguntungkan apabila tidak ditangani dengan sempurna. Pengontrolan dan pembelokan arah angin ke bangunan sangat diperlukan supaya ventilasi silang atap tetap terjadi. Yang menguntungkan pada rumah ini adalah ventilasi atap, yaitu kisi-kisi sisa kayu diantara dinding dan atap yang tidak ditutup dan bukaan sekitar 50,20% dari luas dinding pada sisi utara atau tegak lurus arah datangnya angin. Namun kondisi ini belum mampu menghapus panas untuk menurunkan temperatur dalam, khususnya sekitar jam 10.00 siang sampai jam 16.00 sore, sehingga kondisi dalam ruang masih berada dalam kondisi hangat yaitu sekitar 28°C – 30,2°C.

b.      Sistem penghawaan pada rumah yang berdiri  pada sisi utara dan selatan terdiri dari jendela, ventilasi dari kisi-kisi kayu. Orientasi bukaan terbesar berada disisi utara dan selatan. Hal ini tentunya sangat menguntungkan  karena arah angin terbesar pada daerah ini adalah dari utara, jadi memungkinkan adanya ventilasi silang. Disamping itu, didukung dengan bukaan sekitar 40,80% dari luas dinding. Namun kondisinya seperti halnya dengan rumah yang posisi timur dan barat, belum mampu menghapus panas untuk  menurunkan temperatur dalam kasusnya sekitar jam 10.00 siang sampai jam 16.00 sore. Sehingga kondisi dalam ruang masih berada dalam kondisi hangat, yaitu sekitar 28°C – 29,5°C.

2.      Atap dan Dinding

Atap dan dinding adalah unsur yang harus diperhatikan untuk melindungi bangunan dari alam luar.  Atap merupakan elemen yang paling banyak menerima radiasi matahari secara langsung. Untuk itu perlu adanya usaha penyekatan untuk mengurangi pengaruh matahari terhadap ruang bawanya. Atap bangunan selain berfungsi sebagai pelindung terhadap kebasahan/kelembaban dan hempasan.

Untuk kasus rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, atap selain berfungsi untuk melindungi bangunan dan panas matahari dan kebasahan hujan, atap juga berpengaruh terhadap kebiasaan mereka, terutama bagi yang berada disekitar laut selalu memanfaatkan atap untuk menampung air hujan untuk keperluan minum sehari-hari. Untuk itu kemiringan atap pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, rata-rata 30° - 45°. Kemiringan ini tentu saja dapat merupakan solusi yang baik untuk mempercepat turunnya air hujan dari atap, sehingga dapat mengurangi kebocoran dan pembusukan pada bahan atap, disamping dapat mengurangi kelembaban yang datang dari atap. Kemiringan atap juga berpengaruh terhadap besarnya panas yang diterima. Sebagaimana yang dikatakan Zokolay (1981) bahwa atap dasar lebih besar 50% menerima panas matahari daripada atap miring.

Disamping atap bangunan, dinding juga perlu mendapat perhatian untuk menciptakan kondisi nyaman dalam bangunan. Dinding yang baik harus senantiasa menjadi pelindung terhadap radiasi matahari, pelindung terhadap hempasan hujan dan kelembaban dan pelindung terhadap arus angin luar, serta harus senantiasa memelihara suhu yang diminta di dalam ruang.

Untuk mengurangi besarnya pengaruh radiasi pada bangunan maka dinding harus dibayangi dan dihindari dari sinar matahari dan dihindari dari sinar matahari langsung. Disamping itu, bahan dinding sebaiknya mempunyai time lag yang besar namun kerapatan dinding harus diatur agar tetap memiliki bagian-bagian yang berlubang sebagai ventilasi alami.

Untuk khusus rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, bahan dinding terdiri atas beberapa bahan utama, yaitu Kulit kayu, Papan kayu, gaba-gaba/pelepah sago, dedaunan. Namun yang masih digunakan hingga sekarang adalah papan kayu yang mempunyai time lag yang kecil, sehingga panas yang ada langsung diterima dan dipancarkan.

Temperatur ruang luar dan ruang dalam tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Untuk itu, dinding dan bukaan-bukaan baru senantiasa dilindungi dari sinar matahari.

3.      Overstek

Overstek atau pelindung seperti yang diuraikan didepan sangat besar peranannya untuk menciptakan kenyamanan dalam bangunan. Overstek-overstek yang lebar dan sudut jatur atap yang begitu memanjang hingga badan bangunan sangat dibutuhkan untuk menghambat sinar matahari yang masuk kedalam ruang secara langsung, memberi bayangan peneduh dan melindungi hujan.

Untuk kasus rumah tingga Maybrat, Imian, Sawiat, overstek atau pelindung sangat dibutuhkan seperti sisi bangunan. Hal ini tentunya untuk melindungai dinding terutama dari sinar matahari langsung, mengingat bahan dinding yang digunakan dari papan dan kayu dengan time lag yang kecil. Namun kenyataan penggunaan overstek/pelindung pada rumah halit-mbol chalit yang diteliti hanya bagian depan dan belakang yang mendapat perlindungan overstek, sedangkan bagian sisi kiri dan kanan tidak, atau hanya menggunakan panjangnya ukuran jatuh atap yang hingga menutup paruh dinding bagian atas. Ukurannya sekitar 80-100 cm.

4.      Material dan Warna

Material dan warna yang digunakan pada bangunan juga perlu mendapat perhatian, karena kedua unsur ini sangat berpengaruh terhadap penambahan panas di dalam bangunan. Color can influence of heat absorbed by the building surface that affect internal temperature. Jika pendinginan fakor utama pada perencanaan bangunan, maka kombinasi bidang dengan warna-warna muda dan dinding yang mampu melawan panas perlu diperhatikan.

Untuk kasus rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, penggunaan material dan warna pada atap, dinding dan lantanya dapat diuraikan sebagai berikut:

a.      Atap

Roof design id the result of geographical condition, climate is the reason for the “slope”, while the local soil conditions explain the choise of certain “materials”. Pengertian ini sangat relevan bila melihat kondisi tanah yang sangat lemah daya dukungnya, berupa tanah lempung dan tanah lumpur sehingga pemilihan material atap bangunan sangat dipengaruhi oleh daya dukung tanah. Penggunaan material atap dipermukiman kampung Maybrat, Imian, Sawiat, hanya dijumpai dua jenis, yaitu atap daun dan atap seng. Penggunaan atap daun bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat, didasarkan pada faktor ekonomi dalam ukuran sekarang ini, namun merupakan bahan utama pada zaman lampau (prasejarah). Namun perlu diketahui bahwa penggunaan atap daun sangat baik untuk meredam pengaruh radiasi matahari karena tidak menyerap panas, pengudaraan baik, dan warnanyapun merupakan warna alami. Atap daun ini dapat merefleksi panas antara 20% -23%. Kekurangan/kendala penggunaan atap daun yaitu, atap ini berongga sehingga mudah mengundang cendawan, lumut, serangga, dan hama lain yang tidak menyedapkan, bahkan sering berbahaya. Atap ini juga mudah untuk terbakar. Namun untuk pencegahan terhadap hama dan lain-lain dapat diatasi dengan pengawetan atau difusi dengan cara mengawetkannya dibawah sinar matahari selama 1-2 bulan tergantung kekuatan bahan yang diawetkan, yang mana jika terlihat pada bentuknya jika sudah awet baru difungsikan. Namun untuk penduduk yang berada di pesisir air laut, biasanya mengawetkan dengan menggunakan air garam, dan sinar matahari, hal ini tentunya menguntungkan untuk penggunaan atap daun. Tapi disisi lain penggunaan atap seng tentu saja air garam menjadi musuh dan sangat bertolak belakang, karena dapat menyebabkan korosi sehingga mudah bocor. Penggunaan atap seng bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat, disamping karena pertimbangan konstruksi yang ringan juga terhadap kebiasaan menampung air hujan, terutama mereka yang berada di air laut. Air hujan dari cucuran atap seng lebih jernih dan lebih bersih dibanding atap daun. Atap seng dapat merefleksi panas 90% - 70% akibat radiasi matahari. Pada rumah tingga suku Maybrat, Imian, Sawiat, atap seng rata-rata tidak diberi warna. Warna ini dapat merefleksi panas sekitar 40% - 35% walaupun demikian penggunaan material ini cepat menjadi panas, sehingga berpengaruh pada kondisi comfort di dalam ruangan. Untuk itu, guna dapat mengantisipasinya dengan pasangan plafond dan bukaan jendela yang cukup. Disamping itu, diisi bawah atap seng mudah menjadi kondensasi khususnya dipagi hari. Untuk itu, konstruksi kayu yang berada dibawahnya harus terlindungi benar dari kelembaban. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian cat atau ter dan harus bisa bernafas, artinya hawa udara senantiasa mengalir berputar dibawahnya. Pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat dikatakan telah merespon terhadap kondisi ini, dapat dilihat pada pemasangan kisi-kisi kayu yang memungkinkan terjadinya pengalihan udara.

b.      Dinding

Material dinding yang digunakan pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, umumnya dari Papan Kayu, dan ada yang diberi cat/warna, ada yang memanfaatkan warna alami kayu, sehingga permukiman kampung nampak ramai dengan warna-warni. Pemilihan material kayu untuk bahan dinding didasarkan pada pengetahuan warga tentang lingkungan alamnya, yaitu mereka cenderung memilih kayu yang permukaannya kasar dengan jenis-jenis kayu tertentu yang sudah dikenal semenjak temurun yang digolongkan sebagai kayu yang kuat. Dari rumah yang diteliti, hampir keseluruhan rumah hunian suku Maybrat, Imian, Sawiat, hampir menggunakan jenis kayu yang sama, yaitu kayu besi (ataf), Matoa, dan kayu ulin yang dianggap berkualitas baik. Materi kayu mempunyai kemampuan pemantulan sekitar 60% - 40% tahan terhadap angin, hujan dan mempunyai kemampuan pengisolasian panas sedang, serta tingkat penyerapan sekitar 40% - 60% apabila dengan perawatan yang baik dan konstruksi yang tepat.

            Penggunaan warna bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat, didasarkan pada pengetahuan tentang tingginya kelembaban dilingkungan dengan mengikuti pola yang dilakukan oleh orang Hindia Belanda terdahulu dan juga tentunya untuk memberi nilai estetika. Menurut pengalaman mereka bahwa dengan memberi warna atau cat pada dinding, lebih dapat bertahan terhadap basah/lembab daripada tidak sama sekali. Pemakaian cat pada dinding tiap rumah halit-mbol chalit, semuanya memakai warna yang memiliki daya serap sekitar 20% - 60% atau daya daya pantul 80% - 35%. Hal ini tentunya dapat membantu untuk mengurangi perolehan panas dalam bangunan.

c.       Lantai

Penggunaan material lantai sama dengan dinding, yaitu yang memilih material kayu yang permukaannya licin. Terhadap pertimbangan pengaruh iklim, pemakaian lantai kayu sangat mereduksi panas, lagi pula lantai kayu hangat untuk malam hari yang begitu dingin. Sedangkan kelembaban yang timbul akibat penguapan air dikolong lantai disiasati dengan konstruksi penggung tampa penutup kolong, sehingga dapat mengalir dengan baik.

5.      Pola Penataan Hunian

Pola penataan Hunian permukiman ini bileh dikatakan masih serawut dan tidak teratur. Hanya barisan depan menghadap jalan yang berbaris rapi, sedangkan hunian lainnya bersebaran ke arah laut dan hutan tanpa keteraturan. Pola penataan hunian dikampung agaknya menyimpang dari teori bahwa untuk daerah panas lembab, pola penataan bangunan yang teratur dalam bentuk grid dan dengan pola jalan yang saling memotong tegak lurus dengan bangunan sebagai pebatas tepi akan sangat sesuai, dengan pola yang dimanfaatkan untuk ventilasi dalam bangunan dan diharapkan menjadi lancar (Gideon S Golony, 1995).

b.      Faktor – faktor iklim tropis yang mempengaruhi kenyamanan thermal dalam ruang.

Penelitian mengenai kenyamanan thermal baik dari  Szokolay (1980), Egan (1975), maupun dari Santoso (1986), tidak disepakati suatu besaran kenyamanan yang sama. Kenyamanan thermal tidak dapat diartikan sebagai suatu besaran tetap, tetapi merupakan ambang batas relativ yang menunjukkan bahwa kondisi iklim tertentu, lingkungan sekitar, jenis kelamin, kelompok usia, aktifitas dan lain sebagainya. Hal ini diperjelas dengan memperhatikan faktor – faktor yang mendukung kenyamanan thermal adalah sebagaimana pada tabel berikut  :

Kehilangan panas pada manusia disebabkan oleh konveksi kondisi, evaporasi dan radiasi. Konveksi sekitar 40%, evaporasi 20%, radiasi matahari sekitar 40% dan konduksi biasanya memberi kontribusi sangat kecil. Jumlah kehilangan panas ini akan menentukan respon seseorang terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga ia akan mampu merasakan kenyamanan thermal yang mana didukung oleh : temperatur udara, radiasi penggerakan udara, dan kelembaban relatif. Kombinasi dan faktor – faktor ini akan menghasilkan suatu nilai kenyamanan thermal tertentu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut:

Elemen – Elemen iklim yang mempengaruhi kenyamanan thermal adalah :

a.      Radiasi (radiation)

Kenyamanan radiasi (thermal comfort)  merupakan hal penting dalam menciptakan suatu kenyamanan dalam ruang. Walau hal ini tergantung pada Radiasi matahari (sun rise).

b.      Temperatur udara (air temperature)

kenyamanan temperatur (thermal comfortable) juga merupakan suatu hal penting dalam menciptakan suatu kenyamanan di dalam ruang, walau hal ini tergantung dari perasaan pada bagian subjektiv (subjective veeling state) dan perasaan kenyamanan (convortable veeling)  namun ini harus tetap diusahakan agar dapat  tercipta, karena walaupun bagaimana manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang terbatas, dan bila hal ini terlampaui maka bisa mengakibatkan gangguan. Penyelesaian dari masalah ini adalah berkaitan sangat erat dengan faktor – faktor kenyamanan lainnya sehingga tidak dapat dipisahkan.

Sesungguhnya sangat sukar sekali dalam menentukan ukuran – ukuran kenikmatan secara tepat oleh karena kombinasi dan pergerakan udara dengan kecepatan 4,57m -7,63m /menit, suhu udara 20,4°C dan kelembaban 20% - 70%, dan kecepatan pergerakan udara sama seperti disebutkan di atas. Kombinasi temperature udara, kelembaban, dan kecepatan angin yang membentuk temperature nyaman pada saat tersebut di katakan sebagai temperatur efektif. Lihat tabel beikut: 

 

a.      Kelembaban dan Curah Hujan (evaporate and rain)

Kelembaban udara dapat mengalami fluktuasi yang tinggi, sangat tergantung terutama pada perubahan temperatur udara. Semakin tinggi temperatur, semakin tinggi pula kemampuan udara menyerap air. Kelembaban relativ menunjukkan perbandingan antara tekanan uap air yang ada terhadap tekanan uap air maksimum yang mungkin dalam kondisi temperatur udara tertentu yang di nyatakan dalam porsen. Udara yang telah jenuh tidak dapat menyerap air lagi karena tekanan air maksimum telah tercapai. Sedangkan kelembaban absolut adalah kadar air dari udara yang dinyatakan dalam garam perkilogram udara kering, dengan cara mengukur tekanan yang ada pada udara dalam kilo pascal (Kpa) atau disebut juga tekanan uap air.

Kelembaban udara yang nikmat untuk tubuh berkisar 40 – 70%. Padahal tempat – tempat seperti ditepi pantai, berkisar 80%-98%. Untuk itu diperlukan pengembangan lain demi rasa comfort tubuh. Dengan kata lain proses penguapan harus dipercepat. Jika kelembaban udara sudah jenuh, maka tubuh kita tidak bisa menguapkan keringat lagi. Khusus yang tinggal di daerah pantai harus diingat bahwa angin laut selain membawa kelembaban, jug membawa kadar garam yang tinggi, yang menyusup dan merusak bahan – bahan logam di mana – mana.

Pengaturan kelembaban dalam ruang juga sangat penting karena kelembaban ruangan yang tinggi dapat menyebabkan penggemburan permukaan kaca pada musim dingin dan kelembaban rendah dapat mengakibatkan masalah listrik statis. Di daerah iklim tropis yang bercurah hujan tinggi, faktor kelembaban harus mendapat perhatian. Kelembaban dapat membawa bahaya dan kerugian – kerugian. Mengakibatkan dinding – dinding menjadi basah yang mana bisa mengurangi daya isolasi kalor, sedangkan penguapan kebasahan dinding juga membuat ruang menjadi dingin, menambah kadar uap air didalamnya. Itu semua mendorong uap air dalam ruangan untuk berkondensasi. Kelembaban yang tidak ditiup pergi oleh angin dapat menjadi penyebab ketidaknyamanan di dalam ruang.

