Ar.
Hamah Sagrim, ST
TN.9/4/2021. Perang global melawan terorisme adalah perang paling lama di masa
modern. Dideklarasikan oleh Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, lalu
diikuti sekutu Amerika Serikat dan banyak negara di dunia, perang terhadap
terorisme berawal dari serangan bunuh diri teroris pada menara kembar WTC di
New York dan Gedung Pentagon pada 11 September 2001.
Sebenarnya terorisme memiliki jejak yang sangat panjang di dalam sejarah
dunia. Pun demikian dengan serangan bunuh diri dalam aktivitas terorisme, bisa
dilacak sampai berabad-abad ke belakang. Walaupun baru dideklarasikan pada
tahun 2001.
Teroris agaknya lebih dari sekedar bertahan di dunia, khususnya di
Indonesia. Manifestasi terorisme muncul sebelum revolusi Prancis, tetapi baru
mencolok sejak paruh ke dua abad ke-19.
Serangan terorisme dalam serangan bunuh diri pertamakali terjadi di
Rusia pada 13 Maret 1881, pelakunya adalah Ignaty Grinevitsy, anggota kelompok People’s Will (kehendak rakyat), anggota
terror sayap kiri yang bertujuan membunuh Alexander II, Kaisar Rusia saat itu.
Sejak aksi Grinevitsky, banyak aksi terror untuk membunuh orang penting
dilakukan oleh anggota sayap kiri di Rusia, dan banyak melakukannya dengan
serangan bunuh diri. Pola Rusia itu sama dengan pola serangan terror kelompok
zelot pada abad pertama masehi, juga yang dilakukan para fida’I dalam kelompok
Nizan Ismail atau Hashashin, yaitu tidak ada rencana maupun perintah secara
organisasional agar pelaku terror melakukan serangan bunuh diri. Serangan bunuh
diri dilakukan sebagai keputusan taktis individu terorisnya, dimana situasi
lapangan membuatnya harus mengambil keputusan itu. Pada saat melakukan serangan
ke targetnya, juga Serangan bunuh diri yang dilakukan secara sistematis dan
terorganisir yang pertama kali terjadi di dunia, justru bukan oleh organisasi
teror, tetapi oleh sebuah negara: Jepang. Kita mungkin sudah akrab dengan
istilah Kamikaze, yang fenomenal di akhir Perang Pasifik.
Kekaisaran Jepang melancarkan
lebih dari 3.000 serangan bunuh diri, yang dilakukan secara sistematis melalui
perekrutan orang-orang sipil untuk masuk ke dalam Tokubetsu Kogekitai atau unit
serangan khusus. Serangan bunuh diri itu dilakukan dengan menerbangkan pesawat
yang didesain menjadi bom terbang dan dikendalikan oleh pilot yang akan
menabrakkan pesawatnya ke armada angkatan laut Amerika Serikat. Tujuan serangan
bunuh diri itu untuk melemahkan moral lawan, dengan menunjukkan bahwa rakyat Jepang
adalah rakyat yang fanatik dan akan melakukan segala bentuk perlawanan jika
Amerika Serikat menginvasi Jepang.
Tujuan itu berhasil mereka
capai, bukan saja di masa perang, tapi juga sampai hari ini, karena dunia
melihat aksi itu sebagai tonggak peringatan bahwa serangan bunuh diri dilakukan
bukan saja untuk membunuh musuh, tapi yang paling utama adalah sebuah pesan
untuk mengintimidasi lawan atau sebuah ancaman untuk serangan yang lebih
berbahaya. Definisi serangan bunuh diri sebagai pesan itulah yang sampai
sekarang dipakai oleh para teroris.
