Kamis, 08 April 2021

GENERASI MILENIAL DAN TERORISME (Analisis Konflik Global dalam Konvergensi Pergerakan Masive)





Ar. Hamah Sagrim, ST

  

TN.9/4/2021. Perang global melawan terorisme adalah perang paling lama di masa modern. Dideklarasikan oleh Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, lalu diikuti sekutu Amerika Serikat dan banyak negara di dunia, perang terhadap terorisme berawal dari serangan bunuh diri teroris pada menara kembar WTC di New York dan Gedung Pentagon pada 11 September 2001.

Sebenarnya terorisme memiliki jejak yang sangat panjang di dalam sejarah dunia. Pun demikian dengan serangan bunuh diri dalam aktivitas terorisme, bisa dilacak sampai berabad-abad ke belakang. Walaupun baru dideklarasikan pada tahun 2001.

Teroris agaknya lebih dari sekedar bertahan di dunia, khususnya di Indonesia. Manifestasi terorisme muncul sebelum revolusi Prancis, tetapi baru mencolok sejak paruh ke dua abad ke-19.

Serangan terorisme dalam serangan bunuh diri pertamakali terjadi di Rusia pada 13 Maret 1881, pelakunya adalah Ignaty Grinevitsy, anggota kelompok People’s Will (kehendak rakyat), anggota terror sayap kiri yang bertujuan membunuh Alexander II, Kaisar Rusia saat itu. Sejak aksi Grinevitsky, banyak aksi terror untuk membunuh orang penting dilakukan oleh anggota sayap kiri di Rusia, dan banyak melakukannya dengan serangan bunuh diri. Pola Rusia itu sama dengan pola serangan terror kelompok zelot pada abad pertama masehi, juga yang dilakukan para fida’I dalam kelompok Nizan Ismail atau Hashashin, yaitu tidak ada rencana maupun perintah secara organisasional agar pelaku terror melakukan serangan bunuh diri. Serangan bunuh diri dilakukan sebagai keputusan taktis individu terorisnya, dimana situasi lapangan membuatnya harus mengambil keputusan itu. Pada saat melakukan serangan ke targetnya, juga Serangan bunuh diri yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir yang pertama kali terjadi di dunia, justru bukan oleh organisasi teror, tetapi oleh sebuah negara: Jepang. Kita mungkin sudah akrab dengan istilah Kamikaze, yang fenomenal di akhir Perang Pasifik.

Kekaisaran Jepang melancarkan lebih dari 3.000 serangan bunuh diri, yang dilakukan secara sistematis melalui perekrutan orang-orang sipil untuk masuk ke dalam Tokubetsu Kogekitai atau unit serangan khusus. Serangan bunuh diri itu dilakukan dengan menerbangkan pesawat yang didesain menjadi bom terbang dan dikendalikan oleh pilot yang akan menabrakkan pesawatnya ke armada angkatan laut Amerika Serikat. Tujuan serangan bunuh diri itu untuk melemahkan moral lawan, dengan menunjukkan bahwa rakyat Jepang adalah rakyat yang fanatik dan akan melakukan segala bentuk perlawanan jika Amerika Serikat menginvasi Jepang.

Tujuan itu berhasil mereka capai, bukan saja di masa perang, tapi juga sampai hari ini, karena dunia melihat aksi itu sebagai tonggak peringatan bahwa serangan bunuh diri dilakukan bukan saja untuk membunuh musuh, tapi yang paling utama adalah sebuah pesan untuk mengintimidasi lawan atau sebuah ancaman untuk serangan yang lebih berbahaya. Definisi serangan bunuh diri sebagai pesan itulah yang sampai sekarang dipakai oleh para teroris.