Pada kenyataannya orang dipantai tidak terlalu merasa kesal terhadap suhu. Yang paling dirasakan sebagai penyebab ketidak enakan bukan pertama suhu udara, melainkan kelembaban. Selain itu kelembaban dapat menimbulkan pembusukan pada kayu, pengkaratan logam – logam. 

a.      Penggerakan Udara (air wave)

Penggerakan udara terjadi disebabkan oleh pemanasan lapisan – lapisan yang berbeda – beda. Angin yang diinginkan, angin lokal, sepoi – sepoi yang memperbaiki iklim makro, angin yang memiliki gerakan kuat tidak diharapkan sehingga pemecahan harus diberikan. Gerakan udara didekat permukaan tanah dapat bersifat sangat berbahaya dengan gerakan di tempat yang tinggi. Semakin kasar permukaan yang dilalui, semakin tebal lapisan udara.

Arah angin sangat menentukan orientasi bangunan. Di daerah lembab diperlukan sirkulasi udara yang terus – menerus. Di daerah tropika basah, dainding – dinding luas sebuah bangunan terbuka untuk sirkulasi udara lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk pencahayaan. Sedangkan perbandingan untuk kecepatan angin, dan akibat serta pengaruh yang ditimbulkan pada manusia di lingkungannya. Lihat tabl :

Untuk bangunan di daratan yang berdataran tinggi, harus memperhatikan sifat angin yang kadang – kadang kencang dan hal ini perlu dihindari. Jadi kecuali mempelajari cepat dan lembabnya gerakan angin di suatu daerah, dan sangat perlu juga diketahui arah angin setempat.

Untuk daerah panas lembab, pola penataan bangunan teratur dalam bentuk grid dengan pola jalan yang saling memotong tegak lurus, namun di wilayah Maybrat Imian Sawiat menggunakan pola linear, yang mana penataan bangunan mengikuti alor gunung, sungai dan pantai.

e. Mendefinisikan Kembali Arsitektur Tropis Maybrat Imian Sawiat Papua

Salah satu alasan mengapa manusia membuat bangunan adalah karena kondisi alam iklim tempat manusia berada tidak selalu baik menunjang aktivitas yang dilakukannya. Aktivitas manusia yang bervariasi memerlukan kondisi iklim sekitar tertentu yang bervariasi pula. Untuk melangsungkan aktivitas kantor, misalnya, diperlukan ruang dengan kondisi visual yang baik dengan intensitas cahaya yang cukup; kondisi termis yang mendukung dengan suhu udara pada rentang-nyaman tertentu; dan kondisi audial dengan intensitas gangguan bunyi rendah yang tidak mengganggu pengguna bangunan.

Karena cukup banyak aktivitas manusia yang tidak dapat diselenggarakan akibat ketidaksesuaian kondisi iklim luar, manusia membuat bangunan. Dengan bangunan, diharapkan iklim luar yang tidak menunjang aktivitas manusia dapat dimodifikasidiubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang lebih sesuai.

Usaha manusia untuk mengubah kondisi iklim luar yang tidak sesuai menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia di daerah tropis seringkali gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di dalam bangunan. Ketika berada di dalam bangunan, pengguna bangunan justru seringkali merasakan udara ruang yang panas, sehingga kerap mereka lebih memilihberada di luar bangunan.

Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk menanggulangi persoalan iklim dalam bangunan yang dirancangnya, ia secara benar mengartikan bahwa bangunan adalah alat untuk memodifikasi iklim. Iklim luar yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktivitas manusia dicoba untuk diubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai. Para arsitek yang kebetulan hidup, belajar dan berprofesi di negara beriklim sub-tropis, secara sadar atau tidakatau karena aturan membangun setempatkerap melakukan tindakan yang benar. Karya arsitektur yang mereka rancang selalu didasari pertimbangan untuk memecahkan permasalahan iklim setempat yang bersuhu rendah. Bangunan dibuat dengan dinding rangkap yang tebal, dengan penambahan bahan isolasi panas di antara kedua lapisan dinding sehingga panas di dalam bangunan tidak mudah dirambatkan ke udara luar.

Meskipun mereka melakukan tindakan perancangan guna mengatasi iklim sub-tropis setempat, karya mereka tidak pernah disebut sebagai karya arsitektur sub-tropis, melainkan sebagai arsitektur Victorian, Georgian dan Tudor; sementara sebagian karya yang lain diklasifikasikan sebagai arsitektur modern (modern architecture), arsitektur pasca-modern (post-modern architecture), arsitektur modern baru (new modern architecture), arsitektur teknologi tinggi (high-tech architecture), dan arsitektur dekon.

              Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi masalah iklim setempat tidak selalu diberi sebutan arsitektur iklim tersebut, karena pemecahan problematik iklim merupakan suatu tuntutan mendasar yang 'wajib' dipenuhi oleh suatu karya arsitektur di manapun dia dibangun. Sebutan tertentu pada suatu karya arsitektur hanya diberikan terhadap ciri tertentu karya tersebut yang kehadirannya 'tidak wajib', serta yang kemudian memberi warna atau corak pada arsitektur tersebut. Sebut saja arsitektur yang 'bersih' tanpa embel-embel dekorasi, yang bentuknya tercipta akibat fungsi (form follows function) disebut arsitektur modern. Arsitektur dengan penyelesaian estetika tertentuyang antara lain menyangkut bentuk, ritme dan aksentuasidiklasifikasikan (terutama oleh Charles Jencks) ke dalam berbagai nama, seperti halnya arsitektur pasca-modern, modern baru dan dekonstruksi. Semua karya arsitektur tersebut tidak pernah diberi julukan 'arsitektur sub-tropis' meskipun karya tersebut dirancang di daerah iklim sub-tropis guna mengantisipasi masalah iklim tersebut.

Kemudian mengapa muncul sebutan arsitektur tropis? Seolah-olah jenis arsitektur ini sepadan dengan julukan bagi arsitektur modern, modern baru dan dekonstruksi. Jenis yang disebut belakangan lebih mengarah pada pemecahan estetika seperti bentuk, ritme dan hirarki ruang. Sementara arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, adalah karya arsitektur yang mencoba memecahkan problematik iklim setempat.

Bagaimana problematik iklim tropis tersebut dipecahkan secara desain atau rancangan arsitektur? Jawabannya dapat seribu satu macam. Seperti halnya yang terjadi pada arsitektur sub-tropis, arsitek dapat menjawab dengan warna pasca-modern, dekonstruksi ataupun High-Tech, sehingga pemahaman tentang arsitektur tropis yang selalu beratap lebar ataupun berteras menjadi tidak mutlak lagi. Yang penting apakah rancangan tersebut sanggup mengatasi problematik iklim tropishujan deras, terik radiasi matahari, suhu udara yang relatif tinggi, kelembapan yang tinggi (untuk tropis basah) ataupun kecepatan angin yang relatif rendahsehingga manusia yang semula tidak nyaman berada di alam terbuka, menjadi nyaman ketika berada di dalam bangunan tropis itu. Bangunan dengan atap lebar mungkin hanya mampu mencegah air hujan untuk tidak masuk bangunan, namun belum tentu mampu menurunkan suhu udara yang tinggi dalam bangunan tanpa disertai pemecahan rancangan lain yang tepat.

Dengan pemahaman semacam ini, kemungkinan bentuk arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, menjadi sangat terbuka. Ia dapat bercorak atau berwarna apa saja sepanjang bangunan tersebut dapat mengubah kondisi iklim luar yang tidak nyaman, menjadi kondisi yang nyaman bagi manusia yang berada di dalam bangunan itu. Dengan pemahaman semacam ini pula, kriteria arsitektur tropis tidak perlu lagi hanya dilihat dari sekedar 'bentuk' atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembapan relatif tidak terlalu tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari hujan, dan terhindar dari terik matahari. Penilaian terhadap baik atau buruknya sebuah karya arsitektur tropis harus diukur secara kuantitatif menurut kriteria-kriteria fluktuasi suhu ruang (dalam unit derajat Celcius); fluktuasi kelembapan (dalam unit persen); intensitas cahaya (dalam unit lux); aliran atau kecepatan udara (dalam unit meter per detik); adakah air hujan masuk bangunan; serta adakah terik matahari mengganggu penghuni dalam bangunan. Dalam bangunan yang dirancang menurut kriteria seperti ini, pengguna bangunan dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di alam luar.

Penulis menganggap bahwa definisi atau pemahaman tentang arsitektur tropis di Indonesia hingga saat ini cenderung keliru. Arsitektur tropis sering sekali dibicarakan, didiskusikan, diseminarkan dan diperdebatkan oleh mereka yang memiliki keahlian dalam bidang sejarah atau teori arsitektur. Arsitektur tropis seringkali dilihat dari konteks 'budaya'. Padahal kata 'tropis' tidak ada kaitannya dengan budaya atau kebudayaan, melainkan berkaitan dengan 'iklim'. Pembahasan arsitektur tropis harus didekati dari aspek iklim. Mereka yang mendalami persoalan iklim dalam arsitekturpersoalan yang cenderung dipelajari oleh disiplin ilmu sains bangunan (fisika bangunan)akan dapat memberikan jawaban yang lebih tepat dan terukur secara kuantitatif. Mereka yang dianggap ahli dalam bidang arsitektur tropisKoenigsberger, Givoni, Kukreja, Sodha, Lippsmeier dan Nick Bakermemiliki spesialisasi keilmuan yang berkaitan dengan sains bangunan, bukan ilmu sejarah atau teori arsitektur.

Kekeliruan pemahaman mengenai arsitektur tropis di Indonesia nampaknya dapat dipahami, karena pengertian arsitektur tropis sering dicampuradukkan dengan pengertian 'arsitektur tradisional' di Indonesia, yang memang secara menonjol selalu dipecahkan secara tropis. Pada masyarakat tradisional, iklim sebagai bagian dari alam begitu dihormati bahkan dikeramatkan, sehingga pertimbangan iklim amat menonjol pada karya arsitektur tersebut. Manusia Indonesia cenderung akan membayangkan bentuk-bentuk arsitektur tradisional Indonesia ketika mendengar istilah arsitektur tropis. Dengan bayangan iniyang sebetulnya tidak seluruhnya benarpembicaraan mengenai arsitektur tropis akan selalu diawali. Dari sini pula pemahaman mengenai arsitektur tropis lalu memiliki konteks dengan budaya, yakni kebudayaan tradisional Indonesia. Hanya mereka yang mendalami ilmu sejarah dan teori arsitektur yang mampu berbicara banyak mengenai budaya dalam kaitannya dengan arsitektur, sementara arsitektur tropis (basah) tidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi di seluruh negara yang beriklim tropis (basah) dengan budaya yang berbeda-beda, sehingga pendekatan arsitektur tropis dari aspek budaya menjadi tidak relevan.

Dari uraian di atas, perlu ditekankan kembali bahwa pemecahan rancangan arsitektur tropis (basah) pada akhirnya sangatlah terbuka. Arsitektur tropis dapat berbentuk apa sajatidak harus serupa dengan bentuk-bentuk arsitektur tradisional yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia, sepanjang rancangan bangunan tersebut mengarah pada pemecahan persoalan yang ditimbulkan oleh iklim tropis seperti terik matahari, suhu tinggi, hujan dan kelembapan tinggi.  

b.      Analisis Pengaruh Iklim Terhadap Kenyamanan Thermal Rumah Halit-Mbol Chalit

Bentuk arsitektur rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang tercipta berdasarkan budaya appabolang ternyata juga tidak lepas dari pertimbangan – pertimbangan kondisi iklim lingkungannya. Untuk itu pada bab analisisi ini dicoba untuk membuktikan bahwa rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang tercipta dari hasil budaya Appabolang mampu mengantisipasi iklim untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunannya, sebagai berikut:

1.      Pengaruh Sinar Matahari

Secara umum, sinar matahari dapat memberikan pengaruh baik, karena cahaya matahari dapat digunakan sebagai pencahayaan alami. Namun, sinar matahari terutama sinar matahari langsung, mengandung panas yang dapat mempengaruhi kenyamanan, untuk itu masuknya panas kedalam bangunan perlu dihindari.

Letak georafis Kabupaten Sorong Selatan pada daerah khatulistiwa berada pada posisi 131° 42¹ 0”BT - 132° 58¹ 12”BT dan 0° 55¹ 22” LS - 2° 17¹ 24” LS. Kabupaten Sorong Selatan yang luasnya sekitar 1.321.189,39 ha (berdasarkan peta). Berdasarkan diagram posisi matahari (sun-path diagram), waktu riil Kabupaten Sorong Selatan pada pukul 12.00 (waktu matahari) adalah pukul 12.6. jadi jumlah panas maksimum yang diterima apabila matahari mencapai titik kulminasi yaitu pukul 12.6 siang.

Untuk rumah tinggal, sinar matahari langsung yang dirasakan mengganggu adalah pukul 10.00 – 15.00. berdasarkan sun-path diagram sudut pembayangan untuk setiap rumah sampel dapat ditentukan. Berdasarkan diagram matahari yang sesuai untuk lokasi penelitian ini dipilih 6° selatan. Kedalaman pembayangan setiap fasade bangunan pada jam 10.00 jam 13.00 dan jam 15.00 dapat dilihat pada tabel berikut:

Dari Tabel hasil analisis tersebut, maka dapat dikatakan bahwa untuk rumah halit-mbol chalit pada bulan Juni dan desember Jam 10.00, dinding dengan bukaan kaca disisi timur masih terkena sianr matahari langsung. Untuk itu masih membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,4 – 1,7 m. Begitu pula pada sisi barat Jam 13.00 dan 15.00 masih membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,2 – 1,5 m. Sedangkan yang lainnya pada bulan Desember  disisi timur jam 10.00, sisi barat Jam 13.00 dan jam 15.00, serta sisi selatan pada bulan Desember Jam 13.00 dan jam 15.00 masih membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang masing-masing 1,4 – 1,8 m, 1,5 -2 m dan 1,2 – 1,5 m. Sedangkan pada bagian rumah yang lain, pada bulan Juni jam 15.00 sisi utara dan pada bulan Juni dan Desember sisi barat Jam 13.00 dan 15.00, masing-masing membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,3 – 1,5 m dan 1,5 – 2 m. Bagian rumah yang lain, pada bulan Juni dan Desember sisi selatan jam 10.00, 13.00, dan 15.00 masing-masing membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,5 – 1,7 m, 1,5 – 1,8 m, dan 1,3 – 1,5 m. Sedangkan untuk sisi rumah yang lain, pada bulan Desember sisi selatan jam 10.00, bulan Juni sisi utara jam 10.00 dan bulan Juni dan Desember sisi barat Jam 13.00, jam 15.00, masing-masing membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,2 – 1,5 m, 1,2 – 1,4 m, dan 1,5 – 1,7 m.  Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

 

b.      Hubungan Bentuk Arsitektur Rumah Tinggal dengan Kenyamanan Thermal.    

 Iklim tropis lembab adalah jenis iklim yang sangat sulit ditangani untuk mendapatkan tingkat rsponsibilitas yang maksimal. Tanpa pengkondisian udara buatan, jelas sulit untuk mencapai kondisi internal yang nyaman untuk dihuni (Szokoli 1981).

Segala bentuk pendinginan pasif sulit untuk dirancang secara arsitektur, hal ini disebabkan kondisi iklim yang unik. Kelembaban radiasi inframerah. Demikian pula suhu udara malam hari yang tidak terlalu rendah tidak mungkin untuk memanfaatkan pendinginan secara konveksi.

Kenyamanan hanya dapat dicapai apabila pada suatu kondisi udara tertentu, hanya dapat dicapai apabila terdapat suatu kecepatan angin tertentu yang mampu menghasilkan proses evaporasi tubuh yang seimbang, dengan kata lain eksistensi angin dalam hal ini diperlukan terutamauntuk perancangan ruang luar. Dalam rangkaian tatanan ruang berhubungan erat dengan elemen rumah seperti: atap, dinding, lantai dan sebagainya. Dari uraian ini maka dapat dikatakan bahwa rumah tinggal (bangunan) beserta elemen – elemen pembentukan dan tatanan lingkungannya memberikan sumbangan terhadap kenyamanan didalam bangunan. Berikut uraiannya :

a.      Faktor Pembentukan dan Elemen Bangunan

Bentuk dan elemen bangunan merupakan factor penting yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunan. Bentuk bangunan yang tepat adalah bentuk yang mampu memanfaatkan cahaya matahari untuk pencahayaan alam dan menghindari panas yang timbul. Bentuk tersebut bisa juga berpengaruh pada jalannya angin untuk mendapatkan pergantian udara yang diperlukan. Bentuk dan elemen – elemen bangunan yang dimaksudkan meliputi : Bentuk dan denah, atap dan dinding, overstek, serta material dan warna.