Sejak Perang Dunia II berakhir,
tidak ada catatan serangan bunuh diri yang sistematis dan terorganisir—baik
oleh negara maupun oleh organisasi teror—sampai era 1980-an. Serangan bunuh
diri baru terjadi lagi pada 1983, kali ini dilakukan oleh partai politik di
Lebanon: Hizbullah (Partai Allah). Serangan itu terjadi pada 23 Oktober 1983
pukul 06.45, dilakukan oleh anggota Hizbullah yang mengendarai truk berisi
berton-ton bahan peledak, dan meledakkan diri di gedung yang menjadi markas
pasukan marinir Amerika Serikat yang bertugas sebagai pasukan penjaga
perdamaian dalam perang saudara Lebanon. Selain sang penyerang, korban tewas
adalah 241 tentara Amerika Serikat. Nyaris bersamaan dengan serangan ke markas
tentara Amerika Serikat, serangan bom bunuh diri oleh Hizbullah terjadi di
markas pasukan parasut Perancis, yang menewaskan 58 orang tentara Perancis.
Serangan bom bunuh diri pertama
Hizbullah itu mendapat perhatian dunia, dan malah ditiru oleh lawan-lawannya di
dalam perang saudara Lebanon, yaitu kubu Kristen dan kubu sekuler. Akhirnya
selama bertahun-tahun Lebanon menjadi medan serangan-serangan bom bunuh diri
dari berbagai kubu yang berperang, dan baru mereda di akhir dekade 1980-an.
Taktik bom bunuh diri Hizbullah,
rupanya memberi ide pula pada kelompok pemberontak di Srilanka, Liberation
Tiger of Tamil Eelam (LTTE) atau Macan Tamil. Banyak milisi Macan Tamil yang
dikirim ke Lebanon untuk belajar kepada Hizbullah mengenai taktik serangan bom
bunuh diri. Gerilyawan Tamil itu lalu mempraktikannya dalam pemberontakan di
Srilanka, dan diberi wadah khusus yang diberi nama Macan Hitam.
Sejak 1987 sampai 2003, LTTE
melancarkan setidaknya 137 serangan bom bunuh diri. Dari serangan sebanyak itu,
mereka berhasil membunuh dua kepala negara, yaitu Perdana Menteri Srilanka,
Ranasinghe Premadasa, dan Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi. Lima anggota
kabinet Srilanka juga tercatat jadi korban serangan bom bunuh diri LTTE.
Serangan bom bunuh diri LTTE
berhenti pada 2009, setelah pemimpin mereka, Vellupillai Prabakharan tewas
dibunuh pasukan Srilanka. Walau sekarang LTTE telah dimusnahkan, namun
organisasi teror itu ikut memberi kontribusi besar bagi peralatan serangan bom
bunuh diri, yaitu sabuk bom, yang bisa dikenakan di balik pakaian. Sabuk bom
hasil kreasi LTTE itu di kemudian hari ditiru dan digunakan oleh para pelaku
bom bunuh diri di Afganistan, Irak, dan Pakistan.
Serangan-serangan bom bunuh
diri oleh LTTE juga semakin membuktikan, bukan hanya kelompok fanatik agama
yang sanggup melakukan tindakan fatal itu, tapi juga kelompok yang tidak
memiliki agenda keagamaan juga sanggup melakukannya.
Memasuki era 1990-an, serangan
bom bunuh diri merambah ke Israel, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
perlawanan Palestina, yaitu Hamas dan Jihad Islam. Serangan bom bunuh diri
terhadap target-target di Israel itu memiliki kaitan langsung dengan Hizbullah,
karena partai itulah yang melatih anggota Hamas dan Jihad Islam dalam melakukan
serangan bom bunuh diri yang efektif.
Serangan Hamas dan Jihad Islam,
memiliki motif yang sama dengan Hizbullah di Lebanon, yaitu fanatisme agama
yang berkelindan dengan kepentingan politik. Namun, pada awal 2000-an, serangan
bom bunuh diri terhadap Israel mulai dilakukan oleh kubu sekuler di Palestina,
yaitu Fatah melalui Brigade Al-Aqsa sebagai sayap militernya.