Sejak Perang Dunia II berakhir, tidak ada catatan serangan bunuh diri yang sistematis dan terorganisir—baik oleh negara maupun oleh organisasi teror—sampai era 1980-an. Serangan bunuh diri baru terjadi lagi pada 1983, kali ini dilakukan oleh partai politik di Lebanon: Hizbullah (Partai Allah). Serangan itu terjadi pada 23 Oktober 1983 pukul 06.45, dilakukan oleh anggota Hizbullah yang mengendarai truk berisi berton-ton bahan peledak, dan meledakkan diri di gedung yang menjadi markas pasukan marinir Amerika Serikat yang bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian dalam perang saudara Lebanon. Selain sang penyerang, korban tewas adalah 241 tentara Amerika Serikat. Nyaris bersamaan dengan serangan ke markas tentara Amerika Serikat, serangan bom bunuh diri oleh Hizbullah terjadi di markas pasukan parasut Perancis, yang menewaskan 58 orang tentara Perancis.

Serangan bom bunuh diri pertama Hizbullah itu mendapat perhatian dunia, dan malah ditiru oleh lawan-lawannya di dalam perang saudara Lebanon, yaitu kubu Kristen dan kubu sekuler. Akhirnya selama bertahun-tahun Lebanon menjadi medan serangan-serangan bom bunuh diri dari berbagai kubu yang berperang, dan baru mereda di akhir dekade 1980-an.

Taktik bom bunuh diri Hizbullah, rupanya memberi ide pula pada kelompok pemberontak di Srilanka, Liberation Tiger of Tamil Eelam (LTTE) atau Macan Tamil. Banyak milisi Macan Tamil yang dikirim ke Lebanon untuk belajar kepada Hizbullah mengenai taktik serangan bom bunuh diri. Gerilyawan Tamil itu lalu mempraktikannya dalam pemberontakan di Srilanka, dan diberi wadah khusus yang diberi nama Macan Hitam.

Sejak 1987 sampai 2003, LTTE melancarkan setidaknya 137 serangan bom bunuh diri. Dari serangan sebanyak itu, mereka berhasil membunuh dua kepala negara, yaitu Perdana Menteri Srilanka, Ranasinghe Premadasa, dan Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi. Lima anggota kabinet Srilanka juga tercatat jadi korban serangan bom bunuh diri LTTE.

Serangan bom bunuh diri LTTE berhenti pada 2009, setelah pemimpin mereka, Vellupillai Prabakharan tewas dibunuh pasukan Srilanka. Walau sekarang LTTE telah dimusnahkan, namun organisasi teror itu ikut memberi kontribusi besar bagi peralatan serangan bom bunuh diri, yaitu sabuk bom, yang bisa dikenakan di balik pakaian. Sabuk bom hasil kreasi LTTE itu di kemudian hari ditiru dan digunakan oleh para pelaku bom bunuh diri di Afganistan, Irak, dan Pakistan.

Serangan-serangan bom bunuh diri oleh LTTE juga semakin membuktikan, bukan hanya kelompok fanatik agama yang sanggup melakukan tindakan fatal itu, tapi juga kelompok yang tidak memiliki agenda keagamaan juga sanggup melakukannya.

Memasuki era 1990-an, serangan bom bunuh diri merambah ke Israel, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok perlawanan Palestina, yaitu Hamas dan Jihad Islam. Serangan bom bunuh diri terhadap target-target di Israel itu memiliki kaitan langsung dengan Hizbullah, karena partai itulah yang melatih anggota Hamas dan Jihad Islam dalam melakukan serangan bom bunuh diri yang efektif.

Serangan Hamas dan Jihad Islam, memiliki motif yang sama dengan Hizbullah di Lebanon, yaitu fanatisme agama yang berkelindan dengan kepentingan politik. Namun, pada awal 2000-an, serangan bom bunuh diri terhadap Israel mulai dilakukan oleh kubu sekuler di Palestina, yaitu Fatah melalui Brigade Al-Aqsa sebagai sayap militernya.

Serangan-serangan bom bunuh diri Palestina menandai era bom bunuh diri yang ditujukan untuk meneror seluruh populasi musuh baik yang ada di dalam negara maupun negara yang menjadi musuh, tidak hanya militer saja.