1)      Bentuk dan Denah

bentuk bangunan yang tepat adalah bentuk bangunan yang mampu mendapatkan matahari pagi dengan menghindari panas pada siang hari. Bentuk tersebut bisa juga berpengaruh pada jalannya angin untuk mendapatkan pergantian udara yang diperlukan. Sehubungan dengan pergantian udara didalam ruang, maka didalam ruang tersebut harus diperbarui, misalnya untuk ruang yang bervolume 5 m³/orang, bahwa udara dapat diganti sebanyak 15 m³/orang/jam. Bila volume kurang dari itu, maka pergantian udara harus lebih cepat lagi yaitu 25 m³/orang/jam. Pada dasarnya bentuk Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat berdenah membentuk Empat Persegi.

2)      Bukaan

Tidak dapat disangkal lagi didalam usaha untuk menghasilkan suatu perencanaan yang baik, bukan saja luas dan sisi dari ruangan yang harus mendapat perhatian, tetapi juga penempatan serta ukuran yang tepat dari bukaan – bukaan (Pintu, Jendela dan lubang ventilasi) perlu mendapat kajian yang teliti, demi tercapainya kenyamanan.

Ukuran dari bukaan lebih tergantung pada pertimbangan keampuan menerima sinar matahari, dan kemudian memeriksa daripada pertimbangan temperature. Dari sisi menerima sinar matahari paling sedikitnya bukaan. Penempatan bukaan juga dibuat pada sisi paling mudah untuk memeriksa. Untuk ventilasi dari penerangan alami, dalam banyak kasus, suatu jendela berupa 20% luasan dinding telah mencukupi.

Jika kelebihan panas terjadi, ventilasi silang perlu diberikan, tetapi pada beberapa bagian waktu, hal itu turut menyumbang pada perasaan dinding yang tak nyaman sehingga perlu disiapkan penutup bukaan – bukaan, jendela dan pintu. Disisi lain, jika tida ada angin yang kuat yang perlu dihindari, maka orientasi bukaan tidak memperhatikan perlunya angin langsung, sehingga perolehan panas matahari menjadi satu – satunya factor dalam pengaturan orientasi jendela.

3)      Atap dan Dinding

Atap dan dinding pada bangunan adalah bagian – bagian yang paling banyak menerima radiasi matahari secara langsung. Radiasi tersebut melalui proses refleksi dan atau transmisi yang dihantarkan masuk kedalam ruangan. Atap sampai sejauh ini merupakan elemen yang sangat penting, karena menerima tadiasi terbesar. Hal ini disebabkan kedudukannya yang langsung menghadap matahari, untuk itu perlu adanya usaha penyekatan untuk mengurangi pengaruh matahari terhadap ruang dibawahnya.

Bangunan selain berfungsi sebagai pelindung terhadap panas dan sinar matahari, juga terhadap hujan yaitu terhadap kebasahan / kelembabannya dan hempasannya.   Atap berfungsi sama dengan dinding. Dinding bangunan harus menghadapi alam luar dan ruang dalam. Untuk menghadapi alam luar, dinding harus menjadi pelindung terhadap radiasi matahari, isolasi/penghalang kalor dari luar, pelindung terhadap hempasan hujan dan kelembaban dari luar, serta pelindung terhadap arus angin luar. Terhadap ruang dalam, dinding harus senangtiasa memelihara suhu yang diminta dalam ruang, pengatur derajat kelembaban dalam ruangan, dan mengatur ventilasi didalam ruangan.

Terhadap kenyamanan bangunan yang berkesinambungan/menerus ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengurangi besarnya pengaruh radiasi terhadap bangunan, yaitu dengan cara pembayangan atap dan didalam ruangan, kerapatan dinding harus diatur agar tetap memiliki bagian – bagian yang berhubungan sebagai ventilasi alami.

 

4)      Overstek / Pelindung

Pada daerah dengan iklim panas – lembab, overstek – overstek yang lebar dan serambi yang luas sangat dibutuhkan untuk menahan silau langit, melindungi dari hujan dan juga memberi bayangan peneduh. Penahan matahari dan kisi – kisi digunakan untuk melindungi bukan – bukan selama periode kemarau, dan juga memberi keuntungan pada musim hujan, yaitu dapat melindungi dari hempasan air hujan.

System pemayungan atau penyaringan merupakan cara yang cukup bermanfaat untuk mencapai kenikmatan terhadap sengatan dan silau matahari. Pemayungan atau penyaringan sinar matahari selain bermaksud mengurangi atau memperlunak sengatan dan silau, sekaligus juga mengurangi kalor yang terpantul dari benda atau bidang – bidang halaman.

Penggunaan overstek atau elemen – elemen pematah sinar matahari harus deperhitungkan terhadap arus ventilasi. Jika sesuatu bangunan akan memanfaatkan semaksimal mungkin maka potensi alami elemen fisiknya harus dipilih sedemikian rupa sehingga cocok sebagai alat pelindung matahari tetapi sekaligus tetap untuk system ventilasinya.

 

5)      Material dan Warna

Material dan warna juga merupakan salah satu unsure yang mempengaruhi panas dalam bangunan. Warna dapat mempengaruhi terhadap jumlah panas yang berpengaruh terhadap suhu udara dalam bangunan. Pemilihan warna, struktur dan material/bahan bangunan harus benar – benar dikombinasikan dengan cermat.

Permukaan air / kulit bangunan yang reflektif dapat digunakan sepenuhnya untuk mengurangi beban panas. Warna putih atau permukaan terang sangat menguntungkan untuk bangunan yang dihuni sepanjang siang hari. Dalam kasus bangunan digunakan sepanjang hari, akan lebih baik kalau panas matahari bisa disimpang untuk malam hari. Namun hal ini kurang tepat untuk daerah tropis di dataran rendah. Pada malam hari temperature menjadi rendah tetapi kelembabannya tinggi. Karena itu bahan terang yang lebih memantulkan panas bisa lebih cocok.

Nilai – nilai pemantulan dan penyerapan cahaya untuk berbagai bahan dan jenis permukaan tidak hanya penting berhubungan dengan kesilauan, tetapi juga merupakan data – data yang sangat penting untuk penggunaan bahan bangunan yang tepat. Berikut lihat tabl nilai – nilai pemantulan dan penyerapan berbagai bahan jenis permukaan sebagai berikut : 

 

a.      Kriteria Perancangan Kenyamanan Thermal Bangunan

Dalam bangunan rumah tinggal, yang dikehendaki adalah pendayagunaan alam natural untuk proses pendinginan, maka salah satu cara mengurangi dampak panas ini adalah dengan cara memberikan system control pada bangunan. System kontrol dengan pendekatan semacam ini disebut sebagai system pendinginan pasif. Pada dasarnya control thermal di dalam bangunan dilakukan dengan pendekatan perancangan arsitektur yang beradaptasi optimal terhadap kondisi alam.

Penempatan bangunan dan konstruksi serta pemilihan bahan yang sesuai, maka temperatur ruangan dapat diturunkan beberapa derajat tanpa peralatan mekanis. Perbedaan temperature yang kecil saja terhadap temperature luar atau gerakan udara labatpun suda dapat menciptakan perasaan nyaman bagi manusia yang sedang berada di dalam ruang.

Telaah kenyamanan thermal bangunan tidak bisa berdiri sendiri pada suhu udara, namun harus bersama dengan aspek iklim yang lain, yaitu kelembaban relative, radiasi, matahari dan kecepatan angin yang ada. Proses perancangan yang dapat mempengaruhi iklim interior adalah :
·         Orientasi bangunan
·         Ventilasi
·         Pelindung matahari
·         Pelembaban udara (tindakan pengurangan)
·         Pengisolasian panas
·         Vegetasi
Hal ini memang bahwa perancangan dengan tujuan mencapai tingkat kenyamanan thermal optimal dalam ruang bisa ditinjau dengan memperhatikan variabel – variabel rancangan :
§  Orientasi bangunan
§  Luas ruang / kebutuhan ruang
§  Tinggi laingit – langit / system penghawaan
§  Luas bukaan / system penghawaan
§  Tipe insulasi pada atap dan dinding
§  Kemampuan isulasi atap dan dinding (material dan faktor refleksi)
§  System pembayangan radiasi matahari
§  Kemampuan serap panas atap dan dinding
Pada perancangan thermal terdapat tiga aspek utama yang menjadi inti permasalahan yaitu :
·         Iklim, (aspek panas dan terang matahari, aspek keberadaan dan kecepatan angin dan aspek curah hujan)
·         Kondisi dalam ruang, yang sesuai untuk aktivitas pemakai.
·         Bangunan, yang berlaku sebagai filter sekaligus modife.
Dalam skala lingkungan yang lebih besar, lingkungan luar membentuk kondisi makro yang bisa berupa kondisi geometi, kepadatan bangunan, serta kondisi permukaan pada lokasi bersangkutan.

Akhir dalam perancangan thermal ini adalah kondisi dalam ruang yang langsung berhubungan dengan manusia. Akhirnya bahwa bangunan harus berubah, sistem lingkungan diluar menjadi suatu lingkungn didalam yang sesuai untuk habitasi manusia.  

b.      Analisis Lokasi dan Sistem Tatanan Lingkungan.

1.      Lokasi

Lokasi adalah salah satu faktor yang harus dipertimbangkan untuk mendirikan bangunan, khususnya bila ditinjau dari sisi kelembaban. Misalnya, daeraj lembah pada pagi hari penuh dengan kabut yang mengandung kelembaban dan begitu pula pada pembangunan rumah diatas sungai atau rawa – rawa. Khususnya yang tinggal didaerah pantai harus diingat, bahwa angin laut selain membawa kelembaban, juga mengandung kadar garam yang tinggi sehingga dapat merusak bahan dari logam dan besi.

Dari sisi temperature, bidang daratan menjadi panas duakali lebih cepat daripada bidang air dengan luas yang sama. Bidang air kehilangan sebagaian energi panasnya karena penguapan, temperature udara sebagian besar ditentukan oleh sentuhan udara dengan permukaan tanah, maka temperature yang tinggi selalu berhubungan dengan permukaan tanah, maka temperature yang tinggi selalu berhubungan dengan kelembaban udara yang rendah, dan temperature yang sedang dengan kelembaban yang tinggi. Akhirnya menjadi suatu gejala bahwa pada garislintang yang sama dan waktu musim panas yang sama, temperature terrendah terjadi diatas permukaan air dan temperature tertinggi diatas bentuk didalam musim dingin terjadi kebalikan.  

2.      Kepadatan Bangunan

Kepadatan bangunan adalah jarak antara bangunan disuatu area yang akan membentuk temperature lingkungan. Area dengan kepadatan tinggi secara umum akan memiliki temperatur lebih tinggi daripada area yang kurang padat. Meskipun hal ini juga harus memperhatikan kondisi lainnya seperti ; kecepatan angin, jenis dan kerapatan vegetasi, ketinggian dan laut serta posisinya terhadap garis edar matahari.  

3.      Geometri Tatanan

Bentuk dan keteraturan tatanan lingkungan akan banyak berpengaruh pada kecepatan angin. Dengan semakin banyak belokan – belokan maka kecepatan ini dapat dipertimbangkan apakah angin diperlukan untuk menghembus lebih kuat ataukah sebaliknya angina harus dikurangi kecepatannya.       

c.       Analisis Pengaruh Iklim Terhadap Kenyamanan Thermal  Rumah hunian halit - Mbol chalit

            Bentuk Arsitektur tradisional suku Maybrat Imian Sawiat yang tercipta berdasarkan budaya appabolang ternyata juga tidak lepas dari pertimbangan – pertimbangan kondisi iklim lingkungannya. Untuk itu pada bait analisa ini dicoba untuk membuktikan bahwa rumah tinggal suku Maybrat Imian sawiat yang tercipta dari hasil budaya appabolang, mampu mengantispasi iklim untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunannya.

a.      Pengaruh Sinar Matahari

           Secara umum sinar matahari dapat memberikan pengaruh baik, karena cahaya dapat digunakan sebagai pencahayaan alami. Namun sinar matahari terutama sinar matahari langsung mengandung panas yang dapat mempengaruhi kenyamanan, untuk itu masuknya panas kedalam bangunan perlu dihindari. 

Letak geografis wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, Kabupaten Sorong Selatan pada daerah Khatulistiwa berada pada pisisi 131° 42¹ 0” BT - 132° 58¹ 12” BT dan 0° 55¹ 12” LS - 2° 17¹ 24” LS. Berdasarkan posisi matahari (sun-path diagram),  waktu riil Kabupaten Sorong Selatan Pada pukul 12.00 (waktu matahari) adalah pukul 13.14. jadi jumlah panas maksimum yang diterima apabila matahari mencapai titik Kulminasi yaitu pukul 13.14. siang.

            Untuk rumah tinggal, sinar matahari langsung yang dirasakan mengganggu adalah pukul 10.00 – 15.00. berdasarkan sun-path diagram sudut pembayangan untuk setiap rumah di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, dapat ditemukan. Berdasrkan diagram matahari yang sesuai untuk lokasi ini dipilih dari 6° selatan. Kedalam pembayangan setiap fasade bangunan pada jam 10.00 jam 13.00 dan jam 15.00 dapat dilihat pada table:

 

a.      Pemanfaatan Cahaya Matahari

            Pemanfaatan cahaya matahari untuk pencahayaan alami pada tiap rumah tradisional Maybrat, dapat dikatakan hamper seluruhnya berfungsi dengan baik karena ruang yang memiliki kedalaman dalam ukuran tertentu. Dari lubang bukaan dan lubang kisi – kisi yang mana memberi celah pada pemasangan didnding.

b.      Pengaruh temperatur Udara

            Temperature udara pada rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat erat hubungannya dengan pengaruh radiasi panas matahari dan asap api yang menimpa dalam rumah. Pada permukaan hunian Suku Maybrat Imian Sawiat umumnya merupakan bidang air dan daratan sehingga pada bidang air temperaturnya berkisar dari temperatur sedang ke temperature rendah dan dengan kelembaban yang tinggi. Hal ini berbeda dengan di daratan, yang mana temperature dari tinggi dan kelembaban udara rendah. Hal ini disebabkan karena bidang daratan lebih panas duakali lebih cepat daripada bidang air pada luas yang sama. Dan bidang air kehilagan sebagai energi panasnya karena penguapan. Temperatur udara dalam sehari rumah Maybrat Imian Sawiat juga dipengaruhi oleh kepulan asap hasil pembakaran api dalam rumah. Namun dalam pengukuran kenyamanan kepulan asap yang keluar merupakan salah satu hasil energi panas yang menetralisir temperatur udara dalam rumah yang sangat lembab di banding kalau tanpa membakar api, yang mana kenyamanan dalam rumah sangat terasa lembab (dingin) terhitung pada waktu jam 19.00 – 07.00 pagi.

            Pada analisa ini menunjukan temperatur ruang luar (Isit--teras) pada siang hari rara – rata lebih rendah daripada temperatur ruang dalam (samu mato), namun perbedaan rentang temperaturenya kecil. Hal ini disebabkan karena material didnding yang digunakan adalah Kulit kayu, papan Kayu, Gaba – gaba yang dipasang secara porus (bercekah), sehingga suhu dingin atau panas serta kepulan asap akibat pembuangan dapat dengan mudah masuk keluar dalam rumah. Dari nilai rentang temperature sepanjang hari, hanya pada jam 8.00 pagi dan 16.00 sore yang menunjukkan  keadaan sebaliknya. Karena pada jam – jam ini sudut matahari mengecil (Ayio Hawer) sehingga bayangan yang terjadi merupakan bayangan pendek  yang mengakibatkan ruang dalam menerima sinar matahari langsung.

 

c.       Pengaruh Hujan dan Kelembaban

            Curah hujan di kabupaten Sorong Selatan relative terjadi tiap tahun dan hujan yang terjadi di kabupaten sorong selatan adalah jenis hujan orograsif.

            Pengaruh hujan sangat berkaitan dengan elemen atap pada bangunan, atap merupakan bagian penting suatu bangunan People have lived without walls but never without roofs,  manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang memerlukan perlindungan dan bentuk perlindungan awal adalah atap. Atap merupakan elemen bangunan yang paling banyak menerima radiasi matahari. Jadi dapat dikatakan bahwa iklim merupakan factor yang mempengaruhi sudut kemiringan atap dalam perancangan tipe arsitekturnya.

            Untuk mengurangi kondisi yang tidak nyaman akibat kelembaban yang terlalu tinggi, dapat diatasi dengan adanya pembuatan tungku api dalam ruang dan memberi gerakan udara melalui cros ventilasi dan tatanan massa yang membantu mengarahkan jalannya angin, yang mana sebagai pengarah keluarnya kepulan asap melalui cros ventilation dan lubang – lubang dalam tatanan massa bangunan.

            Usaha yang dilakukan oleh Suku Maybrat Imian Sawiat untuk mengurangi kelebaban dan mencegah kepulan asap yang mana merupakan sat yang mempengaruhi paru – paru pernapasan, maka yang pertama diperhatikan adalah ventilasi yang berfungsi mengarahkan angin kedalam ruang dan tungku api, yang berfungsi sebagaui tempat pembakaran kayu yang bisa memberi kehangatan pada malam hari yang terasa dingin akibat kelembaban. Walau tidak disadari akan adanya tungku api pada mulanya, yang mana mungkin dipikir hanya sebagai tempat memasak, namun bermanfaat untuk mengusir kedinginan dan kelembaban yaitu dengan membakar api.  

d.      Kenyamanan Thermal Rumah Hunian Suku Maybrat Imian Sawiat.