Serangan-serangan bom bunuh
diri Palestina menandai era bom bunuh diri yang ditujukan untuk meneror seluruh
populasi musuh baik yang ada di dalam negara maupun negara yang menjadi musuh,
tidak hanya militer saja.
Bom Bunuh Diri dan Konvergensi
Gerakan Masive Organisasi Teroris Transnasional
Dalam perkembangan selanjutnya,
serangan bom bunuh diri dijadikan metode oleh kelompok teroris transnasional,
Al Qaeda. Berbeda dengan Hizbullah di Lebanon, atau Hamas, Jihad Islam, dan
Fatah di Palestina, dan Indonesia yang melakukan serangan bom bunuh diri demi
kepentingan agama, politik, dan wilayah nasional mereka, kelompok teroris
seperti Al Qaeda mengobarkan perang dengan alasan agama. Di Indonesia melakukan
serangan bom bunuh diri dan terror atas nama agama, demi membela ajaran agama
dan dengan massive ingin menghancurkan kekuatan negara yakni sayap-sayap
militer harus ditaklukkan dengan maksud menggantikan ketatanegaraan dengan
syariat dan kilafah yang bertujuan dijadikan sebagai ideology negara.
Ironisnya, teroris di Indonesia
memperjuangkan nilai-nilai agama terutama agama muslim dengan konsep kilafah.
Konsep Kilafah bermuara dari jaringan terorisme dunia. Indonesia sebagai negara
muslim terbesar di dunia dan fanatisme generasi milenial tentang nilai
kagamaannya sehingga rela mati menjadi martir-martir agama baginya memperoleh
keselamatan.
Perang melawan terorisme, yang
menempatkan Afganistan sebagai sasaran pertama invasi Amerika Serikat dan
sekutunya (karena Al Qaeda dilindungi Taliban, penguasa Afganistan saat itu),
berlanjut ke Irak, yang membuat rezim Saddam Husein jatuh. Invasi Amerika
Serikat ke Afganistan dan Irak membuat dua negara itu porak-poranda dan menjadi
ladang serangan teror yang berkepanjangan.
Di Irak saja, antara 2004
sampai 2010 terjadi setidaknya 1.003 serangan bom bunuh diri yang membunuh
12.000 warga sipil. Warga sipil bukan hanya jadi korban tak sengaja dalam
peperangan, tapi memang menjadi target yang sesungguhnya. Serangan teror di Irak
terjadi akibat berubahnya peta politik negara itu setelah kejatuhan
pemerintahan Saddam Husein, di mana warga minoritas Sunni yang selama Saddam
Husein berkuasa menjadi kelompok yang dominan dalam politik dan pemerintahan,
digeser oleh mayoritas Syiah mendapat jatah lebih banyak dalam pemerintahan
baru Irak.
Konflik antarsekte muslim di
Irak itu menandai era pertarungan berdarah baru dalam skala besar, antara Syiah
dan Sunni, dan meluas ke seluruh jazirah Arab, bahkan sampai juga ke Indonesia.
Kelompok-kelompok teroris, seperti Al Qaeda—yang bermazhab Sunni—membonceng
konflik itu, dan membuat peta konflik jadi semakin rumit. Serangan-serangan bom
bunuh diri, selain menargetkan pasukan sekutu, juga meluas sampai ke pemboman
masjid-masjid dan tempat-tempat suci kelompok Syiah.
Serangan teror kemudian meluas
ke seluruh dunia, mulai dari serangan di dalam negeri Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa, juga sampai Afrika, dan Asia—termasuk Indonesia, Malaysia,
Filipina, dan Singapura. Serangan teror itu, bukan saja ditujukan menyerang
institusi negara dan pemerintahan, tapi juga menyerang kelompok yang dianggap
musuh, seperti para penganut Syiah dan pemeluk agama lain. Pola serangan
seperti itu tercermin dalam aktivitas teroris dan kelompok muslim radikal di Indonesia.