Bom Bunuh Diri dan Konvergensi Gerakan Masive Organisasi Teroris Transnasional

Dalam perkembangan selanjutnya, serangan bom bunuh diri dijadikan metode oleh kelompok teroris transnasional, Al Qaeda. Berbeda dengan Hizbullah di Lebanon, atau Hamas, Jihad Islam, dan Fatah di Palestina, dan Indonesia yang melakukan serangan bom bunuh diri demi kepentingan agama, politik, dan wilayah nasional mereka, kelompok teroris seperti Al Qaeda mengobarkan perang dengan alasan agama. Di Indonesia melakukan serangan bom bunuh diri dan terror atas nama agama, demi membela ajaran agama dan dengan massive ingin menghancurkan kekuatan negara yakni sayap-sayap militer harus ditaklukkan dengan maksud menggantikan ketatanegaraan dengan syariat dan kilafah yang bertujuan dijadikan sebagai ideology negara.

Ironisnya, teroris di Indonesia memperjuangkan nilai-nilai agama terutama agama muslim dengan konsep kilafah. Konsep Kilafah bermuara dari jaringan terorisme dunia. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dan fanatisme generasi milenial tentang nilai kagamaannya sehingga rela mati menjadi martir-martir agama baginya memperoleh keselamatan.

Perang melawan terorisme, yang menempatkan Afganistan sebagai sasaran pertama invasi Amerika Serikat dan sekutunya (karena Al Qaeda dilindungi Taliban, penguasa Afganistan saat itu), berlanjut ke Irak, yang membuat rezim Saddam Husein jatuh. Invasi Amerika Serikat ke Afganistan dan Irak membuat dua negara itu porak-poranda dan menjadi ladang serangan teror yang berkepanjangan.

Di Irak saja, antara 2004 sampai 2010 terjadi setidaknya 1.003 serangan bom bunuh diri yang membunuh 12.000 warga sipil. Warga sipil bukan hanya jadi korban tak sengaja dalam peperangan, tapi memang menjadi target yang sesungguhnya. Serangan teror di Irak terjadi akibat berubahnya peta politik negara itu setelah kejatuhan pemerintahan Saddam Husein, di mana warga minoritas Sunni yang selama Saddam Husein berkuasa menjadi kelompok yang dominan dalam politik dan pemerintahan, digeser oleh mayoritas Syiah mendapat jatah lebih banyak dalam pemerintahan baru Irak.

Konflik antarsekte muslim di Irak itu menandai era pertarungan berdarah baru dalam skala besar, antara Syiah dan Sunni, dan meluas ke seluruh jazirah Arab, bahkan sampai juga ke Indonesia. Kelompok-kelompok teroris, seperti Al Qaeda—yang bermazhab Sunni—membonceng konflik itu, dan membuat peta konflik jadi semakin rumit. Serangan-serangan bom bunuh diri, selain menargetkan pasukan sekutu, juga meluas sampai ke pemboman masjid-masjid dan tempat-tempat suci kelompok Syiah.

Serangan teror kemudian meluas ke seluruh dunia, mulai dari serangan di dalam negeri Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, juga sampai Afrika, dan Asia—termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Serangan teror itu, bukan saja ditujukan menyerang institusi negara dan pemerintahan, tapi juga menyerang kelompok yang dianggap musuh, seperti para penganut Syiah dan pemeluk agama lain. Pola serangan seperti itu tercermin dalam aktivitas teroris dan kelompok muslim radikal di Indonesia.

Musim Semi Arab dan Perubahan Peta Teror Dalam Konvergensi Gerakan Masive

Kelompok-kelompok teroris dalam perkembangan selanjutnya menemukan lahan subur baru dalam pergolakan politik Timur Tengah, yang dikenal sebagai fenomena Musim Semi Arab, di mana warga yang lama berada di bawah rezim diktator melakukan pemberontakan. Musim Semi Arab dimulai di Tunisia pada 18 Desember 2010 di mana revolusi rakyat berhasil menjatuhkan rezim diktator Zine el Ebidine el Ali, dan membuat sang diktator lari dan diberi suaka oleh Arab Saudi. Kemudian revolusi menyebar ke Mesir, di mana rezim Hosni Mubarak terguling. Selanjutnya Libya diguncang revolusi berdarah, yang melibatkan pula pasukan sekutu untuk berpihak di kubu pemberontak, dan berhasil menggulingkan dan membunuh Moamar Qadafi sekeluarga.