            Kenyamanan thermal yang dirasakan oleh penghuni rumah tradisional Maybrat Imian Sawiat, dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu : temperature Udara, Kelembaban Udara, kecepatan aliran udara, pengapan asap api, dan radiasi panas. Disamping itu aktivitas yang dilakukan, segala jenis simpanan dan pakain yang dikenakan juga akan berpengaruh. Kondisi udara didalam bangunan dikatakan nyaman (thermal), jika penghuni merasa tidak panas dan tidak dingin, kondisi udara yang dirasakan nyaman mempunyai kombinasi harga – harga tertentu dari temperature, kelembaban dan kecepatan aliran udara.  

B.2. Nilai Bangunan Arsitektur Maybrat Imian Sawiat

            Nilai – nilai yang termuat dalam bangunan rumah tradisional suku Maybrat, Imian, Sawiat, sangat berfariasi, yang mana di bedakan atas dua jenis utama yaitu nilai – nilai yang terkandung dalam bangunan rumah hunian prolog dan nilai – nilai sakral yang termuat dalam bangunan sekolah tradisional / bangunan gereja tradisional (kwin – mbol wofle) sebagai pembanding.

1. Nilai Rumah Hunian

            Telah diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa bentuk bangunan rumah hunian Suku Maybrat, Imian, Sawiat, memiliki satu ruang serbaguna dan teras, maka dapat disimpulkan bahwa rumah hunian Masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, merupakan bangunan rumah hunian yang sederhana, namun memuat beberapa nilai tertentu sebagai mana terurai brikut:

a.      Keakraban

      Dilihat dari pembagian fungsi ruangnya maka dapat dikatakan bahwa manusia Maybrat Imian dan Sawiat memiliki ikatan emosional keluarga yang sangat akrab, yang mana menonjol dalam fungsi ruang.

      Dikatakan rumah hunian tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat terlihat sangat akrab karena segala sesuatu yang dilakukan dalam rumah hunian tidak tersembunyi / terpisahkan, seperti untuk salah satu keluarga melakukan aktifitas yang menyangkut kekeluargaan pribadi harus dalam ruang keluarga yang tidak boleh diketahui orang lain, atau makan di ruang makan, tidur di ruang tidur, masak di ruang dapur, menerima tamu di ruang tamu. Rumah hunian tradisional suku Maybrat Imian Sawiat memiliki teras dan satu ruang yang multi fungsi, yang mana difungsikan sebagai ruang untuk menerima tamu, ruang makan, ruang bermain anak, ruang keluarga, ruang masak, ruang tidur bahkan ruang yang digunakan untuk melakukan berbagai aktifitas yang berkaitan dengan kebutuhan penghuni.

      Pembinaan akan keakraban yang diikatkan pada rumah hunian tradisional tersebut tidak hanya terbatas dalam ruangan rumah belaka, namun kebiasaan tersebut dapat terbawa dalam tali pergaulan hari-hari mereka. Yang mana seperti seseorang yang pernah datang baik itu sekedar berkunjung sebagai sahabat ataupun sebagai seorang famili/ikatan keluarga dekat, akan tetap dianggap sebagai saudara/i.  hal itu akan terasa dan tetap terbawa dalam keberlangsungan pergaulan mereka, karena misalnya ketika seorang sahabat yang dikenal dalam kesulitan dan hendak meminta pertolongan ataupun perlindungan pasti akan diberi perlindungan dan pertolongan sesuai dengan kemampuan mereka.

      Hingga kini masyarakat Suku Maybrat Imian Sawiat sangat menjujung tinggi  persaudaraan tersebut, baik yang di bangun dari turun temurun (old familiars) bahkan pergaulan baru (new familiars).  Untuk ikatan turun temurun old familiars  diperhitungkan dari keturunan keluarga, yaitu diperhitungkan dari keturunan ayah kandung dan ibu kandung, misalkan keturunan dari ayah: Ibu dari ayah (marga karet) mempunyai berapa saudara/i, berapa anak yang di lahirkan oleh masing – masing saudara/I ibu dari ayah tersebut, siapa saja suami/istri mereka dan  apa marga dari masing – masing suami/istri mereka, berapa saudara/I mereka, dan marga apa, siapa nama ayah dan ibu dari suami/istri mereka,  apa marga mereka dan seterusnya, begitupula dari silsilah seorang ibu kandung.

      Bukan hanya ikatan tersebut sebatas mengenal sebagai saudara atau family, namun sebagai ikatan emosional yang mana mampu menghimpun pergaulan mereka dalam menanggulangi segala persoalan yang dihadapi dalam ikatan keluarga mereka. Misalkan anak dari marga Sagrim bertunangan dengan anak dari Marga Nauw, maka mereka yang ikut serta dalam pembayaran harta adalah mereka yang memiliki struktur keturunan dari ayah ibu dari anak laki – laki (Sagrim) yang diperhitungkan mulai dari turun temurun seorang ayah dan ibu kandung hingga moyang mereka akan ikut serta mengambil bagian dalam pembayaran harta/minang tersebut. Begitupula dari pihak perempuan yang dipinangi.

      Tidak hanya sebatas pergaulan familiar internal di wilayah maybrat imian sawiat saja, namun pergaulan tersebut dijadikan sebagai salah satu system pergaulan moderen yang mana kini diterapkan dalam system birokrasi dan relasi kerja mereka. Hal tersebut terlihat begitu kental dalam system birokrasi dan relasi kerja, bisa dikatakan system keluarga, kerabat dan teman.

b.      Sederhana

      Dilihat dari bentuknya, maka arsitektur rumah hunian suku Maybrat Imian Sawiat merupakan bangunan arsitektur hunian yang sederhana, namun memiliki nilai dan norma yang sangat tinggi.

      Arsitektur hunian Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan bangunan sederhana yang mana terlihat tidak begitu rumit dalam proses membangun. Suatu bangunan dikatakan rumit karena memiliki ukiran dan motif yang berfariatif, yang mana menjadi sorotan dalam pembentukkan estetika bangunan.

      Disadari bahwa arsitektur rumah hunian suku Maybrat Imian sawiat tidak begitu memuat ukiran atau ornament – ornament tertentu, namun memiliki fungsi dan nilai tersendiri. Hal inilah yang membedakan antara arsitektur hunian maybrat imian sawiat dengan arsitektur lainnya.

      Kesederhanaan arsitektur rumah hunian suku Maybrat Imian Sawiat tidak hanya dilihat pada wajahnya saja, namun dari pembagian ruangnya yang mana terdiri dari teras dan ruang serbaguna, tidak seperti bangunan hunian moderen yang memiliki ruang tamu, ruang tidur, dapur serta teras. Walau begitu sederhana, namun dalam ungkapan pemiliknya bahwa rumah hinian tersebut memberikan kenyamanan kepada mereka dalam mempertahankan hidup mereka hingga turun – temurun saat ini.

      Disimpulkan bahwa arsitektur hunian Suku Maybrat Imian Sawiat  dibangun hanya memperhatikan fungsinya tanpa memperhatikan ke-Estetikaan, sehingga terlihat begitu sederhana dalam meramu nilai – nilai arsitektural yang dikandungnya.

c.       Terbuka

      Untuk bangunan rumah hunian orang maybrat imian sawiat umumnya tidak tersembunyi seperti rumah persembunyian (benteng pertahanan-- snek) dan rumah sekolah/rumah gereja (kwin – bol wofle). Secara dekat, bangunan rumah hunian orang maybrat imian sawiat memberikan kesan akrab dan terbuka. Hal ini terlihat pada penataan bentuk bangunan yang terlihat polos dengan pembagian ruang yang multifungsi sehingga terkesan akan segala sesuatu yang dilakukan tidak tersembunyi (transparan) atau terbuka untuk dilihat orang sekitar dalam rumah.

2. Nilai Rumah Suci / Rumah Sekolah k’wiyon-mbol wofle

            Pada umumnya bangunan rumah hunian orang Maybrat Imian Sawiat tampak sederhana, terbuka, dan memiliki satu ruang yang multi fungsi serta teras, namun untuk bangunan sekolah tradisional/bangunan rumah suci atau gereja tradisional (kwiyonn – mbol wofle), memiliki perbedaan yang sangat mencolok yaitu :

a.      Sakral

      Bangunan rumah suci / rumah sekolah, merupakan salah satu bangunan khas orang Maybrat Imian Sawiat yang mana dipercaya sebagai bangunan suci (rumah pamali), yang mana hanya diperbolehkan bagi orang – orang tertentu (raa wiyon-na woflw) yang dapat menapakan kakinya didalam ruangan– ruanganya.

      Rumah suci dianggap sebagai bangunan yang sakral, karena didalamnya memuat berbagai macam makna, merupakan areal pendidikan atau tempat pelatihan dan tempat dimana Allah bertahta serta tempat pertemuan antara manusia dan Allah. Tidak diperkenangkan kepada orang – orang yang belum dibaptis atau tidak pernah disekolahkan untuk masuk dan kaum perempuan dilarang melintas disekitarnya.

b.      Tersembunyi

      Untuk rumah hunian orang Maybrat Imian Sawiat berada pada areal terbuka, namun untuk bangunan rumah suci/rumah sekolah sangat bertentangan. Dalam  mendirikan bangunan rumah sekolah ada beberapa aturan – aturan tertentu yang harus diikuti dalam membangun rumah suci / rumah sekolah antara lain adalah; waktu pelaksanaan, jumlah orang dengan criteria – criteria yang dapat mendukung agar boleh untuk membangunnya, bahan – bahan yang digunakan dalam membangun, jenis kayu yang dipakai dalam membangunnya, jenis rotan yang digunakan, upacara dan persembahan – persemabahan.

c.       Tertutup dan Khusus

      Rumah suci / rumah sekolah selain dianggap sebagai bangunan yang sakral, tersembunyi, juga tertutup atau merupakan bangunan yang dipagari sedemikian rapih hingga tak bercela, dengan tujuan agar tidak kelihatan aktifitas pendidikan dan pengajaran dalam rumah suci tersebut.

      Dalam pembagian ruang dan fungsinya, rumah suci / rumah sekolah memiliki aturan – aturan yang sangat mengikat dan sangat tegas, yaitu antara lain : ruang luar merupakan ruang dimana bisa dilintasi oleh orang awam (raa iin), untuk ruang suci tidak bisa di lintasi oleh orang awam (raa iin), yang berhak masuk adalah mereka yang sudah terdidik dalam pendidikan itu (raa win), namun untuk ruang maha suci, tidak diperbolehkan kepada seorang guru biasa dan murid untuk memasukinya namun yang berhak memasuki ruang tersebut adalah guru besar (raa bam), karena pada ruang tersebut dianggap sebagai tempat bertahtanya Allah yang maha kuasa yang mana dianggap sebagai ruang maha suci dan sangat sacral.

            Utnuk rumah hunian orang Maybrat Imian Sawiat tidak begitu rumit untuk dibangun, namun bila dibandingkan dengan rumah suci / rumah sekolah, sangat rumit dan memakan waktu yang begitu lama dengan tukang yang membangunnya adalah orang – orang khusus yang sudah diajarkan khusus untuk membangun rumah tersebut. 
itu dipandang dari segi keuletan dan Kepandaian, maka ada kaitannya dengan kehidupan Sehari – hari orang maybrat imian sawiat yang mana Mengatakan bahwa, dalam menganyam sebuah noken yang bentuknya sedemikian mernarik yang disebut     yu kom, sangat sulit dan tidak semua orang bisa mem           buatnya. Oleh karena itu, mereka yang biasanya dapat menganyam jenis noken yu kom, seringkali dikata kan sebagai orang yang ulet dan pandai. Namun bila dipandang dari segi kebaikan, ada ungkapan orang maybrat imian sawiat mengatakan bahwa dilihat dari bentuk noken tersebut, menggambarkan betapa baiknya orang yang membuat noken tersebut, sebagaimana dalam ungkapan tradisional lingusitnya ‘’oo, finya ro m’ste yu refo fo kbor sneh bau oh’’. Dari ungkapan yang dikatakan tersebut mengandung sebuah pengertian  dan makna yang luar biasa bahwa adanya suatu kehormatan atau suatu penghargaan yang diungkapkan oleh setiap orang ketika melihat akan bentuk estetikanya dan langsung mengatakan bahwa “memang ibu yang membuat noken ini dia sangat hebat”. Pekerjaan membuat noken adalah pekerjaan seorang ibu dan anak perempuan, sedangkan ayah dan anak laki – laki berburu dan berkebun. Bila dipandang dari segi kekompakan, bahwa noken yang terbuat dari bahan kulit kayu yang selanjutnya di olah menjadi bahan yang halus dan membentuk tali atau benang yang mana kira – kira lebarnya 2 – 3 mili dan tebalnya 0.02 mili, mampu dibentuk menjadi satu keutuhan dari sebuah noken yang sangat kuat, hal ini menggambarkan sifat hidup orang – orang maybrat imian sawiat yang selalu kompak dalam menjalankan kehidupan mereka, yaitu kompak dalam menyelesaikan suatu persoalan, kompak dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan kompak dalam menyelesaikan persoalan – persoalan secara bersama – sama. Bila ditinjau dari segi kekuatannya, dari jenis ukuran bahan yang dipakai dalam meramu sebuah noken terlihat kecil dan lucu, namun tali – tali kecil itu mampu memberikan suatu kekuatan tersendiri dimana noken tersebut digunakan dalam memikul beban yang beratnya 5kg, 25kg, 50kg hingga 100kg, namun tidak terputus antara satu urat dengan urat yang lainnya.

Kulit bia biasanya digunakan sebagai alat Bantu untuk memanggil masyarakat dalam melaksanakan sesuatu yang dianggap sangat penting dan terhormat. Misalnya seperti upacara penjemputan, kegiatan ceramah atau kegiatan kampong, memanggil orang ketika ada persoalan yang mendadak. Digunakan untuk memanggil dan memberitahukan orang keluar dari kampong berjauhan, kulit bia dapat menjangkaui jarak panggil 50 km – 70 k. ada beberapa cara kode tiupan  yang dipake dalam meniup kulit bia, yaitu pertama bila ada kunjungan resmi atau upacara resmi dan kegiatan resmi, biasanya menggunakan satu kulit bia saja yang di tiup untuk memanggil masyarakat. Dalam peniupan acara – acara seperti ini, biasa tiupannya teratur, lambat, dan panjang. Namun berbeda dengan jenis tiupan berikut  ini, bilamana ada sesuatu yang terdesaki seperti adanya serangan musuh dari kampong lain atau ada kematian, biasanya kulit bia yang ditiup berjumlah lebih dari satu bergantung banyaknya kulit bia dan orang yang meniupnya. Situasi seperti ini cenderung ditiup dengan cara cepat atau tergesa – gesa dengan tujuan memanggil dengan segera setiap penduduk kampong yang telah keluar ke kebun meninggalkan kampong bahwa ada sesuatu yang berbagaya telah terjadi di kampong.  Dalam bentuk tiupan dan panggilan ini, cenderung membuat orang tergesa – gesa dan bisa meninggalkan kerjanya dengan keadaan terpaksa. 


Bentuk ornament yang berupa ukiran tersebut diukir sedemikian rupa dengan rahang babi atau rusa yang merupakan hasil buruan sehingga tidak meninggalkan nilai – nilainya. Dalam kehidupan sehari – hari orang maybrat imian sawiat, siapa yang memiliki banyak gantungan rahang babi dan rusa yang merupakan hasil buruannya, menunjukkan suatu kehebatan tersendiri bagi keluarga tersebut. Keluarga atau kepala rumah tangga tersebut selalu merupakan orang yang terpandang sebaga pemburu terhebat diantara orang – orang sekitar, dan orang tersebut dikategorikan sebagai orang yang sangat mampu dalam menghidupkan keluarganya, dan ia dikategorikan sebagai orang berwibawa. Rahang babi dikonsepsikan sebagai lambang kebesaran.

 

 

B.3.a. Bentuk pengadopsian dari model jahitan koba – koba am-hatik - Dan  nokenyu (tas) sebagai estetika dan dekorasi

Dalam membentuk estetika pada aliran arsitektur tradisional suku maybrat, suku imian, suku sawiat ini, banyak merupakan hasil pengadopsian dari estetika dari hasil ciptaan orang maybrat, orang imian, orang sawiat, yang mana banyak tersirat makna yang luarbiasa. Berikut jenis atau permodelan aliran yang diadopsi sebagaimana berikut:

penghuni, adalah warna biru, cokelat, hijau, merah, kuning, hitam, dan bentuk – bentuk hewan /plankton juga memiliki jenis yang berbeda dan menakutkan, batu – batua dalam sungai juga menunjukkan wajah yang menseramkan dan suasana sekitar sungai begitu hening dengan gejala yang berdengting menyeramkan, di sebagian sungai kadang memberi perlawanan kepada setiap orang yang ketika pada saat itu datang dengan membawa sesuatu/magic yang mana menimbulkan adanya perlawanan antara alam sekitar dengan alam ghaib/magic tersebut, atau air akan menunjukan murkanya kepada orang yang sebentarlagi akan meninggal, atau orang yang telah diracun atau di santet oleh suanggi. Kejadian tersebut dapat dilihat dapat dilihat dengan kasat mata normal oleh setiap orang dan kejadian semacam ini bukan suatu kejadian yang biasa – biasa saja untuk disaksikan, tetapi bagi orang maybrat, orang imian, orang sawiat, menyaksikan kejadian semacam itu sebagai sesuatu yang mistik dan merupakan kejadian yang melampaui akal pikiran sehat.