Musim Semi Arab dan Perubahan
Peta Teror Dalam Konvergensi Gerakan Masive
Kelompok-kelompok teroris dalam
perkembangan selanjutnya menemukan lahan subur baru dalam pergolakan politik
Timur Tengah, yang dikenal sebagai fenomena Musim Semi Arab, di mana warga yang
lama berada di bawah rezim diktator melakukan pemberontakan. Musim Semi Arab
dimulai di Tunisia pada 18 Desember 2010 di mana revolusi rakyat berhasil
menjatuhkan rezim diktator Zine el Ebidine el Ali, dan membuat sang diktator
lari dan diberi suaka oleh Arab Saudi. Kemudian revolusi menyebar ke Mesir, di
mana rezim Hosni Mubarak terguling. Selanjutnya Libya diguncang revolusi
berdarah, yang melibatkan pula pasukan sekutu untuk berpihak di kubu
pemberontak, dan berhasil menggulingkan dan membunuh Moamar Qadafi sekeluarga.
Lalu revolusi berlanjut ke
Suriah, yang bertujuan menggulingkan rezim Bashar Al Assad. Namun kali ini
revolusi malah berlarut tak karuan. Revolusi sipil itu malah berujung menjadi
konflik sektarian, dengan Arab Saudi dan negara-negara sekutunya di Jazirah
Arab mendanai kelompok Sunni untuk melakukan pemberontakan bersenjata kepada
rezim Bashar Al Assad yang Syiah. Al Qaeda masuk pula ke dalam konflik ini
melalui kelompok-kelompok teroris yang baru lahir di Suriah. Sementara Bashar
Al Assad untuk menghadapi serangan musuh-musuhnya di dalam negeri dan di luar
negeri dibantu oleh sekutunya, Iran dan Rusia, serta mendapatkan pasokan milisi
dari Lebanon, yaitu Hizbullah—yang selama ini mendapatkan bantuan dana dan
senjata dari Suriah dan Iran—dan juga pasokan milisi Syiah dari Irak.
Ketika Suriah menjadi medan
perang baru antara Sunni dan Syiah, negara-negara yang sebelumnya berhasil
menggulingkan para diktator, malah berubah menjadi sarang kelompok-kelompok
teroris dan fundamentalis agama, seperti di Tunisia dan Libya. Mesir malah
membalik hasil revolusi, di mana militer—yang menjadi tangan kanan rezim Hosni
Mubarak—berhasil merebut panggung kekuasaan, dan mengkriminalkan pemerintahan
yang didominasi kelompok Ikhwanul Muslimin. Tidak hanya itu, dengan bantuan
lobi politik Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin malah berubah status: ditetapkan
sebagai organisasi teroris dunia oleh Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan
Mesir.
Sementara itu konflik di Suriah
melahirkan situasi baru: di antara pemberontak terjadi perpecahan, dan
melahirkan kelompok baru yang merupakan pecahan dari Al Qaeda, yaitu Negara
Islam Suriah dan Irak atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau juga
dikenal sebagai Islamic State of Iraq and Levant (ISIL). ISIS berubah dengan
cepat menjadi monster yang menakutkan, dengan mencaplok wilayah yang luas
meliputi perbatasan Suriah dan Irak, perbatasan Suriah dan Mesir, bahkan sampai
menguasai sebagian Libya. ISIS juga terkenal dengan kesadisannya memperlakukan
musuh.
Lahirnya ISIS membuat peta
organisasi-organisasi teroris dunia berubah. Sebagian organisasi teror yang
tadinya berafiliasi ke Al Qaeda mengubah afiliasinya ke ISIS, tetapi sebagian
lagi tetap bertahan dengan afiliasi ke Al Qaeda. Antara Al Qaeda dan ISIS juga
berkobar perang, baik di Suriah, maupun di negara lain, seperti di
Afganistan. ISIS menandai era baru dalam
perang global melawan terorisme, di mana sebuah organisasi teroris
mendeklarasikan sebuah negara baru dan menyedot pengikut-pengikut baru dari
seluruh dunia. Serangan-serangan bom bunuh diri pun dilancarkan oleh ISIS dan
kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS terutama di Iraq, Afganistan,
dan Afrika Utara juga serangkaian aksi teror yang menyebar ke seluruh dunia,
termasuk Indonesia.