Lalu revolusi berlanjut ke Suriah, yang bertujuan menggulingkan rezim Bashar Al Assad. Namun kali ini revolusi malah berlarut tak karuan. Revolusi sipil itu malah berujung menjadi konflik sektarian, dengan Arab Saudi dan negara-negara sekutunya di Jazirah Arab mendanai kelompok Sunni untuk melakukan pemberontakan bersenjata kepada rezim Bashar Al Assad yang Syiah. Al Qaeda masuk pula ke dalam konflik ini melalui kelompok-kelompok teroris yang baru lahir di Suriah. Sementara Bashar Al Assad untuk menghadapi serangan musuh-musuhnya di dalam negeri dan di luar negeri dibantu oleh sekutunya, Iran dan Rusia, serta mendapatkan pasokan milisi dari Lebanon, yaitu Hizbullah—yang selama ini mendapatkan bantuan dana dan senjata dari Suriah dan Iran—dan juga pasokan milisi Syiah dari Irak.

Ketika Suriah menjadi medan perang baru antara Sunni dan Syiah, negara-negara yang sebelumnya berhasil menggulingkan para diktator, malah berubah menjadi sarang kelompok-kelompok teroris dan fundamentalis agama, seperti di Tunisia dan Libya. Mesir malah membalik hasil revolusi, di mana militer—yang menjadi tangan kanan rezim Hosni Mubarak—berhasil merebut panggung kekuasaan, dan mengkriminalkan pemerintahan yang didominasi kelompok Ikhwanul Muslimin. Tidak hanya itu, dengan bantuan lobi politik Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin malah berubah status: ditetapkan sebagai organisasi teroris dunia oleh Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir.

Sementara itu konflik di Suriah melahirkan situasi baru: di antara pemberontak terjadi perpecahan, dan melahirkan kelompok baru yang merupakan pecahan dari Al Qaeda, yaitu Negara Islam Suriah dan Irak atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau juga dikenal sebagai Islamic State of Iraq and Levant (ISIL). ISIS berubah dengan cepat menjadi monster yang menakutkan, dengan mencaplok wilayah yang luas meliputi perbatasan Suriah dan Irak, perbatasan Suriah dan Mesir, bahkan sampai menguasai sebagian Libya. ISIS juga terkenal dengan kesadisannya memperlakukan musuh.

Lahirnya ISIS membuat peta organisasi-organisasi teroris dunia berubah. Sebagian organisasi teror yang tadinya berafiliasi ke Al Qaeda mengubah afiliasinya ke ISIS, tetapi sebagian lagi tetap bertahan dengan afiliasi ke Al Qaeda. Antara Al Qaeda dan ISIS juga berkobar perang, baik di Suriah, maupun di negara lain, seperti di Afganistan.  ISIS menandai era baru dalam perang global melawan terorisme, di mana sebuah organisasi teroris mendeklarasikan sebuah negara baru dan menyedot pengikut-pengikut baru dari seluruh dunia. Serangan-serangan bom bunuh diri pun dilancarkan oleh ISIS dan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS terutama di Iraq, Afganistan, dan Afrika Utara juga serangkaian aksi teror yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Generasi Milenial dan Terorisme Dalam Gerakkan Konvergensi Masive di Indonesia

maraknya bom bunuh diri di Indoneaia banyak melibatkan generasi milenial. Salah satu akses tercepat yang mempengaruhi generasi milenial hingga menlakukan bom bunuh diri adalah akses informasi internet yang begitu mudah dibrowsing dengan chating-vhating berkenalan hingga menempuh jalan tersebut. Daftar generasi milenial pelaku bom bunuh diri antara lain:

Zakiah Aini, perempuan berpistol yang menyerang Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia) di Jakarta, termasuk golongan milenial. Zakiah Aini adalah perempuan kelahiran 1995. Selain Zakiah Aini, beberapa pelaku teror di Indonesia diketahui merupakan anak muda.

Pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott Jakarta pada 17 Juli 2009 diketahui merupakan seorang anak muda. Polisi memastikan bahwa pelaku bernama Dani Dwi Permana. Saat itu, Dani Dwi Permana baru berusia 18 tahun. Dani Dwi Permana tewas dalam aksi bom bunuh diri tersebut.

Penyerang pos lalu lintas Cikokol, Tangerang, pada 20 Oktober 2016 juga seorang anak muda. Aksi itu dilakukan oleh pria bernama Sultan Azianzah. Sultan Azianzah lahir di Jakarta pada 1994, artinya saat itu usianya 22 tahun.

Pelaku bom bunuh diri yang menerobos masuk Mapolrestabes Medan sekitar pukul 08.15 WIB, Rabu (13/11/2019), juga anak muda. Pelakunya adalah pria bernama Rabbial Muslim Nasution (RMN). Saat itu, dia baru berusia 24 tahun.

Pria penusuk Bripka Frence di halaman Intel Brimob Kelapa Dua, Depok, juga seorang anak muda. Pelaku diketahui bernama Tendi Sumarno (23), yang beralamat di Kampung Buniara RT 22 RW 04 Desa Buniara, Tanjungsiang, Subang, Jawa Barat.

Peristiwa itu terjadi pada Kamis (10/5) sekitar pukul 23.00 WIB. Tendi tewas ditembak di tempat usai melakukan penyerangan.

Pasangan suami istri yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar merupakan kelahiran 1995. Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar menjelaskan bahwa Lukman (L), sang suami, merupakan kelahiran tahun 1995. Artinya, Lukman baru berusia 26 tahun saat meledakkan diri dengan istrinya pada Minggu (28/3/2021).

Di masa kepemimpinan Barack Obama, adanya hubungan kerjasama yang sangat aktif dengan Indonesia di masa kepemimpinan SBY. Pada tahun 2013, Secara resmi perang global melawan terorisme dihentikan oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, ditandai dengan penarikan sebagian besar pasukan Amerika Serikat dari Afganistan dan Irak. Namun secara faktual sampai hari ini, perang melawan terorisme masih berlangsung, terutama melawan kelompok-kelompok teror baru yang muncul belakangan seperti ISIS dan kelompok-kelompok afiliasinya, dan juga kelompok-kelompok yang muncul belakangan dengan afiliasi kepada Al Qaeda, serta kelompok-kelompok teror independen atau yang tidak jelas afiliasinya.

Dengan dihentikannya perang melawan terorisme maka semakin meningkat terorisme yang tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia, bom bunuh diri yang dilakukan oleh terorisem pada tahun 2012 silam yang kemudian dikenal dengan tragedy bom Bali.

 

 

 

 

 

 

 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Pesan Pengetahuan

Kata-kata Motivasi

Guru
Guru adalah dia yang hadir dengan kasih untuk merubah kebutaan menjadi terang.
Nilai Guru
Guru bagaikan sinar matahari, seperti apa jadinya dunia bila tak ada matahari.

Kata-Kata Bijak

ORANG YANG BERHASIL MEMIMPIN DIRINYA DENGAN BAIK, AKAN MENDAPAT KEPERCAYAAN DARI ORANG LAIN UNTUK MENJADI PEMIMPIN BAGI BANYAK ORANG - JAUH SEBELUM ANDA MENJADI PEMIMPIN, PELAJARAN MEMIMPIN PERTAMA ADALAH PIMPIN DIRIMU DAHULU MENJADI BAIK....................(Ar. HAMAH SAGRIM, ST)