Hal ini berkaitan dengan kepuasan manusia dan alam. Dikatakan sebagai kepuasan manusia karena burung yang umumnya memberi bekas seperti ini (ru kawya, ru houf, dalam bhs. Maybrat), selalu dijadikan sebagai patokan bahwa mereka bisa memperoleh telur yang disebut telur maleo dan induknyapun bisa diburu. Selain burung maleo dianggap sebai pelengkap pangan, orang maybrat, imian, sawiat, mempercayai akan adanya suatu esensi yang menurut mereka telah menuntun burung tersebut. Dalam mitos orang maybrat, imian, sawiat, menceriterakan bahwa burung- burung jenis tertentu seperti kawya, houf (burung maleo), wer (burung nuri), kekaya (burung setan), tam (kampret), tekum (burung walet), mbas dan swet (burung cuit), merupakan jenis – jenis burung yang mempunyai penuntun atau burung yang dianggap sangat memberikan berbagai makna yang berkaitan dengan esensi hidup antara manusia dan alam. Alih – alih daripada kekhususan burung – burung ini bagi kehidupan sehari – hari orang maybrat, imian, sawiat, memiliki predikat masing – masing yang tak kalah menariknya yaitu:

  1. burung houf, dan kawya (burung maleo), bagi orang maybrat imian sawiat, burung maleo yang telurnya berwarna merah dan putih dengan ukuran telur yang besar ukuran 3x ayam, dan jenis burung yang besar melebihi ukuran tubuh ayam. Telur maleo biasanya bagi orang maybrat imian sawiat dihargai sebagai suatu nilai tersendiri. Nilai yang ada pada telur maleo ini terlihat ketika diberikan sebagai persentase atau rasa terimakasih yang ditunjukan oleh seorang pemberi kepada penerima atas budi baiknya mungkin karena penerima membantunya dalam berladang, atau membantu mendirikan sebuat rumah, atau menolong pemberi dari kecaman musuh. Bentuk daripada rasa syukur ini sering terjadi hingga saat ini terlihat di perkampungan maybrat imian sawiat, dan kejadian ini dalam bahasa maybrat disebut boren.
  2. Wer (burung nuri), sebagai burung yang dianggap magic oleh orang maybrat, imian, sawiat, terutama kepada mereka yang bermarg/keret klen Safkaur. Dalam ceritera legenda marga Safkaur, mengatakan bahwa burung nuri – wer- merupakan burung penyelamat, dan lambang kekuatan mereka. Hal ini berkaitan dengan kehidupan mula – mula orang maybrat imian sawiat terutama dikhususkan kepada marga Safkaur, bahwa burung ini ketika zaman perang suku, seseorang yang bernama Fneen Safkaur yang mana adalah ahli perang khususnya dalam maraga Safkaur, ia sedang bersiap – siap menghadapi musuh – musuhnya yang berdatangn, ketika pada saat itu juga burung nuri – wer – yang berjumlah 3 ekor beterbangan mendahului musuh – musuh tersebut menuju kepada Fneen Safkaur dengan mengeluarkan suara aneh merupakan ekspresi yang mengatakan bahwa ia (fneen) sedang didatangi oleh musuh. Ketika fneen mendengar suara aneh yang diekspresikan oleh burng nuri, ia langsung menebak berapa jumlah musuh yang datang, ketika itu ia lalu berkata “wah, banyak sekali musuh yang datang, melawan saya seorang diri” atau dalam ucapan bahasa asli maybratnya “wo, bioh fo magin mama oh mefo, refo jyio tesait oh mefo”. Pemikiran tersebut tidak lalu serta merta menutupi akal daripada seorang Fneen, tetapi ketika itu juga, Fneen lalu mengangkat tombaknya dan menombaki ketiga burung tersebut dengan satu tombak, dan ketika itu juga ketiga burung tersebut tertikam sekaligus oleh tombak tersebut. Ketika Fneen berhasil menikam ketiga burung tersebut, ia lalua mengirimnya bersama dengan tombak kepada para musuh yang berdatangan, ketika musuh – musuh itu melihat apa yang dilakukan oleh Fneen, maka timbullah pemikiran oleh ketua perang dan ia berkata “wah, ini burung yang kecil dengan kecepatan terban diudara saja dia sudah membidiknya dan hanya dengan satu tombak dia membidik ketiga burung ini bersamaan? Berarti jikalau kita kesana kita pasti terbunuh semua” dalam bahasa asli maybrat “wo, wer ro m'fru foh mam ayoh u refo ait yame tuuf yie mkah sawia sou a? Tanike anu wefo bmo kbe yame anu skak”. Analisa ini kemudian menjadi pertimbangan yang harus diputuskan pada saat itu, dan akhirnya pemimpin perang memutuskan untuk mereka pulang, karena mereka tidak mungkin mengalahkan Fneen yang menurut mereka dia seorang ahli perang tanpa tandingan.
  3. Kekaya (burung suanggi), merupakan burung yang dalam legenda orang maybrat, imian, sawiat, sebagai burung yang menyampaikan pesan atau informasi atau kode kepada manusia bahwa mereka harus berhati – hati, karena disekelilingnya ada setan/suanggi (kabes).
  4. Tam (burung kampret), biasanya mengeluarkan suara di rumah oknum atau orang yang menjadi target untuk diserang oleh setan/suanggi (kabesfane), sehingga orang tersebut menjadi was – was dan berjaga – jaga dalam melakukan segala aktivitas atau berhati – hati mengawasi keluarga yang pada saat itu sedang mengalami kesakitan atau menderita penyakit yang berat.
  5. Tekum (burung walet). Dalam mitologi kepercayaan orang maybrat imian sawiat, tekum merupakan burung sorga atau burung yang membawa berkat. Misalnya ketika petani sedang berkebun dan ketika itu juga tekum beterbangan dan mengeluarkan suaranya, maka ketika itu juga petani tersebut berkata “berkat besar telah datang dan ladang ini akan berlimpahruah hasilnya” dalam bahasa maybrat “hanyah mase mefo”.

Mbas dan Swet (burung cuit). Keseharian orang maybrat imian sawiat, ketika di tengah semak belukar yang dikelilingi oleh pepohonan besar jika terdengar suara burung cuit (mbas) yang serempak dalam jumlah perkumpulan yang banyak, berarti pada tempat tersebut ada seekor kusu pohon, atau ular yang besar, atau burung yang besar atau kanguru atau hewan – hewan besar lainnya. Yang mana bisa kita temui serta ditangkap. Sedangkan Swet (burung cuit) jenis ini, biasanya membawa pesan atau berita, yaitu dia selalu mendahului orang yang sedang mendekati kita dan mengeluarkan suaranya dengan berlompat – lompat menunjukan atraksi aneh kepada kita (swet mafa dalam bahasa maybrat). Jenis ini diadopsi dalam bentuk jahitan tas dan koba.

 

B.3.b.  Nilai Bangunan Arsitektur Tradisional Dalam Perkembangan Pembangunan

            Dinegara berkembang, sejak dahulu masyarakatnya mempunyai apresiasi tinggi terhadap arsitektur.  herbage tulisan, biku hasil kajian ilmiah, penelitian tentang arsitektur banyak sekali ditulis, diterbitkan, dibaca, dan aliran-alirannya diwujudkan dalam gaya bangunan sebagai kebesaran identitas mereka, tidak hanya oleh para arsitek, tetapi oleh kalangan luas dan herbage lapisan masyarakat. Disbanding dengan daerah lain, propinsi papua yang juga memiliki gaya arsitektur cukup khas yang mana bisa diangkat sebagai kebesaran dan kejayaan bagi orang papua sangat dilupakan.

            Pada bagian ini saya coba mengkaji keberhasilan, kesalahan dan kekurangan yang dilakukan guna mengangkat arsitektur tradisional papua dalam perkembangan pembangunan. Menjadi pelajaran saat ini dan waktu akan dating bahwa pembangunan yang telah dikembangkan sekarnag tidak mengerti kebudayaan dan tidak mencerminkan kepribadian budaya setempat serta tidak begitu mempertahankan identitas arsitektur setiap daerah di papua. Salah satu tolok ukur kemajuan budaya sebuah daerah dilihat dari aliran aristektur yang mana tampil dalam wajah dan fisik bangunan. Kecenderungan masyarakat dan pemerintah dalam mengadopsi gaya – gaya arsitektur luar seperti gaya arsitektur colonial, gaya arsitektur romawi, gaya arsitektur joglo, gaya arsitektur minang, dan.y.l. hal ini membuat arsitektur tradisional setiap suku bangsa di papua terlupakan. Ini merupakan suatu penjajahan kultur yang menindas budaya papua. Dengan semakin dilupakannya aliran – aliran arsitektur tradisional papua, maka ikut pula menghilang kebesaran citra, karsa, dan karya orang papua, karena sebagaimana dalam ungkapan bahasa semboyang arsitektur mengatakan bahwa; “arsitektur adalah gambaran jiwa raga dan roh seseorang”, inilah kebesaran yang terlupakan.

            Dengan demikian, ditekankan bahwa dalam mendisain pembangunan papua yang hormat budaya, maka diharuskan untuk mengangkat dan mengikutsertakan aliran arsitektur tradisional dalam mendirikan sebuah bangunan, kalaupun masyarakat tidak mengembangkannya, sebisamungkin gedung-gedung pemerintah  tiap daerah wajib mengambil gaya dan corak arsitektur tradisional daerah setempat.

            Beberapa bentuk arsitektur tradisional papua yang cukup unik dan menggambarkan kebesaran orang papua seperti; bentuk bangunan rumah Honai, rumah tradisional Enjros tobati, rumah tradisional arfak, dan rumah tradisional harit di maybrat imian sawiat kabupaten sorong selatan. Suatu ungkapan kekesalan kini adalah bahwa daerah-daerah propinsi papua yang memiliki gaya arsitekturnya sendiri ini begitu didominasi oleh bangunan – bangunan dari daerah lain. Hal ini disebabkan karena pemerintah Hindia Belanda lebih awal membangun papua dengan menerapkan aliran arsitektur colonial, sebagaimana hingga saat ini difungsikan sebagai gedung atau perkantoran-perkantoran pemerintah daerah bahkan ada yang dijadikan sebagai rumah hunian masyarakat. Suatu pembunuhan karakter budaya arsitektur papua yang telah dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda di daerah propinsi papua. Dikabupaten Sorong Selatan, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1950, secara brutal membongkar rumah-rumah tradisional yang dibangun oleh orang maybrt imian sawiat sebagai bangunan terhormat seperti rumah sekolah dan gereja (samu k’wiyon-bol wofle), dengan menerapkan larangan-larangan untuk tidak mengembangkan atau membangu bangunan-banguan tersebut kembali. Hal ini membuat orang maybrat imian sawiat kini kehilangan gaya dan aliran arsitektural mereka. Disisilain, pada tahun 1962, pemerintahan indoneisa telah masuk kewilayah papua, yang mana pada waktu itu disebut Irian Jaya dan menetap hingga sekarang dengan penerapan bangunan yang juga tidak mempedulikan aliran arsitektur lokal. Kini aliran arsitektur dari daerah lain yang mendominasi wajah perkotaan di seluruh papua. Persoalannya bukanlah terletak pada kurangnya tenaga-tenaga arsitektur papua, tetapi keinginan daripada pemilik yang mana cenderung menginginkan gaya arsitektur lain ketimbang tidak menyadari akan gaya arsitekturnya yang tampak sederhana, berbobot, bergaya sendiri, dengan segala macam nilai yang terkandung didalamnya.

            Tampak jelas ketika kita berada diberbagai daerah; kabupaten sorong contohnya, gaya arsitektur yang mendominasi diwilayah pesisir sungai remu adalah gaya arsitektur bajo suku bugis, begitupun yang terdapat di pesisir pantai tehit, gaya arsitektur yang tampak mendominasi adalah arsitektur tradisional Bajo, orang bugis. Di jayapura, kini didominasi oleh arsitektur Asia, colonial, dan disisipi dengan gaya arsitektur minang. Dimanokwari, arsitektur arfak juga terlupakan dan kini wajah kota manokwari didominasi oleh aliran arsitektur colonial, asia dan disisipi oleh aliran arsitektur minang.  Didaerah wamena yang gaya arsitektur tradisionalnya yang begitu terkenal di dunia (honai), masih juga tidak begitu diperhatikan, wajah kotanyapu masih terlihat hamparan wajah arsitektur pendatang semua. Merupakan salah satu pengikisan budaya bangsa.

            Arsitektur tradisional setiap daerah di propinsi papua merupakan kebesaran setiap suku bangsa tersebut, karena merupakan hasil ciptaan mereka yang sebenarnya. Proses akulturasi terhadap gaya arsitektur ini membuat orang papua semakin ditelanjangi dengan cara yang dipergunakan oleh penjajah. Dalam refleksi arsitektur tradisional papua yang telah kami analisis, merupakan suatu cara penjajahan terhadap budaya. Selain budaya-budaya lain dibuang, disisi yang lain kekayaan budaya dicuri serta diperdagangkan seperti ukiran, tarian dan corank budaya unik lainnya. Suatu kesimpulan daripada refleksi budaya papua “bahwa orang papua dulu sebelum penjajahan, disini diibaratkan seperti seorang gadis manis yang sedang direbut oleh beberapa orang, setelah ia berhasil direbut, bukan karena cantiknya saja yang menjadi rebutan, tetapi segala perhiasan yang dikenakan disekujur tubuhnya diambil oleh orang yang merebutnya setelah itu  itu busana yang dikenakannyapun dilepaskan satupersatu dan dibuang, kini seorang nona cantik menjadi kehilangan harga dirinya karena semua yang ada padanya sebagai kebesaran telah hilang dan kini dia telanjang sampai-sampai mahkotanya turut diambil, tetapi bersyukur karena ia masih hidup. Walaupun ia masih hidup, dan ia mampu menciptakan busana yang baru, tetapi tidak semuanya dari bahan yang ia miliki tetapi dari bahan-bahan punya orang yang diambil dalam membuat busananya, karena semuanya serba palsu maka nilai dirinya kini berkurang”.

            Suatu penjajahan terhadap arsitektur-arsitektur papua yang sedang berlangsung. Semangat pembangunan yang ditunjukkan adalah semangat yang kami sebut egoisme membangun. Kata egoisme membangun disini saya gunakan karena konsep pembangunannya tidak menghargai apa yang disebut dengan potensi lokal (local potences), konsep pembangunannya begitu tertutup (closely building concept), memikirkan dirinya sendiri (egoism), walaupun ia berada di wilayah kekuasaan budaya lain, akan tetapi tetap menggunakan konsep budaya asing untuk diterapkan. Inilah sesuatu penjajahan budaya yang sedang diterapkan di propinsi papua, yang mana secara sinergis sedang mengikis selain arsitektur, budaya-budaya lainpun ikut terkikis. Arsitektur bagi sejarah manusia merupakan sebuah karya besar dan termasyhur yang pernah dibuat oleh nenekmoyang setiap sukubangsa didunia. Sedangkan bumi sendiri merupakan rumah yang dirancang dan dibangun oleh Tuhan, dan tak ada seorangpun yang mampu menciptakan planet bumi yang lain menyaingi atau melampaui yang diciptakan oleh Tuhan, begitupun ciptaan setiap suku bangsa tidak mungkin sama dan tidak seorang sukubangsapun yang berhak untuk menghilangkanm ciptaan orang lain. Sejarah perkembangan arsitektur suku bangsa di propinsi papua mencakup dimensi ruang dan waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya. Olehkarena itu dalam konsep pembangunan di propinsi papua, seharusnya dikonsepsikan sesuai dengan aliran arsitektur lokal yang ada disetiap daerah yang mendasar pada jenis bangunan dan terkait dengan fungsinya. Dikatakan demikian karena daerah-daerah di propinsi papua dengan konsep dan gaya aliran arsitekturnya selalu mempunyai aturan, makna dan fungsi yaitu; rumah suci, Rumah berkumpul, Rumah hunian, Rumah pendidikan. Sebenarnya Tidak begitu sulit dalam mengembangkan konsep pembangunan sekarang dengan menggunakan aliran arsitektur lokal.