Generasi
Milenial dan Terorisme Dalam Gerakkan Konvergensi Masive di Indonesia
maraknya
bom bunuh diri di Indoneaia banyak melibatkan generasi milenial. Salah satu
akses tercepat yang mempengaruhi generasi milenial hingga menlakukan bom bunuh
diri adalah akses informasi internet yang begitu mudah dibrowsing dengan
chating-vhating berkenalan hingga menempuh jalan tersebut. Daftar generasi
milenial pelaku bom bunuh diri antara lain:
Zakiah Aini, perempuan
berpistol yang menyerang Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia) di Jakarta, termasuk golongan milenial. Zakiah Aini adalah perempuan
kelahiran 1995. Selain Zakiah Aini, beberapa pelaku
teror di Indonesia diketahui merupakan anak muda.
Pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott
Jakarta pada 17 Juli 2009 diketahui merupakan seorang anak muda. Polisi
memastikan bahwa pelaku bernama Dani Dwi Permana. Saat itu, Dani Dwi Permana
baru berusia 18 tahun. Dani Dwi Permana tewas dalam aksi bom bunuh diri
tersebut.
Penyerang pos lalu lintas Cikokol, Tangerang,
pada 20 Oktober 2016 juga seorang anak muda. Aksi itu dilakukan oleh pria
bernama Sultan Azianzah. Sultan Azianzah lahir di Jakarta pada 1994, artinya
saat itu usianya 22 tahun.
Pelaku bom bunuh diri yang menerobos masuk
Mapolrestabes Medan sekitar pukul 08.15 WIB, Rabu (13/11/2019), juga anak muda.
Pelakunya adalah pria bernama Rabbial Muslim Nasution (RMN). Saat itu, dia baru
berusia 24 tahun.
Pria penusuk Bripka Frence di halaman Intel Brimob Kelapa Dua,
Depok, juga seorang anak muda. Pelaku diketahui bernama Tendi Sumarno (23),
yang beralamat di Kampung Buniara RT 22 RW 04 Desa Buniara, Tanjungsiang,
Subang, Jawa Barat.
Peristiwa itu terjadi pada Kamis (10/5) sekitar pukul 23.00 WIB.
Tendi tewas ditembak di tempat usai melakukan penyerangan.
Pasangan suami istri yang menjadi pelaku bom
bunuh diri di Gereja Katedral Makassar merupakan kelahiran 1995. Kepala BNPT
Komjen Boy Rafli Amar menjelaskan bahwa Lukman (L), sang suami, merupakan
kelahiran tahun 1995. Artinya, Lukman baru berusia 26 tahun saat meledakkan
diri dengan istrinya pada Minggu (28/3/2021).
Di masa
kepemimpinan Barack Obama, adanya hubungan kerjasama yang sangat aktif dengan
Indonesia di masa kepemimpinan SBY. Pada tahun 2013, Secara resmi perang global
melawan terorisme dihentikan oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama,
ditandai dengan penarikan sebagian besar pasukan Amerika Serikat dari
Afganistan dan Irak. Namun secara faktual sampai hari ini, perang melawan
terorisme masih berlangsung, terutama melawan kelompok-kelompok teror baru yang
muncul belakangan seperti ISIS dan kelompok-kelompok afiliasinya, dan juga
kelompok-kelompok yang muncul belakangan dengan afiliasi kepada Al Qaeda, serta
kelompok-kelompok teror independen atau yang tidak jelas afiliasinya.
Dengan
dihentikannya perang melawan terorisme maka semakin meningkat terorisme yang
tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia, bom bunuh diri yang dilakukan oleh
terorisem pada tahun 2012 silam yang kemudian dikenal dengan tragedy bom Bali.