 

B.3.c. Keberhasilan Penerapan Konsep Arsitektur Tradisional Dalam Pembangunan Papua

Suatu keberhasilan konsep arsitektur tradisional papua yang menonjol kerapkali hanya terlihat pada Gapura, ukiran-ukiran dan lukisan dinding. Untuk konsep arsitektur dalam gaya bangunan tidak begitu ditonjolkan atau samasekali tidak dipake dalam konsep pembangunan, walaupun beberapa daerah mampu manampilkan gaya arsitektur mereka seperti gaya arsitektur Enjros sentani yang dikembangkan di kota jayapura, dan honai wamena yang juga dikembangkan di kabupaten wamena, namun tetapi belum sepenuhnya mencapai 100%. Sedangkan didaerah kabupaten lain seperti kabupaten sorong selatan tidak pernah menampilkan gaya arsitektur harit, dan kabupaten manokwari dengan gaya arsitektur arfaknya tidak terlihat wajahnya di dalam konsep pembangunan.

            Di Wamena dan Jayapura telah berhasil dengan menampilkan wujud arsitektur tradisionalnya Karena ada kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung. Sedang didaerah lainnya, kecenderungan dengan prinsip egoisme pembangunan dengan gaya moderen sangat mendominasi, akhirnya nilai-nilai yang ada didaerah setempat terlupakan dan hilang dengan sendirinya.

            Bila dipandang dari konsep arsitekturnya, papua akan dikatakan sebagai daerah dengan keberhasilan membangun sendiri jikalau konsep aliran arsitektur yang dipakai dalam pembangunan dengan menggunakan konsep arsitektur tradisional. Karena disinilah papua akan terkenal dengan kebhinekaan gaya arsitektur tradisionalnya, papua akan disebut sebgai sebuah bangsa yang berjaya yang mana kejayaannya ditunjukkan melalui aliran-aliran arsitekturalnya.

 

 

 

B.3.d. Ketidak berhasilan Konsep Pembangunan Tanpa Arsitektur Tradisional

Bilamana kita berbicara mengenai konsep, maka kita berbicara tentang arah, kebijakan, cara, metode, yang ditampilkan dalam mengembangkan sesuatu ide yang dikonsepsikan. Berkaitan dengan konsep pembangunan, setiap manusia atau kelompok dan sukubangsa mempunyai metode atau konsepnya masing-masing dan berbeda, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang ada. Suatu kesalahan dalam konsepsi pembangunan yang seringkali ditemukan saat ini adalah, konsep pembangunan tanpa arsitektur lokal. Setiap suku bangsa di Papua mempunyai aliran atau gaya bangunan arsitekturalnya yang unik, akan tetapi seringkali ketika dalam konsep pembangunan, aliran arsitektur tradisional ini tidak diingat (terlupakan) atau tidak dimunculkan dalam proses pembangunan. Padahal ketika kita berbicara mengenai arsitektur tradisional, kita telah berbicara tentang suatu jatidiri, idealisme, citra, rasa, karya, karsa suatu bangsa karena arsitektur tradisional adalah bagian dari kebudayaan manusia, berkaitan dengan berbagai segi kehidupan seperti; seni, teknik, ruang/tata ruang, religi.

            Perkembangan konsep pembangunan daerah saat ini cenderung mengesampingkan gaya arsitektur lokal (setempat) yang bila dikembangkan, mampu mengangkat kebesaran nama suatu daerah yang akan dikenal dan berjaya. Misalnya arsitektur Joglo, arsitektur Honai, arsitektur colonial, arsitektur bizantum, arsitektur minang, arsitketur fengsui, arsitektur halit-mbol chalit, sudah ada di wilayahnya masing-masing sejak zaman keberadaan nenek moyangnya, dan berkembang bersama-sama dalam kehidupan mereka.

            Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga arsitektur tradiaionl menjadi terlupakan adalah:

1.      pengaruh aliran arsitektur luar dengan gaya, estetika dan bentuk yang moderen.

2.      keinginan pemilik bangunan rumah yang cenderung menginginkan bentuk arsitektur model aliran lain.

3.      Pemerintah setempat tidak fasih dalam mengembangkan suatu konsep pembangunan dengan menggali kearifan lokal, sehingga arsitektur tradisional tidak dapat diperhatikan.

4.       Tenaga perancang dan ahli-ahli arsitektur yang tidak jeli dalam mengangkat aliran arsitektur tradisional untuk menterjemahkannya dalam bentuk moderen, sehingga arsitektur lokal tetap tersembunyi/hanya dalam bayang-bayang tradisional saja.

 

 

BAB V

REKOMENDASI

 

 

A.    KESIMPULAN

            Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

A.1. Bentuk Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat yang mempengaruhi kenyamanan thermal dalam bangunan

            Rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat pada dasarnya adalah merupakan bangunan tradisional dan sistem bentuk / tampilannya telah diatur dalam suatu kaidah yang dikenal dengan budaya Appabolang.

            Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada enam rumah tradisional maybrat imian sawiat, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk arsitektur rumah Maybrat Imian Sawiat turut mempengaruhi kenyamanan thermal dalam bangunan, walupun sebenarnya pemikiran mengenai kenyamanan lebih banyak merupakan suatu unsur sampingan yang timbul secara tidak sengaja dari konsep penyesuaian diri terhadap kerasnya suhu di wilayah Maybrat Imian Sawiat dalam menciptakan kenyamanan thermal pada ruang dalam bangunan. Selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.      Lokasi

Lokasi yang diperoleh suku Maybrat Imian Sawiat dalam mendirikan rumahnya adalah mengikuti alur perbukitan, jalur jalan dan aliran sungai bagi yang di dataran gunung, sedangkan daerah pesisir memilih mengikuti garis pantai dan terpancar dengan pola perletakan di darat, diperalihan darat dan perairan serta diperariran laut.

      Ketiga lokasi pengelompokan hunian tersebut masih berada diwilayah yang berhubungan langsung dengan hutan dan pesisir pantai, sehingga masih sangat dipengaruhi oleh angin kencang, kelembaban yang tinggi, korosi, dan pasang surut laut khususnya untuk rumah yang berdiri diatas perairan laut dan peralihan darat serta perairan.

 

 

 

b.      Orientasi

Orientasi bangunan hunian di wilayah permukiman suku Maybrat Imian Sawiat merupakan penjewantahan dan hal – hal yang mendorong bersifat ancaman dan mistis. Fasade rumah harus menghadap jalan  (sarana penghubung/kontrak sosial) sebagai tanda kehormatan dan kesopanan, begitu pula pada rumah yang berhubungan dengan laut, fasade harus menghadap ke laut sebagai keselamatan.

      Unsur iklim seperti arah angin dan posisi lintasan matahari tidak menjadi pertimbangan. Dari hasil analisis, Rumah Tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat yang berada pada orientasi timur – barat, sangat menguntungkan karena sisi yang paling banyak kena sinar matahari adalah sisi pendek bangunan. Pergerakan angin dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin karena sisi tinggi bangunan tegak  lurus dengan arah angin. Orientasi ini secara tidak disadari turut mewujudkan kenyamanan thermal yang diperlukan. Sedangkan untuk rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat yang berorientasi utara – selatan, sisi yang paling banyak terkena sinar matahari adalah sisi panjang. Hal ini tentunya kurang menguntungkan karena dapat menjadi sumbangan panas dalam bangunan.

 

c.        Bentuk dan Denah

Suku Maybrat Imian Sawiat dalam menentukan ukuran / dimensi bangunan, menggunakan teori kira – kira, kadang menggunakan ukuran tubuh manusia (jengkal), namun untuk ukuran tinggi bangunan biasanya disesuaikan dengan ukuran panjang pendeknya bahan konstruksi.

      Bentuk denah yang tercipta dari ukuran – ukuran tersebut adalah suatu bentuk dengan yang bersegi empat pipih, sehingga memungkinkan untuk diterapkan system cross ventilase dan pemanfaatan cahaya matahari sebagai pencahayaan alami, serta pembuangan kepulan asap. Rumah dengan bentuk denah seperti ini cocok untuk daerah yang beriklim lembab.

      Rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat berbentuk rumah panggung yang memiliki kaki, badan dan kepala sebagai konsekwensi dari aturan budaya Appabolang. Kaki harus ditinggikan dari permukaan tanah karena kondisi memungkinkan untuk mengantisipasi pengaruh eksternal yang terjadi. Kaki/tiang dilengkapi dengan palang /penyangga (katar) supaya tiang tidak cepat rusak/lapuk apabila bersentuhan dengan tanah. Badan rumah sebagai penghidupan sejati yang harus dilindungi dari alam luar yang jahat, sehingga ditempatkan di posisi tengah. Hal ini tentu saja untuk melindungi ruang – ruang aktivitas keluarga dari radiasi matahari, angin kencang, hujan dan pasang surut air laut. Kepala / atap, harus ditinggikan yaitu tidak boleh kurang dari manusia. Kondisi ini tentu bermanfaat untuk menetralisir suhu panas yang ada didalam ruang.

 

d.      Atap dan Dinding

Atap bagi suku Maybrat Imian Sawiat berfungsi untuk melindungi bangunan dari panas matahari dan kebasahan hujan.

      Dinding sebagai kulit bangunan yang senagtiasa harus manjadi pelindung terhadap radiasi matahari, hempasan air hujan, kelembaban dan angina kencang dari luar. Pada rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat dengan penggunaan dinding bangunan dari kulit kayu, gaba – gaba, papan kayu, diketahui mempunyai time lag kecil, sehingga panas yang ada langsung diterima dan dipancarkan untuk itu dinding banguan harus senangtiasa terbayangi/terlindungi dari sinar matahari langsung.

 

e.       Overstek / Pelindung

Rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat rata – rata tidak menggunakan overstek, padahal untuk rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat, overstek atau pelindung sangat dibutuhkan setiap sisi  bangunan untuk melindungi dinding terutama dari sinar matahari langsung, mengingat bahan dinding yang digunakan dari papan kayu, kulit kayu, dan gaba – gaba dengan time lag yang kecil.

 

f.        Material dan Warna

Pemilihan material atap pada rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat rata – rata menggunakan atap daun sagu, daun rumbino dan seng. Penggunaan daun sangat baik untuk merendam pengaruh radiasi matahari karena tidak menyerap panas, bahkan mempunyai pengudaraan yang baik. Atap daun dapat merefleksikan panas antara 20% - 23% sedangkan kekurangan penggunaan atap daun mengakibatkan kemudahan untuk terserang hama dan serangga. Namun pada daerah pesisir pantai Tehit, Sorong Selatan, yang memiliki kadar garam tinggi, hama atau serangga perusak tidak dapat berkembang sehingga atap daun sangat menguntungkan terutama untuk mengusir kelembaban dan mengurangi panas yang ada dalam ruang.

Disisi lain, pengguna atap seng di daerah pantai kurang tepat karena kadar garam yang tinggi dapat menyebabkan korosi, sehingga atap seng mudah rusak. Penggunaan atap seng bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat, disamping karena pertimbangan konstruksi yang ringan, juga terhadap kebiasaan menampung air hujan untuk keperluan sehari-hari. Air hujan dari cucuran atap seng lebih jernih dan lebih bersih dibanding atap daun. Atap seng dapat merefleksi 90% - 70% akibat radiasi matahari. Pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, atap seng rata-rata tidak diberi warna. Dengan demikian maka atap seng cepat merefleksi panas sekitar 45% - 25% sehingga terasa cepat panas, yang mengakibatkan pengaruh pada kondisi konfort di dalam ruangan. Untuk itu dapat diantisipasi dengan pemasangan plafond dan bukaan jendela yang cukup. Disamping itu, bahwa atap seng mudah terjadi kondensasi khususnya dipagi hari. Untuk itu, konstruksi kayu yang ada dibawah harus terlindungi benar dari kelembaban. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian cat atau ter dan harus bisa bernafas artinya hawa udara senantiasa mengalir berputar dibawahnya. Pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat dikataka telah merespons terhadap kondisi ini.

      Sedangkan untuk elemen bangunan lain umumnya menggunakan material dari Kayu sebagai struktur dan tali sebagai pengikat. Material kayu diketahui mempunyai kemampuan pemantulan sekitar 60% - 40%.

 

g.      Pola Penataan Hunian.

Pola penataan hunian dipermukaan wilayah hunian Maybrat, Imian, Sawiat, ini mengikuti lereng perbukitan bagi wilayah perbukitan, dan mengikuti pesisir pantai bagi wilayah pesisir atau ini bisa dikatakan bahwa masih semrawut dan tidak teratur. Tentusaja kondisi ini dapat mempengaruhi tinggi rendahnya temperatur lingkungannya.

      Pada rumah halit yang diteliti, setiap rumah di wilayah pegunungan lereng, tidak memperhatikan jarak ruamah antara satu dengan yang lain tetapi bergantung pada pemilihan lokasi, karena dipengaruhi oleh lereng, bukit dan tebing sehingga lokasi sebagai ukuran utama penempatan bangunan. Sedangkan di wilayah pesisir pantai, memperhatikan perbandingan yang seimbang antara luas lahan dan luas bangunan. Hal ini tentunya dapat menjadi pendukung yang baik untuk mengontrol arah angin dan memanfaatkannya untuk mengusir kelembaban dan panas dalam ruang.

 

A.2. Pengaruh Iklim Terhadap Kenyamanan Thermal Rumah Tinggal Suku Maybrat, Imian, Sawiat.

Berdasarkan analisis dari hasil pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan hunian suku Maybrat, Imian, Sawiat, beserta lingkungan dan budayanya telah dapat merespon terhadap pengaruh iklim tropis untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunannya sebagai berikut:

a.      Pengaruh Sinar Matahari

Untuk menghindari sinar matahari langsung masuk ke dalam bangunan, maka dianjurkan untuk memakai pelindung dari atap dan dinding. Namun dari hasil analisis dengan menggunakan susunan path diagram, kulit yang ada belum cukup untuk melindungi kulit bangunan dari sinar radiasi matahari. Sehingga masih membutuhkan pematah sinar matahari dengan panjang tentunya. Sedangkan pemanfaatan cahaya matahari untuk pencahayaan alami pada tiap rumah halit, hampir seluruhnya berfungsi dengan ketentuan bahwa setiap ruang yang ada harus diberi lubang 2m-2,8m lubang bukaan/jendela. Sementara dindingnya dari bahan kayu, dan kulit kayu, yang mempunyai celah. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang sisi bangunannya berorientasi pada utara selatan, pemanfaatan cahaya alaminya memenuhi persyaratan besar intensitas cahaya yang dianjurkan. Sedangkan rumah yang sisi panjang bangunannya berorientasi timur barat, pada jam 12.00 dan jam 14.00 nilai intensitas cahayanya berada diatas ambang persyaratan maksimal. Jadi pada jam-jam ini terjadi discomfort.

b.      Pengaruh Temperatur Udara.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa rentang temperatur yang terjadi pada rumah di daratan dan di peralihan, rata-rata tinggi. Sedangkan rumah perairan laut menunjukkan kondisi temperatur yang berkisar sedang ke rendah. Hal ini disebabkan karena dibidang daratan lebih panas dua kali lebih cepat dari pada bidang air pada luas yang sama, dan bidang air kehilangan sebagian energi panasnya karena penguapan. Disamping itu pola peletakan hunian diperalihan yang cenderung padat tidak teratur menjadi penghambat aliran angin untuk mencapai jendela/bukaan, sehingga perannya untuk menurunkan temperatur udara sangat kecil.

 

c.       Pengaruh Hujan dan Kelembaban

Terhadap pengaruh hujan diatasi dengan pembentukan atap yang memadai. Hal ini tentunya untuk mempercepat turunnya air hujan dari atap supaya tidak merembes masuk kedalam rumah, disampin untuk ditampung sebagai persediaan air bersih sehari-hari (khsus wilayah pesisir laut). Namun pada hunian perkampungan di Maybrat, Imian, Sawiat, umumnya dibangun dengan bentuk atap pelana dengan sudut jatuh suram menutupi sebagian badan/dinding rumah sehingga pengaruh hempasan hujan untuk menembus dinding dapat terlindungi.

d.      Pengaruh Pergerakan Udara

Kecepatan gerak udara sangat penting dalam usaha menciptakan suatu nilai kenyamanan. Bila dilihat dari bentuknya maka perlu ditambahkan bukaan/jendela disetiap rumah hunian suku Maybrat, Imian, Sawiat, sehingga cukup memenuhi kriteria kenyamanan, karena dengan bukaan yang ada bisa memanfaatkan udara sebagai penghawaan alami. Namun pemanfaatan aliran angin melalui penempatan bukaan pada posisi yang tepat, belum seluruhnya tercapai pada setiap rumah pesisir untuk kecepatan angin 0,1m/det dengan arah angin miring terhadap lubang, bila bukaannya miring maka belum memenuhi persyaratan, untuk kegiatan keluarga. Hal ini disebabkan karena perletakannya berada pada daerah peralihan daratan dan perairan. Pergerakan udara didaerah peralihan daratan dan perairan ini diketahui rata-rata 2-3, 1 km/jam. Sedangkan untuk didaratan/pegunungan, pergerakan udara rata-rata 3,1 km/jam dan untuk diperairan laut rata-rata 5.3 km/jam. Kecepatan udara diperalihan relatif kecil karena pola perletakan huniannya cenderung pada dan tidak teratur, sehingga pergerakan udara terhalang ke bangunan.

e.       Kenyamanan Thermal Rumah Halit

Kondisi udara yang dirasakan nyaan mempunyai kombinasi dan temperatur kelembaban, dan kecepatan angin. Kondisi tiap rumah Halit dalam sehari berada pada kondisi nyaman optimal menurut kekondisian hangat kondisi nyaman optimal pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat disimpulkan berdasarkan pola perletakan hunian sebagai berikut.

·         Untuk perletakan hunian di daratan gunung. Kondisi kenyamanan optimal rata-rata terjadi pada jam 18.00 – 08.00 pagi. Sedangkan pada jam 10.00 – 16.00 sore beradadalam kondisi  hangat.

·         Untuk perletakan hunian di peralihan darat dan perairan laut. Kondisi nyaman optimal rata-rata hanya terjadi pada jam 01.00 – 16.00 sore berada dalam kondisi hangat.

·         Untuk perletakan hunian di perairan laut pada jam 18.00 – 08.00 pagi. Sedangkan pada jam 10.00 – 16.00 sore berada dalam kondisi hangat.

Kondisi kenyaanan didarat dan diperairan laut sebenarnya kurang lebih hampir sama. Hal ini disebabkan karena kelembaban di perairan laut lebih tinggi daripada didarat. Sedangkan rentang temperatur berlaku sebaliknya, sehingga kondisi yang ditunjukkan dalam diagram olgyay berada dalam kondisi tidak nyaman dan masih perlu ditoeransi dengan tambahan angin sekitar 0,5 – 1,5 m/det. Sedangkan untuk hunian yang berada di peralihan darat dan perairan laut masih membutuhkan tambahan angin sekitar 1,5-1,3 m/det.

 

B.     USULAN KONSEP DAN REKOMENDASI

1.      Budaya Appabolang sebagai pedoman untuk medirikan rumah halit-mbol chalit, bukan suatu aturan yang kaku, tetapi tetap berkembang mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, bentuk dan tampilan rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, sebagai hasil budaya Appabolang dapat diadaptasikan dengan menambahkan aspek-aspek perancangan yang merespon terhadap lingkungan alam tropis.  Dengan demikian, selain aspek teknis dan aspek kesehatan dapat lebih memenuhi persyaratan dan aspek sosial budaya masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, dapat sesuai dan diterima.

2.      Terhadap iklim, disarankan:

a.       Untuk mengurangi radiasi matahari terhadap atap bangunan dan mengurangi efek silau, penggunaan atap seng sebaiknya dilapisi dengan cat warna kemerahan (dapat merefleksi panas 35%). Atau dengan menggunakan genteng asbes untuk manggantikan seng. Karena genteng asbes selain tidak mudah berkarat, konstruksinya ringan, mudah dipasang, cukup murah, dan tidak perlu khawatir terhadap proses pembusukan seperti atap daun. Untuk mengurangi silau akibat pantulan air laut dan terang langit, dapat diatasi dengan pembuatan pematah matahari, selain itu digunakan untuk perlindungan dan pengaruh hujan. Panjang pematah sinar matahari disarankan adalah sepanjang 1,2 m – 2 m dengan bentuk yang sesuai dengan jendela dan kemiringan atap.

b.      Perlu ada pemberian jarak pada bangunan untuk mendapatkan keteraturan tata letak bangunan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan efek pengaliran udara yang baik pada lorong-lorong antar rumah, serta untuk menurunkan kondisi kelembaban yang sangat tinggi. Pola tata letak bangunan yang disarankan adalah berbaris membentuk grid, supaya angin dapat  dengan leluasa mencapai bangunan. Angin yang bertiup sangat kencang tentu saja akan menjadi masalah. Jadi perlu ada usaha untuk mengendalikannya. Misalnya dengan penahan-penahan angin seperti defletor-defletor yang membelokkan arah angin menurut yang kita kehendaki dan bahkan dapat dimanfaatkan terutama untuk mengusir kelembaban yang sangat tinggi. Solusi tepat untuk menjembatani antara tiupan angin kencang yang sering terjadi di pantai dan di lain pihak kebutuhan akan gerakan udara untuk mengusir tingkat kelembaban yang sangat tinggi. Perlu juga diperhatikan mengenai pemanfaatan vegetasi yang dapat tumbuh di wilayah pesisir pantai seperti pohon bakau, pohon palm, dan lain-lain sebagai klimatologi kontrol, juga dapat memberi nilai estetika.

c.       Pada prinsipnya pembangunan rumah diatas tiang-tiang (rumah panggung) adalah suatu keputusan yang cukup bijaksana, apalagi bila bediri diwilayah pesisir pantai dengan kondisi alam yang sangat keras. Disamping itu, pemakaian konstruksi ini telah terbukti dapat mencapai suatu nilai kenyamanan yang diinginkan apabila ditangani dengan cerdas. Untuk itu pada penelitian selanjutnya perlu dipikirkan suatu aspek penanganan baik dan  segi perencanaan maupun perancangan. Sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi. Tentunya untuk mendapatkan manfaat semaksimal mungkin sehingga warisan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita tidak punah, bahkan akan menampilkan jati diri bagi perkembangan arsitektur di Indonesia.

d.      Selain itu, untuk menghindari kelembaban dan memberikan kehangatan dalam ruang, dianjurkan untuk setiap bukaan-bukaan, overstek, ventilasi perlu dilapisi dengan senat (semacam anyaman dari kulit pelepah sagu). Karena menurut penelitian kami, senat mampu mengembalikan suhu yang hangat pada ruang thermal yang dingin dalam waktu ± 2 jam untuk ukuran bangunan 7-10 meter persegi.

B.1.Usulan Konsep Menciptakan Bentuk Arsitektur  Maybrat, Imian,  Sawiat -Rekomendasi

Berdasarkan Uraian hasil Penelitian dan pengujian kenyamanan thermal ruang dalam bangunan serta perkembangan Rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dalam kehidupan sosial budaya, maka diciptakanlah bentuk arsitektur halit-mbol chalit yang sedikit adaptif dengan tuntutan kelayakan rumah sehat tanpa melepaskan nilai arsitekturalnya.


 







Struktur bentuk redesign kepala ornament dari tradisional menjadi bentuk moderen. Jenis ornament tersebut adalah rahang Babi dan Rahang Rusa, yang selanjutnya dikembangkan menjadi bentuk moderen dengan mempertahankan bentuknya sebagai dasar aliran. Untuk bentuk moderen telah dimodifikasikan sedemikian sehingga tampaklah suatu nilai estetika, dan karena pertimbangan estetika maka dibentukkan sedemikian. Nilai yang terkandung pada ornament ini adalah kebesaran seseorang.

Bentuk pengadopsian sisa kayu yang diambil dari kepala burung kakatua putih yang diadopsikan menjadi ornament pada bangunan arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat.


   KAMUS

 

 

A

Aám : Koba-Koba, Payung tradisional hasil Teknologi Sederhana Orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang dibuat dari bahan Daun Pandanus dan tali. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Aban : Ular. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Afỉ :  Atap, Penutup rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ain : Tifa. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Aken : Perahu, Kole-kole, Sampang. Dalam sebutan bahasa lokal suku May ithe – Maybrat.

Anu : Kamu, Kalian. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Appabolang : Budaya yang lahir berdasarkan kebutuhan, adat istiadat dan pengaruh lingkungan. Istilah antropologi.

Ara : Kayu, Pohon, Pepohonan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ayamaru : Nama Sebuah Distrik yang didiami oleh Sub Suku Bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah Maybrat dan May Ithe, Letaknya di bagian kepala burung Pulau Papua, dan termasuk kabupaten Maybrat (Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku Bangsa ini merupakan Sub Suku dari Suku bangsa Bonberai.

Aitinyo : Nama sebuah Distrik yang didiami oleh sub suku bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah May Ithe dan May Maka. Letaknya di bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten Maybrat (Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari Sub Suku bangsa Maybrat, Suku Bangsa Bonberai.

Aifat   : Nama Sebuah Distrik yang didiami oleh Sub Suku Bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah May Maka dan Meyah. Letaknya di bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten Maybrat (Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari sub suku Bangsa Maybrat, Suku Bangsa Bonberai.

Ait :  Dia Laki-laki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Al-Quran : Kitab Suci Umat Muslim.

Apologi : Pengampunan. Dalam istilah Teologia Kristen.

Ara : Kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ara magỉ : Ampas Kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ara Mair : Bandar Pohon. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ara Malák : Kulit Kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ara So : Cabang Kayu yang berbentuk Y biasa digunakan untuk Kolum Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Asẽr : Tiang utama Penyangga Tungku api. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ayá :  Air, Sungai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Aya Maám :  Tepian Sungai, Pesisir Sungai/Laut, Pinggiran sungai/laut. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

B

Bakit :  Sebutan Kepada Wanita Muda. Dalam bahasa lokal suku Maybrat.

Bám : Kapak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Barit : Tangga. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Beta : Semua, Keseluruhan, Tak satupun. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Biblikal : Berkaitan dengan Alkitab.

Bofan : Upacara Penamaan, Tata cara pemberian nama dalam tradisi orang Maybrat, Imian, Sawiat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bo tohỏ : Hal yang Baru, Mujizat, Kejadian Baru, Sesuatu yang baru, Pengalaman baru. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bobot : Bangsawan, Kaum borjuis, Keturunan Berdarah biru, Keturunan Ningrat. Dalam bahasa lokal suku Maybrat.

Bogonjong do : Arsitektur tradisional Sumatera Barat Indonesia

Bohrá : Halaman Rumah, Kintal disekeliling Rumah, Pekarangan Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bohlát : Pembayaran Denda. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bohra Mnẽ : Halaman Luar, Kintal diluar rumah, Pekarangan diluar rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bomit : Tempat Persembunyian berupa bangunan rumah, maupun Gua-gua. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bomná : Ceritera Rakyat, Sejarah, Kisah ceritera. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bonberai : Sebutan Nama Suku Besar utama yang mendiami Pulau Papua. Suku Bangsa ini mendiami bagian kepala burung hingga leher pulau Papua. Menurut klasifikasi filum bahasa yang diklasifikasikan oleh ahli antropologi dan ahli linguistik 1982.

Bonout : Pemikiran, isi hati, Perasaan, Rencana, Tujuan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bo kaỉn :  Tali yang digunakan untuk menjahit dari bahan serat Kulit kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Botgif : Firman, Kata-kata Nujum, Kata-kata santet, Kata-kata Mantra. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bonout aro hahayah : Pemikiran yang berbeda, Ide lain, Pemikiran lain, Rencana lain. Dalam Sebutan Bahasa lokal suku Maybrat.

Bo Ro Nnoủt : Barang yang diingat, Hal-hal yang diingat, Pemikiran, Daya Khayal, Imajinasi, Rencana. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bo snyuk : Hal khusus, Rahasia, Berkaitan dengan Kausal, Sumpah Pribadi, Janji Khusus. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Boyi : Pembayaran Maskawin. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Brỏn : Bambu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

B’sioh : Tarian Tradisional suku Maybrat, Imian, Sawiat, Tari Ular, Tumbu Tanah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Bta-Btá : Palem Hutan yang membentuk pohon Pinang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

C

Cekokan : Tekanan atau ide – ide dari pihak lain

Chlen : Burung. Dalam sebutan bahasa lokal Suku Sawiat, Imian.

Comvergence : Satuan Gelombang yang berpusat pada satu titik. Dalam istilah Ilmu Geografi.  

D

DAS : Daerah Aliran Sungai. Dalam istilah Ilmu Geografi.

Divergence : Penyebaran Gelombang ketika mendekati semenanjung. Dalam istilah Ilmu Geografi.

Dogmatic : Semacam Doktrin Iman.  

E

Ex Nihilo : Berkaitan dengan Kekosongan, Ketiadaan, Penjadian.

F

Farokh :  Selokhi, Mangkuk, Tempayan Minuman yang diraut dari kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mfẽ : tidak, belum, tidak ada, belum ada. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Fetỏ : Begitu, sedemikian, seperti begitulah. Dalam sebutan bahasa lokal Maybrat.

Fijoh Malák : Kulit kayu dari Pohon dalam bahasa lokal disebut Fijoh atau termasuk keluarga “Cofasuss SP”

Finyá : Perempuan, Wanita, (kata ini bisa sebagai kata ganti menunjukkan orang tunggal dan jamak). Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Finya Mabe : Ibu Melahirkan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Finya Mgiár : Pendidikan Tradisional Orang Maybrat, Imian, Sawiat, pada zaman Prasejarah yang Khusus untuk Wanita.

Flet bo : Berfilsafat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Fra Habáh : Pecahan Batu, Bagian Lain dari Batu yang dipecahkan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Fra Mán :  Batu Tajam, Bagian Batu yang Tajam. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

G

Ginyáh : Kecil, bayi, anak-anak, masih muda, belum cukup umur. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Gitaut : Cawat, Cedaku, Busana Tradisional orang Maybrat, Imian, Sawiat, mula-mula yang terbuat dari kulit kayu kemudian digantikan dengan Kain. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Gu ano : Sebutan Kepada Wanita bujang. Dalam sebutan bahasa Maybrat fersi May Maka.

Gu mbỉt : Pusat/Pusar Bayi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

H

Habán : Kalung, Manik. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Hafot : Tiang Pancang, Tiang dengan Ompak, Koloum Induk, dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Halelem :  Pohon/Kayu yang serat kulitnya digunakan sebagai tali/benang dalam meramu noken dan payung tradisional. Dalam sebutan bahasa tradisional suku Maybrat.

Halit Myi : Rumah gantung atau Rumah yang dibangun dengan ukuran tinggi bahkan ada yang dibangun diatas pohon yang rindang dan tinggi. Sebutan dalam bahasa lokal suku Maybrat.

Halit Wyán : Rumah Kebun. Atau bangunan rumah yang khusus dibangun hanya di kebun yang fungsinya sebagai tempat menginap pemilik kebun. Dalam sebutan bahasa suku Maybrat.

Hafot : Kolum. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Hafot Ra Matẽ : Kolum Cincang. Kayu yang dicincang oleh para tukang bangunan sebagai kolum bangunan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Hafot Ra Matỉ : Kolum yang ditanam. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Hatik : Koba-koba, Payung tradisional hasil teknologi sederhana Orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang dibuat dari bahan daun Pandanus dan Tali. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian, Tehit.

Hita gát :  Daun Kering. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Hlambra : Parang Kuno yang dibuat dari bahan logam yang didagangkan dari daerah dongsong Vietnam Utara, dianggap sebagai Parang Pusaka dan  digunakan sebagai perlengkapan upacara ritual/adat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Homiletik : Pola Pendidikan Berasrama, Tertutup. Dalam istilah Teologia Kristen.

Honai : Arsitektur Tradisional suku Dani Papua Indonesia

Hrỉ : Dinding Bangunan dari Kulit Kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat

I

Imian : Nama sebuah Anak Suku dari Sub Suku Bangsa Tehit, Suku Bangsa Bonberai. Suku ini mendiami daerah Imian. Kabupaten Sorong Selatan. Letaknya dibagian Selatan Kabupaten Sorong dan dibagian Barat kabupaten Sorong Selatan.

irỏ : Dosa. Dalam Sebutan Bahasa lokal suku Maybrat.

Isỉt : Teras Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Isrá : Gua, Lubang batu, Tempat yang Berbentuk ceruk-ceruk oleh batu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Istỉ : Hukum adat/komunual orang Maybrat, Imian, Sawiat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

J

Joglo : Arsitektur Rumah tradisional   jawa indonesia

K

Kaỉn : Penutup Atap yang diambil dari sejenis Tumbuhan Pandanus SP. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Kajang : Rumah diatas Perahu. Istilah yang diberikan oleh ahli antropologi asal Belanda dan Swedia 1950-an, yang menyebutkan bahwa perahu nelayan di pulau New Guinea yang dibagian atasnya dibangun rumah disebut perahu kajang/khanjang.

Katár : Balok Pemikul. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Katektik : Pelajaran, Ajaran Injil, Firman. Dalam istilah Teologi Kristen.

Kayah Hafỏt : Lubang yang digali untuk mendirikan kolum. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Kbe : nanti akan terjadi/tidak terjadi, nanti akan datang/tidak datang dll. Menunjukkan hal yang akan dan tidak akan terjadi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Krẽ : Palang, Batasan, Tutupan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Kre Finyẽ : Palang/Batas Wanita. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Kre Ra Smẽ : Palang/Batas Pria. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Krirás : Didinding Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Krombỉ : Sejenis Musik tradisional Suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang bentuknya seperti Biola dengan alat gesek/dawai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Koti : Menjemur, Mengeringkan, Mengawetkan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Kukek : Anak-anak, orang muda, bayi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Kusia Habáh : Pecahan Botol, Beling, Pecahan Kaca. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

M

Mafir Hrỉ : Membuat dinding, Memasang dinding dengan bahan kulit kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Makah : Membawa, Mengantarkan Sesuatu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mama : Mereka sedang Datang/Menuju kita, Dia Perempuan Datang/menuju kita. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mamủr : Gelap Gulita. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Maná : Kepala Wanita, Kepala Hewan, Bagian depan (Kendaraan, Perahu, Kapal). Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mato/ỏ : Ruang Dalam, Pintu, bolong, lubang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Masủf : Tengah, Pertengahan, Ditengah-tengah, Sentral, Pusat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mase/ẽ : Besar, Banyak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Massive Man : Orang yang hidupnya suka berperang. Orang yang masinh hidup pada zaman batu. Lihat kamus ilmiah populer fersi inggris.

Mati hafỏt : Menanam Tiang Kolum. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Maut Hdán :  Upacara Ritual dalam tradisi Orang Maybrat, Imian, Sawiat.

Maut Shaflá : Upacara Ritual dalam tradisi orang Maybrat, Imian, Sawiat.

Maut wláh : Upacara Ritual Untuk Pengakuan Dosa. Dalam tradisi orang Maybrat, Imian, Sawiat.

Maybrat : Nama sebuah Sub Suku Bangsa dari Suku Bangsa Bonberai. Suku ini mendiami wilayah Maybrat. Anak suku dari suku ini adalah Maybrat, May ithe, May maka, meyah. Suku ini mendiami wilayah bagian selatan kepala burung Pulau Papua.

May Ithẽ : Nama Sebuah Anak Suku dari Sub suku Maybrat, Suku bangsa Bonberai. Suku ini mendiami wilayah Maybrat, wilayah bagian selatan kepala burung Pulau Papua.

Mbiji aám : Proses Membuat ukiran/aliran bentuk sebagai Estetika pada Payung. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mban Ra sme :  Memberikan dukungan kepada laki-laki, Sebagai wanita yang menunjang suami. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mber wiyỏn : Aktivitas Pendidikan Insisasi wiyon-wofle, Mendidik, Menasehati, Membimbing. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat

Mbol : Perumahan, Gedung, Apartemen, Hotel, Bangunan Moderen, Mall, Benteng Pertahanan, Bangunan Utama rumah hunian moderen. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Mbol Chalit : Rumah Gantung, Rumah yang ukuran struktur Kolumnya tinggi, rumah yang dibangun diatas pohon tinggi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Mbol Chalit Tein : Rumah Kebun, bangunan yang dibangun khusus dekat kebut untuk dihuni atau sebagai tempat peristirahatan sementara oleh petani. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Mbol Chonon : Rumah Bersalin, Rumah khusus ibu dan anak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Mbol Se : Rumah Nelayan, bangunan yang berdiri disepanjang pesisir sungai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Mbol Nandla : Asrama Putra, Rumah bujang Laki-laki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Mbol Nangli :  Asrama Putri, Rumah bujang perempuan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Mbol Wofle : Gereja, Masjid, Vihara, Kemah Suci, Bait Allah, Sekolah, Kampus, Universitas. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Mbou : Keramat, Mistik, Ghaib, Tidak tertandingi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Meti : Melabuhkan Kapal di dermaga atau laut, Menemukan orang yang dikejar. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Meru : Arsitektur Tradisional Bali Indonesia

Meyáh : Nama Sebuah Anak Suku dari sub suku Maybrat, Suku Bangsa Bonberai. Suku ini mendiami wilayah Maybrat, wilayah bagian selatan kepala burung Pulau Papua.

Mhre : Duduk. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mhoh Biaỏh : Mengejar Penjahat, Memburu Musuh. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Minyan : Parang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Misioh : Memperbaiki, Menservice yang rusak menjadi baru, Meluruskan, Memperjelas. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Misiologi : Misi/Perjalanan/Sasaran/Program Gereja/Penginjilan. Istilah Teologi.

Miwyah aám : Proses Pengawetan daun Pandanus untuk selanjutnya diramu menjadi Payung. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mjiẽn : Tidur, berbaring. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mkeỉr : Tidak bagus, Tidak estetis, Tidak Indah, Tidak Menarik, Tidak Baik, dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mkes Afỉ : Memasang Atap. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mof : Baik, bagus, indah, menarik, estetis, dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mnout : Dia Perempuan Mengingat, Mereka Mengingat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Morse : kode, tanda. Istilah dalam ilmu perang. Lihat pula istilah-istilah Pramuka.

M’syá : Dengan, Bersamaan, Terbalik ke bawah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

M’syien Rmah : Membuat/Memasang Lantai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat

Mti : Malam, Petang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

M’twỏk : Memasuki, Mendekati. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mwi bowỉ : Sejenis Tarian Tradisional Orang Maybrat, Imian, Sawiat, Bernyanyi, Pujian. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Mwohat Ohát : Membuat Tungku Api. Dalam sebutan Bahasa Lokal suku Maybrat.  

N

Nangli :  Sebutan kepada Wanita Muda. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian, Tehit.

Na : Sebutan yang menunjukkan Orang atau Manusia (kata ganti tunggal, menunjukkan orang banyak atau sebagai kata jamak) dalam bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Na Wofle : Pendeta, Pator, Kiai, Biksu, Guru, Penasehat, Penginjil. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Nawe : Bilang, Mau, Kepingin, Bertekad. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

N’bỏ : Engkau Pegang (Kata ganti orang tunggal). Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

N’fibo : Engkau/Anda Seperti/Bagaikan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

N’mát : Engkau/Anda Melihat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

N’rỏs : Berdiri. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

N’sgi :  Engkau Mendirikan Rumah, Engkau Membangun Rumah (Kata ganti orang Tunggal). Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

N’sỏk : Memilih, Memilah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

N’truk : Engkau/Anda Masuk/Memasuki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Nuủt : Kamu Naik, Kamu Memanjat, Kamu Mendaki, Kamu Tutupi/menutup. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

N’yiỏ : Engkau, Anda. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

 

O

Ohát : Tungku Api, Tempat untuk memasak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Oỏ : Tempat, Daerah, Wilayah, Areal. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Omni science : Maha Mengetahui.

Omni Present : Maha Berada.

Orỏn : Sebutan Kepada Tuhan Allah Bapa. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

P

Pastoral : Kependetaan, Berkaitan dengan Pelayanan Keluarga. Istilah dalam Teologia Kristen

Plural : Multi Dimensi, Berfariasi, Multi etnic, Multi cultural.

R

Raá : Sebutan yang menunjukkan Orang atau Manusia, (kata ganti tunggal menunjukkan orang banyak atau sebagai kata jamak) dalam bahasa lokal sub suku Maybrat. Kabupaten Maybrat.

Raá ỉn : Orang tidak berpendidikan, Buta Aksara, Manusia Fana, Orang yang penuh dengan Dosa. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Raá Kinyáh : Rakyat, Masyarakat biasa, bukan bangsawan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat, Imian, Sawiat, Tehit.

Raá Mabỉ : Orang Tua, Petuah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Raá Mbẽr : Pelajar, Orang terdidik, Kaum Berpendidikan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Raá Waỉt : Orang Kepunyaannya, Rakyatnya, Pengikutnya. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Raá Wiyỏn : Pendeta, Pastor, Ustat, Biksu, Guru, Penasehat, Penginjil, Guru Jemat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Rae Sawán :  rakyat kecil, masyarakat, orang bukan bangsawan. Dalam Bahasa lokal anak suku May Maka (daerah Karon, Mare).

Refraction : Pembiasan Gelombang. Dalam istilah Geografi.

Reto : Yang itu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Riof kanyá :  Keserasian, Kebahagiaan bersama, berkaitan dengan kebahagiaan orang banyak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Rmáh : Lantai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ro : Yang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Rotỏ :  Lain, Tidak Sama, Tidak sesuai, Berbeda.

Rủ : Sebutan Burung dalam bahasa lokal Suku Maybrat. Kabupaten Maybrat.

S

Safáh : Taring Dari Ular Naga yang dijadikan sebagai bahan perhiasan/manik/kalung. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Safỏm : Hutan Belantara, berkaitan dengan alam hutan. Sebutan dalam bahasa lokal suku Maybrat.

Sah : Pisau. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Sala : Api. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian, Tehit.

Samủ : Perumahan, Gedung, Hotel, Bangunan Megah, Rumah Moderen.

Samu Krẽ : Rumah Bersalin atau rumah untuk Ibu yang melahirkan. Dalam sebutan bahasa suku Maybrat.

Samu Matỏ : Ruang Dalam (interior) dalam sebutan bahasa lokal Suku Maybrat.

Samu Sirẽt : Gedung Pertemuan, Gedung Upacara, Rumah Berkumpul. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Samu Snẽk : Benteng Pertahanan, Rumah Persembunyian. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Samu Mambỏ :  Rumah Nelayan, Rumah Pesisir, Bangunan yang berdiri di pesisir sungai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Samu Kusmẽ : Asrama Putra, Rumah khusus laki-laki bujangan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Samu Kuanỏ : Asrama Putri, Rumah khusus wanita Bujangan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Samu K’wiyon : Rumah Suci, Gereja, Masjid, Vihara, Tabernakel, Kemah, bait Allah, Sekolah, Kampus, Universitas. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Sana Wiyỏn : Menguji Murid, Memberi Ujian, Memberi Ulangan Kepada Murid. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Sawiat : Nama sebuah Anak Suku dari Sub Suku Bangsa Tehit, Suku Bangsa Bonberai. Suku ini mendiami daerah Sawiat. Kabupaten Sorong Selatan. Letaknya dibagian Selatan Kabupaten Sorong dan dibagian Barat kabupaten Sorong Selatan.

Sbỉs : Menjahit. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

seỉ : Biasa, Saja, Cuma. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ses : Rotan Jenis Besar, sering disebut rotan Jawa. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Sfa : Gunung, Orang yang hidup dibagian Pegunungan, Orang Gunung. Istilah dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian, Tehit.

Singular : Tunggal, Satu, Perorangan.

Smẽ : laki-laki. Ra smeDia laki-laki, orang Laki-Laki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Smỉ : Bermimpi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat

Snẽh : Kalem, Lembah lembut, Halus, Tidak Kasar. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Snyủk : Khusus, Pribadi, rahasia. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Sỏf : Gording. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Sogỉ : Parang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat

Soh : Bila Mana, Apabila, Jikalau. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Soủ : satu, tunggal, bersama, tidak terpisah-pisah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Srah : Palem Hutan yang jenis pohonnya kecil biasanya digunakan sebagai bahan lantai rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Srẽ : Salah, Meleset, Tidak Tepat, Keluar dari aturan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat

Sủ : Bersama-sama. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Sui generis : Generasi, Perasaan Menyeluruh

Sum Kafir : Nama Kafir, Nama yang tidak dibabtis. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Sủr : Sebutan Umum untuk Kayu (Tiang, Balok, Nok, Reng, Usuk, Gording dll). Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Swỉr : Balok Sokong, Balok Pengikat angin. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

T

Tabám : Tanah, Negeri, Lembah, Negara, Benua, Daerah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tafỏh : Api. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tagi : Penguasa Alam Air, Roh Halus yang Berada di Air/Sungai sehingga sungai tersebut dianggap keramat/mistik. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tarỏ : Stadion, Arena Pertunjukkan, Gedung Olahraga, Gelanggang Olahraga. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tbỉl : Bambu yang berwarna Kuning/Bambu Cina. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tfỏ : Pisau. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tgif : Membaca Firman, Membaca Mantera, Membaca Nujum. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.  

Ti Manáf : Bubungan Atap, Bagian Kepala Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tin : Antin. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tmáh : Kapak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Tná : hal/sesuatu/kejadian baru, lalu, terus, selanjutnya. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Tongkonan : Arsitektur tradisional Toraja Indonesia

Toỏ : Rotan, Tali, Ikatan, Pengikat. Sebutan dalam bahasa lokal Suku Maybrat.

Tokẽ :  Tifa yang ukurannya kecil. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Trẽf : Alat Gesek/Dawai Biola. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Truk : Masuk, Kedalam. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Turáf : Gaba-gaba. Tangkai dari sagu yang difungsikan sebagai bahan penutup dinding Bangunan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Twỏk : Masuk, Memasuki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

U

Undagi : Manusia terampil. Dalam istilah ilmu Antropologi

W

Waná :  Punya Mereka, Kepunyaan Mereka. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Wanủ : Kita, Kitorang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat

Watá : Sero, Bubu, Alat penangkap ikan, udang, hasil teknologi sederhana orang Maybrat, Imian, Sawiat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Watủm : Nasehat, Firman, Kata bijak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Waỹ : Taring Babi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Wiyỏn : Sebutan Kepada Tuhan, Allah. Dalam bahasa lokal suku Maybrat.

Wiyon Tná :  Murid, Pelajar, Mahasiswa. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Wofle : Sebutan kepada Tuhan, Allah. Dalam bahasa lokal suku Sawiat, Imian.

Wyák : Perahu, Kole-Kole, Perahu Sampang. Dalam sebutan Bahasa lokal suku Maybrat

Y

Yhár : Dia (laki-laki) mengetahui, mengenal, menguasai, menjiwai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Yhoủ : Dia Laki-laki berada, Dia Laki-laki Bertahta, Dia Laki-laki Berdiam, Alamat orang Laki-laki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Yhrẽ : Dia Laki-Laki Duduk, Dia Laki-Laki Menjabat pada Jabatan, Dia laki-laki Menempati. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ytah kỏn : Tidak lulus, Gugur dalam Ujian, Tidak berhasil dalam pendidikan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.

Ytos guawẽ : Memelihara anak terlantar, Mengasuh anak terlantar. Dalam bahasa lokal suku Maybrat.

 

___________________________________________________ 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

“Juhana”   Arsitektur dalam kehidupan Masyarakat            → Bendera 2001

”Mansoben”sistem kepemimpinan pria berwibawa di Irian Jaya→ www.leden.edu.id
Breen, Ann. & Rigby, Dick. (1994): Waterfront- Cities reclaim their edge. New York: Mc. Graw hill.

Campel, Craig,S. (1982): Water in landscape Architecture. New York: Van Nostrad Reinhold Company.

Sagrim Hamah – History Of God In Tribals Religions (Rahasia Theologi Tradisional Suku

    Maybrat Imian Sawiat diparalelkan dengan Alkitab, CV. MaJav, 2010

Hardiman, Gagoek (2000) Peranan ruang terbuka hijau dalam peningkatan kualitas udara di perkotaan pada daerah tropis. Semarang. JAFT .

Lippsmeier, Georg (1994); Tropenbau Building in the Tropics. Muenchen: Verlag Georg. D.W. Callwey.

Pomanto, Danny. (2004) Bahan presentasi RTRW Kota Makassar 2005-2015. Makassar: PT.Dann Bintang GR.

Susilo, Hendropranoto. Pryanto, Totok. (1993): Perkembangan Waterfront di Perkotaan. Majalah Sketsa 9 Mei 1993. Universitas tarumanegara, hal;13.

Takeo, Kondo .(1991): Perspektif- Waterfront. Tokyo: Chiyodaku.

Torre, L, Azeo. (1989). Waterfront Development. New York: Van Nostrand Reinhohld.
DR-.Ing.Ir.Gagoek Hardiman. Sekretaris Progam Doktor Arsitektur dan Perkotaan. Program Pasca Sarjana. Undip. Jl.Imam Bardjo SH. No 3. Telp: (024)8412261, 8412262 FAX: (024)8412259: Email: S3archurb_undip@yahoo.com.


____________________________________________________________________________

Ar. Frank Hamah Sagrim, ST adalah seorang Arsitek, Peneliti, Seniman, Filusuf dan Ilmuwan Muda. Menamatkan Pendidikan Ahli Arsitektur pada Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya. Menyelesaikan S1 Study Etnisitas Arsitektur Tradisional di Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Melanglang buana dalam dunia penelitian sejak kuliah hingga sekarang. Lebih dari belasan karya ilmiah yang telah diterbitkan dan juga belasan karya ilmiah lainnya yang masih dalam bentuk naskah dan sedang diusahakan untuk proses penerbitan.

   Anggota Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA), sebagai Ketua Dewan Etik. Mendirikan Lembaga Intelektual Tanah Papua sebagai Pusat Kajian Papua. Aktif dalam perkumpulan Peneliti dan Ilmuwan Erezt Israel. Anggota tetap International Working Group (IWG) Asia Africa to Globalized.  


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Pesan Pengetahuan

Kata-kata Motivasi

Guru
Guru adalah dia yang hadir dengan kasih untuk merubah kebutaan menjadi terang.
Nilai Guru
Guru bagaikan sinar matahari, seperti apa jadinya dunia bila tak ada matahari.

Kata-Kata Bijak

ORANG YANG BERHASIL MEMIMPIN DIRINYA DENGAN BAIK, AKAN MENDAPAT KEPERCAYAAN DARI ORANG LAIN UNTUK MENJADI PEMIMPIN BAGI BANYAK ORANG - JAUH SEBELUM ANDA MENJADI PEMIMPIN, PELAJARAN MEMIMPIN PERTAMA ADALAH PIMPIN DIRIMU DAHULU MENJADI BAIK....................(Ar. HAMAH SAGRIM, ST)